Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»KEDAULATAN DI ANTARIKSA: ANTARA HARAPAN TEKNOLOGI DAN REALITAS GEOPOLITIK
    Article

    KEDAULATAN DI ANTARIKSA: ANTARA HARAPAN TEKNOLOGI DAN REALITAS GEOPOLITIK

    Chappy HakimBy Chappy Hakim06/05/2025No Comments6 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Dunia tengah menyaksikan pergeseran besar dalam peta kekuatan global. Jika pada abad ke-20 panggung pertarungan berada di darat, laut, dan udara, maka abad ke-21 telah membuka panggung baru: antariksa. Negara-negara berlomba menembus batas langit bukan hanya untuk ilmu pengetahuan, tetapi untuk memperkuat pengaruh dan proyeksi kekuasaan. Di tengah euforia kemajuan ini, muncul satu pertanyaan mendasar: bagaimana konsep kedaulatan berlaku di antariksa? Apakah negara masih bisa bicara tentang hak eksklusif di wilayah yang tak kasat mata dan tak berbatas?

    Untuk memahami persoalan ini secara jernih, kita perlu membedakan secara tegas antara tiga istilah yang kerap disamakan, padahal memiliki makna yang berbeda secara teknis maupun yuridis, yaitu: udara, antariksa, dan dirgantara.

    Menurut Prof. Priyatna Abdurrasjid, pakar hukum udara dan ruang angkasa internasional dari Universitas Padjadjaran, istilah udara merujuk pada lapisan atmosfer yang berada di atas permukaan bumi dan masih berada dalam jangkauan gravitasi serta tekanan udara. Di sinilah hukum udara berlaku secara mutlak, di mana negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udaranya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

    Sementara itu, antariksa (outer space) adalah wilayah yang berada di luar atmosfer bumi, yakni di luar batas ketinggian yang oleh banyak ilmuwan dirujuk sebagai batas Kármán (sekitar 100 km di atas permukaan laut). Pemerintah RI melalui LAPAN mengajuka usul sampai dengan 110 KM.  Sampai sekarang belum ada kesepakatan internasional dalam kasus ini.  Di zona ini, tidak berlaku prinsip kedaulatan dalam arti klasik. Berdasarkan Outer Space Treaty 1967, tidak satu pun negara diperkenankan mengklaim antariksa sebagai miliknya, karena wilayah ini ditetapkan sebagai milik bersama umat manusia (province of all mankind).

    Adapun dirgantara, menurut Prof. Priyatna, adalah sebuah konsep integratif, yakni ruang yang mencakup udara dan antariksa secara fungsional dan simultan. Dalam istilah militer dan teknologi modern, dirgantara adalah arena operasi dan pertahanan yang tak lagi membedakan secara kaku antara atmosfer dan luar angkasa. Inilah sebabnya mengapa istilah “angkasa luar” mulai digantikan oleh istilah yang lebih strategis dan kontemporer: dirgantara.

    Memahami batas-batas ini bukan sekadar urusan akademik, tetapi juga persoalan strategi nasional, pertahanan negara, dan kedaulatan. Negara yang gagal membedakan atau menguasai ruang-ruang tersebut, sejatinya sedang membuka celah bagi kekuatan asing untuk masuk tanpa perlawanan. Dalam konteks ini, pembahasan mengenai kedaulatan di antariksa menjadi sangat relevan dan mendesak—bukan sekadar wacana teoritis, tetapi isu strategis abad ke-21 yang menentukan nasib bangsa di masa depan.

    Mengurai Makna Kedaulatan di Luar Atmosfer

    Dalam doktrin pertahanan modern, kedaulatan adalah kata kunci. Ia menyiratkan kendali penuh atas wilayah dan sumber daya yang ada di dalamnya. Namun begitu kita keluar dari atmosfer bumi, konsep ini mengalami perubahan besar. Berdasarkan perjanjian internasional tahun 1967 yang dikenal sebagai Outer Space Treaty, disepakati bahwa antariksa adalah milik bersama umat manusia. Tidak satu pun negara boleh mengklaim bagian dari antariksa sebagai wilayah kedaulatannya. Aturan ini muncul karena kesadaran bahwa langit luar adalah ranah strategis dan sensitif, yang bila dikuasai secara sepihak, bisa mengancam perdamaian global.

