Dua dekade belakangan ini, kita menyaksikan bagaimana kawasan Indo-Pasifik berubah menjadi panggung utama perebutan pengaruh global. Bahkan, dua kata kunci belakangan ini terus bergaung dalam diskursus strategis: South China Sea (SCS) dan AUKUS. Keduanya bukan fenomena kebetulan, melainkan hasil kalkulasi panjang dari kekuatan adidaya—Amerika Serikat—dalam menghadapi bangkitnya Tiongkok sebagai kekuatan dominan baru. Isu Laut Cina Selatan dan pembentukan aliansi AUKUS mencerminkan strategi Amerika Serikat yang ingin tetap menjadi pengendali tatanan global, terutama dalam menghadapi tantangan besar dari Beijing yang terus terlihat memperluas cengkeramannya, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga militer.
Dari Tragedi 9/11 ke Poros Pasifik
Perjalanan ini dimulai sejak dua dekade lalu, ketika serangan 11 September 2001 mengubah arah kebijakan luar negeri Washington secara drastis. Prioritas strategis Amerika Serikat langsung bergeser ke Timur Tengah dan Asia Selatan, dimulai dari invasi ke Afghanistan dan Irak. Pentagon mengerahkan sumber daya besar-besaran dalam kerangka Global War on Terror, meninggalkan kawasan Asia-Pasifik dalam ruang yang relatif longgar tanpa kontrol langsung. Dalam periode yang sama, dua pangkalan utama AS di Asia Tenggara—Subic Bay dan Clark Air Force Base di Filipina—sudah ditutup sejak awal 1990-an, dan tidak pernah benar-benar digantikan. Anggaran pertahanan pun terkuras. Bahkan, ketika Jenderal Stanley McChrystal mengusulkan tambahan pasukan untuk Afghanistan, Gedung Putih menolak—dan ia digantikan oleh Jenderal David Petraeus. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam prioritas utama pun, Washington mulai merasakan beban berat finansial. Kekosongan kehadiran militer ini dinilai AS kemudian akan menjadi celah yang pasti dimanfaatkan Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di kawasan. Lebih dari itu wajar sekali AS menjadi khawatir akan keamanan nasional Taiwan sebagai sekutunya di pasifik.
SCS: Kawasan Lama, Masalah Lama yang Diangkat Kembali
Laut Cina Selatan, sejatinya, bukan kawasan baru yang tiba-tiba menjadi sensitif. Sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, perairan ini telah menjadi jalur pelayaran utama dan kawasan perbatasan maritim dari sedikitnya enam negara pesisir: Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia. Wilayah ini memang sudah lama menyimpan potensi konflik—baik karena sengketa batas, perebutan sumber daya alam, maupun dinamika geopolitik. Namun, isu ini tidak pernah benar-benar diangkat secara masif ke forum global—sampai Amerika Serikat menjadikannya sebagai critical flashpoint pada awal dekade 2000-an. Langkah ini bukan tanpa alasan. Ketika kekuatan militer Amerika harus dikurangi di kawasan pasca-9/11, Washington membutuhkan satu titik strategis yang bisa digunakan untuk menggiring opini kawasan: bahwa ancaman utama bukan lagi dari ekstremisme global, melainkan dari ambisi ekspansionis Tiongkok. Di sinilah Laut Cina Selatan digunakan sebagai panggung.
Narasi dibentuk, bahwa kawasan ini tidak stabil, bahwa jalur pelayaran dunia terancam, dan bahwa negara-negara Asia Tenggara sebaiknya bersatu menghadapi ancaman bersama. Ini sebetulnya bukan hanya soal stabilitas kawasan, tetapi bagian dari strategi Amerika untuk menggalang dukungan dalam konteks yang lebih besar—yakni perang dagang antara Amerika dan Tiongkok, atau yang dikenal luas sebagai US-China Trade War.
AUKUS: Langkah Cepat Mengisi Kekosongan

Melihat respons kawasan yang cenderung lunak dan pragmatis, Amerika mengambil langkah lebih konkret. Tahun 2021, dibentuklah AUKUS—pakta pertahanan trilateral antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Dalam kerangka ini, Australia akan dibekali kapal selam bertenaga nuklir, bukan untuk membawa senjata nuklir, tetapi untuk meningkatkan jangkauan dan kehadiran militernya di perairan strategis—termasuk sekitar Laut Cina Selatan dan sekitarnya.
Langkah ini tidak datang tanpa kontroversi. Prancis murka karena kontrak puluhan miliar dolar untuk pembangunan kapal selam konvensional dengan Australia dibatalkan sepihak. Beijing menuduh AUKUS sebagai bentuk militerisasi Kawasan dan memicu lomba senjata di kawasan. Sementara Selandia Baru segere menutup pintu bagi kapal selam nuklir, sesuai kebijakan bebas-nuklir nasional mereka. Yang menarik: AUKUS memungkinkan Amerika kembali memproyeksikan kekuatan militer di Pasifik, tanpa harus membangun pangkalan baru. Lewat sekutu yang diperkuat secara teknologi dan doktrin, Washington bisa tetap menjadi “penjaga gawang” kawasan ini.
Munculnya Lingkaran Ketegangan Baru?
Kini, kita berada di titik kritis. Di satu sisi, AUKUS dan isu Laut Cina Selatan mencerminkan keberhasilan strategi jangka panjang Amerika dalam membendung dominasi Tiongkok. Tetapi di sisi lain, muncul ketegangan baru yang justru membuat kawasan ini semakin tidak stabil. Negara-negara seperti Indonesia menghadapi dilema besar. Apakah kita akan merapat ke blok pertahanan Barat, atau tetap menjaga jarak aman demi stabilitas kawasan? AUKUS bisa memberi jaminan pertahanan, tetapi sekaligus mengundang bayang-bayang konflik.
Sebenarnya bagi Indonesia, pilihan kita jelas: memperkuat posisi netral aktif, menjaga kedaulatan nasional, dan tidak membiarkan wilayah kita menjadi medan rivalitas adidaya. Diplomasi pertahanan harus dijalankan dengan kepala dingin dan pandangan jauh ke depan. Kita tidak boleh menjadi penonton di rumah sendiri. Kita harus membangun kekuatan kita sendiri—baik melalui pertahanan mandiri, modernisasi alutsista, maupun kerja sama regional yang tidak bersifat eksklusif atau memihak. Laut kita adalah halaman rumah kita. Dan kedaulatan di atasnya, harus dijaga oleh kita sendiri.
Referensi:
- Kaplan, Robert D. Asia’s Cauldron: The South China Sea and the End of a Stable Pacific. Random House, 2014.
- Nye, Joseph S. “The Future of American Power.” Foreign Affairs, Vol. 89, No. 6, 2010.
- U.S. Department of Defense. Annual Report to Congress: Military and Security Developments Involving the PRC, 2020.
- BBC News. “Stanley McChrystal Resigns over Afghanistan Comments.” 23 Juni 2010.
- The Guardian. “AUKUS Submarine Deal Sparks Fury from France, China and New Zealand.” 16 September 2021.
Jakarta 1 Juni 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia