Oleh Chappy Hakim
Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia
Perang selalu menjadi kegagalan paling menyakitkan dari peradaban manusia. Dan ketika Iran dan Israel kembali berseteru dalam konfrontasi terbuka di langit dan darat, dunia menahan napas. Tidak lagi dalam bentuk perang bayangan, bukan lagi hanya adu pengaruh atau sanksi ekonomi, melainkan ledakan yang nyata rudal-rudal jarak jauh menghujam kota, sistem pertahanan aktif siaga 24 jam, dan kehidupan sipil yang dilumpuhkan oleh deru sirene peringatan.
Perang Iran–Israel yang meletup pada pertengahan Juni 2025 telah menjadi titik balik geopolitik kawasan Timur Tengah dan lebih luas lagi tanda tanya besar bagi masa depan dunia. Konflik ini adalah ujian paling relevan bagi para pemimpin global: apakah mereka mampu merespons secara bijak, atau justru menyulut api lebih besar yang dapat membakar stabilitas internasional. Dalam konteks inilah, kita perlu mengamati secara seksama bagaimana Donald Trump, Vladimir Putin, dan Xi Jinping bereaksi. Ketiganya bukan hanya pemimpin negara besar, tetapi simbol dari tiga pendekatan kekuasaan yang berbeda: konfrontatif, oportunistik, dan kalkulatif.
Donald Trump: Gaya Konfrontatif dan Kalkulasi Politik Dalam Negeri
Donald Trump kembali tampil ke panggung dunia dengan gayanya yang khas, keras, frontal, dan tak pernah kehilangan selera dramatis. Dalam beberapa pernyataan publik, ia menyebut serangan Israel sebagai tindakan “brilian”, dan memberi sinyal bahwa ia mendukung langkah militer lebih lanjut terhadap Iran. Bahkan, ia memberi ultimatum dua minggu untuk memutuskan apakah Amerika Serikat akan turun tangan secara langsung.
Disisi lain seperti biasa, narasi Trump tak lepas dari kepentingan domestik. Tahun 2025 adalah tahun pemilu presiden AS, dan Trump berusaha menguatkan basis konservatifnya yang pro Israel sekaligus anti Iran. Dengan memainkan ketegangan ini, Trump menyampaikan pesan kekuatan, menyasar emosi nasionalis, dan menghidupkan kembali bayang-bayang “musuh dari luar” yang selama ini menjadi bahan bakar kampanye politiknya. Yang menjadi kekhawatiran adalah seberapa jauh Trump bersedia mendorong AS ke dalam perang, hanya demi citra politik?
Respons Trump mencerminkan pendekatan klasik Amerika yang menganut superioritas militer sebagai alat negosiasi. Namun dalam situasi geopolitik global yang semakin kompleks dan multipolar, pendekatan ini menjadi usang. Dunia saat ini tidak hanya menunggu siapa yang bersuara paling lantang, tapi siapa yang paling mampu membawa solusi nyata dan berkelanjutan.
Vladimir Putin: Diplomasi Strategis dan Ancaman Terselubung

Sangat berbeda dengan Trump, Presiden Rusia Vladimir Putin tampil lebih tenang namun tak kalah tajam. Putin menyatakan keprihatinan mendalam bahwa eskalasi antara Iran dan Israel bisa berkembang menjadi Perang Dunia ketiga. Ini bukan retorika sembarangan. Rusia berada dalam posisi strategis menjalin kemitraan dengan Iran dalam berbagai sektor militer, energi, dan ekonomi, namun di saat bersamaan tetap menjaga komunikasi terbatas dengan Israel.
Rusia baru saja menandatangani “Perjanjian Kemitraan Strategis Komprehensif” dengan Iran pada Januari 2025. Hal ini menjadikan Rusia sebagai salah satu sponsor utama eksistensi politik dan pertahanan Iran. Namun, Putin tidak ingin Rusia terseret langsung dalam konflik. Maka diplomasi pun dijadikan medan pertempuran yang lebih elegan: menawarkan diri sebagai mediator, menyerukan gencatan senjata, dan mengundang pihak-pihak yang berseteru ke meja perundingan.
Dalam hal ini jangan keliru, di balik ajakan damai itu, Rusia juga mengirim sinyal peringatan kepada Amerika dan Israel jika konflik ini menyebar dan menyeret negara-negara sekutu Rusia, maka Moskwa tidak akan tinggal diam. Dengan kata lain, Putin sedang memainkan politik dua muka menjadi penengah di satu sisi, dan sekaligus aktor dominan yang siap menggoyang keseimbangan kekuatan global jika memang dibutuhkan.
Xi Jinping: Stabilitas Jalur Energi dan Diplomasi Tenang
Pemimpin Tiongkok, Xi Jinping, mengambil pendekatan yang paling sunyi, tetapi bukan berarti paling lemah. Dalam pernyataan resminya, pemerintah China mengutuk keras serangan Israel terhadap fasilitas militer Iran, sambil menyerukan penghentian tembakan dan dialog damai secepat mungkin. China secara konsisten menempatkan dirinya sebagai kekuatan penyeimbang global, bukan dengan senjata, tapi dengan kekuatan ekonomi dan pengaruh diplomasi.
Ada alasan kuat di balik sikap ini. China sangat berkepentingan terhadap stabilitas di kawasan Teluk Persia, mengingat sebagian besar kebutuhan energinya bergantung pada jalur pelayaran minyak dari Timur Tengah. Ketidakstabilan di Iran atau sekitar Selat Hormuz akan langsung berdampak pada harga minyak global dan rantai pasok energi nasional Tiongkok.