    Tapi jangan salah paham. Negara memang tidak boleh mengklaim orbit atau bulan sebagai wilayahnya, namun setiap satelit, stasiun luar angkasa, dan benda buatan yang diluncurkan ke antariksa tetap menjadi milik dan tanggung jawab negara peluncurnya. Ini seperti kendaraan yang melintasi jalan umum—jalan itu milik semua orang, tetapi mobilnya milik pribadi. Dengan kata lain, walau ruang angkasa bersifat terbuka, objek di dalamnya tetap tunduk pada yurisdiksi nasional.

    Antariksa sebagai Etalase Kepentingan Negara

    Realitas menunjukkan bahwa antariksa bukan lagi sekadar ruang eksplorasi ilmiah. Ia telah menjadi arena strategis tempat negara-negara besar menampilkan kemampuan teknologi dan pertahanan. Sistem navigasi seperti GPS (Global Positioning System) , Beidou (China), atau GLONASS (Rusia) dan Galileo (UE) bukan semata alat bantu peta, tetapi juga perangkat militer yang sangat presisi. Satelit pengintai, komunikasi rahasia, hingga peluncuran sistem deteksi rudal—semua kini berpijak di orbit.

    Amerika Serikat bahkan membentuk cabang militer baru bernama United States Space Force, menandai keseriusan mereka dalam mempertahankan dominasi di luar angkasa. Tiongkok dan Rusia pun tak mau kalah. Mereka meluncurkan program eksplorasi bulan dan asteroid, serta membangun stasiun luar angkasa sendiri. Dalam situasi seperti ini, berbicara soal kedaulatan di antariksa bukanlah omong kosong. Ini adalah soal penguasaan informasi, pengendalian sistem pertahanan, dan penyusunan strategi geopolitik jangka panjang.

    Kedaulatan Tanpa Wilayah, Tapi Penuh Tanggung Jawab

    Kedaulatan di antariksa bukan berarti memagari ruang tak berbatas, melainkan menjamin bahwa setiap benda dan aktivitas yang diluncurkan oleh suatu negara tetap dalam pengawasan dan kendali negara tersebut. Jika ada satelit Indonesia di orbit, maka tanggung jawab hukum, teknis, dan politis tetap melekat pada Indonesia—meskipun satelit itu melintasi belahan bumi lain.

    Lebih jauh lagi, negara juga wajib mengawasi aktivitas perusahaan swasta yang bergerak di sektor luar angkasa. Tidak boleh ada perusahaan peluncuran roket tanpa izin dan pengawasan ketat dari negara asalnya. Ini penting untuk mencegah munculnya aktor tak bertanggung jawab yang bisa merusak tatanan dan keamanan ruang angkasa bersama.

    Kemandirian Teknologi sebagai Pilar Kedaulatan

    Satu aspek yang sering terabaikan adalah bahwa kedaulatan antariksa tak mungkin dicapai tanpa kemandirian teknologi. Negara yang tidak punya roket sendiri, tidak punya pusat peluncuran nasional, dan hanya bisa menyewa jasa negara lain, sejatinya belum berdaulat di langit. Mereka mungkin punya satelit, tapi bukan pengendali jalur dan sistemnya. Ini seperti punya rumah, tapi kuncinya dipegang orang lain.

    Indonesia sendiri masih tertinggal dalam hal ini. Program roket nasional belum berkembang maksimal, dan peluncuran satelit masih bergantung pada negara lain. Padahal, sebagai negara kepulauan yang luas dan strategis, Indonesia harus mulai memikirkan pembangunan sistem antariksa yang terintegrasi dengan kepentingan nasional, bukan sekadar proyek prestisius.

    Kesimpulan

    Kedaulatan di antariksa adalah soal kewenangan atas objek dan aktivitas, bukan klaim wilayah. Ini berbeda dengan konsep kedaulatan udara yang eksklusif dan teritorial. Di antariksa, kedaulatan tampil dalam bentuk tanggung jawab, kemampuan teknis, serta peran dalam tata kelola global.

    Namun demikian, satu hal tetap tidak berubah: kuasa atas langit, dalam bentuk apa pun, selalu menjadi penentu kekuatan suatu bangsa. Dalam konteks ini, ucapan David Ben-Gurion menjadi sangat relevan:

    “High quality of living is impossible without full aerial control.”

    Bisa jadi, di masa depan, kalimat itu perlu ditambah:
    “And aerial control must now include the command of outer space.”

    Jakarta  21 Mei 2025

    Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleDiplomasi Indonesia dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan
    Next Article Bagaimana Hanud RI ?
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Bagaimana Hanud RI ?

    06/06/2025
    Article

    Diplomasi Indonesia dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan

    06/05/2025
    Article

    Demokrasi, Antara Mitos dan Kenyataan Pahit

    06/05/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.