Dengan tidak terlibat secara militer namun aktif dalam jalur diplomasi multilateral, China menunjukkan wajah kekuatan baru dunia yang tidak berisik, namun efektif. Dalam jangka panjang, pendekatan semacam ini lebih menjanjikan untuk membangun kepercayaan global dibanding gaya konfrontatif yang masih digemari oleh pemimpin populis.
Pelajaran untuk Indonesia: Jangan Hanya Menonton
Di tengah pertarungan diplomasi dan strategi militer global ini, Indonesia kembali menjadi penonton. Kita perlu untuk juga bersuara. Namun suara kita selama ini terdengar lemah dan hanya terkesan sebagai gema normatif belaka, menyerukan perdamaian, menolak kekerasan, dan menyuarakan solidaritas terhadap Palestina. Tapi, cukupkah itu?
Harus diakui, terus terang belakangan ini realitas politik luar negeri kita kerap kabur. Kita tidak menunjukkan posisi strategis yang konsisten, dan dalam banyak kasus justru terlihat pasif. Dunia internasional sulit berharap Indonesia berperan menjaga perdamaian global jika situasi di dalam negeri sendiri masih penuh ketidakpastian, dan jika instrumen diplomasi strategis kita tidak diperkuat, apalagi isu korupsi masih gegap gempita dipermukaan media nasional.
Yang lebih penting, kita mesti mawas diri konflik Iran–Israel bukan sekadar pertarungan dua negara, tetapi demonstrasi nyata bahwa kedaulatan wilayah udara dan kekuatan teknologi pertahanan adalah kunci utama dalam menjaga eksistensi sebuah negara. Indonesia terlalu lama terjebak dalam romantisme alutsista, seolah-olah membeli pesawat tempur modern sudah cukup untuk menjaga langit Nusantara. Padahal, yang jauh lebih penting adalah membangun sistem pertahanan terintegrasi, pusat komando berbasis satelit, dan kemampuan deteksi dini secara menyeluruh, serta upaya yang serius dalam menjaga kedaulatan negara di udara.
Menutup wilayah udara dengan prinsip Kedaulatan penuh, Membuka Pikiran untuk Diplomasi
Perang Iran–Israel akan terus menjadi medan uji bagi diplomasi global. Trump, Putin, dan Xi masing-masing memainkannya dengan gaya berbeda. Namun pesan utamanya sama di era dunia multipolar seperti sekarang, hanya negara yang memiliki strategi pertahanan yang canggih dan diplomasi yang cerdas yang bisa bertahan, apalagi menjadi pemimpin.
Indonesia harus belajar dari sini. Kita tak bisa lagi hanya bicara perdamaian tanpa kekuatan. Kita tak bisa lagi bicara kekuatan tanpa strategi. Dunia tidak lagi digerakkan oleh siapa yang memiliki senjata paling besar, tetapi oleh siapa yang paling tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus bertindak. Dunia bergerak dalam bingkai Leadership yang cerdas.
DAFTAR REFERENSI
- Barron’s. (2025, Juni 18). Trump Will Decide Within 2 Weeks. Whether to Intervene in Israel-Iran War. https://www.barrons.com/articles/israel-iran-trump-attack-us-war-6f3759e7
- Time Magazine. (2025, Juni 17). How China Views the Israel-Iran War: Diplomacy, Energy, and Stability.
https://time.com/7296139/china-iran-israel-us-weapons-mediate-war-peace-oil-diplomacy/ - Cadena SER (Spanyol). (2025, Juni 20). Putin muestra su preocupación por una nueva guerra mundial tras la escalada del conflicto entre Irán e Israel.
https://cadenaser.com/nacional/2025/06/20/putin-muestra-su-preocupacion-por-una-nueva-guerra-mundial-tras-la-escalada-del-conflicto-entre-iran-e-israel - Huffington Post – Global. (2025, Juni 19). Putin y Xi Jinping se plantean mediar en el conflicto entre Israel e Irán: “Podría servir para desescalar”.
https://www.huffingtonpost.es/global/putinxi-jinping-plantean-mediar-conflicto-isael-eanpodria-servir-desescalar.html - Reuters. (2025, Juni 15–20). Laporan berkala tentang serangan udara Israel, pembalasan rudal Iran, dan perkembangan politik luar negeri negara-negara besar.
https://www.reuters.com - Al Jazeera. (2025, Juni 16). Iran launches hundreds of missiles and drones at Israel in retaliation.
https://www.aljazeera.com/news/2025/6/16/iran-launches-missiles-at-israel - The Guardian. (2025, Juni 17). Israel-Iran war: Could this become a global conflict?
https://www.theguardian.com/world/2025/jun/17/israel-iran-war-could-it-spread - CNBC. (2025, Juni 19). Global oil markets react to Iran-Israel escalation amid Strait of Hormuz security fears.
https://www.cnbc.com/2025/06/19/oil-prices-iran-israel-strait-of-hormuz.html - The Diplomat. (2025, Juni 18). China’s strategic silence on Israel-Iran conflict and its implications.
https://thediplomat.com/2025/06/chinas-silence-on-israel-iran - Chappy Hakim. (2022). Menjaga Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Jakarta 21 Juni 2025
Pusat Kajian Indonesia Center for Air Power Studies