Mencari Jalan Damai di Tengah Badai Geopolitik
Laut Tiongkok Selatan (LTS) merupakan kawasan laut strategis yang menjadi jalur lalu lintas perdagangan dan energi dunia. Lebih dari USD 15 triliun nilai perdagangan global setiap tahun melintasi wilayah ini, menjadikannya sebagai nadi utama perekonomian internasional. Selain itu, sebagian besar ekspor dan impor barang modal Indonesia juga melewati LTS, sehingga setiap ketegangan di kawasan tersebut berpotensi mengganggu stabilitas nasional dan regional. Dengan kompleksitas sengketa kedaulatan antarnegara pengklaim, dan keterlibatan kekuatan besar seperti Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), kawasan ini telah berubah menjadi ladang konflik geopolitik berisiko tinggi.
Indonesia secara konsisten menegaskan bahwa dirinya bukan negara pengklaim (non-claimant state). Wilayah Indonesia, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Natuna, telah dilaporkan ke PBB sesuai ketentuan UNCLOS 1982, dan tidak pernah dipersengketakan secara formal oleh negara anggota lain. Klaim historis sepihak dari RRT melalui konsep nine-dash line tidak diakui Indonesia karena tidak memiliki dasar hukum internasional yang sah, baik dari segi koordinat maupun dokumen formal yang diakui【1】.
Namun demikian, ketegangan di LTS tetap membawa konsekuensi langsung bagi Indonesia. Insiden masuknya kapal-kapal nelayan dan penjaga pantai Tiongkok ke perairan Natuna menjadi bukti bahwa konflik ini tidak hanya bersifat simbolik atau retorik, tetapi nyata mengancam kedaulatan dan keamanan nasional. Oleh karena itu, meskipun bukan pihak dalam sengketa kepulauan, Indonesia memiliki kepentingan strategis untuk menjaga stabilitas kawasan.
Sengketa LTS memiliki dua dimensi utama: dimensi hukum dan dimensi politik. Dalam dimensi hukum, klaim kedaulatan atas pulau-pulau di LTS belum pernah terselesaikan melalui lembaga internasional, karena pada umumnya penyelesaian kasus-kasus seperti ini terjadi melalui kesepakatan bilateral atau multilateral antarnegara pengklaim【2】. Di sisi lain, dimensi politik sangat rentan terhadap eskalasi, terutama ketika kekuatan besar ikut campur. Ketegangan politik bukan hanya membahayakan hubungan diplomatik antarnegara, tetapi juga dapat merusak integritas ASEAN sebagai organisasi regional.
Sebagai kekuatan utama di ASEAN, Indonesia memegang peranan penting dalam menjaga soliditas dan efektivitas organisasi ini. Ketika KTT ASEAN 2012 di Phnom Penh gagal mengeluarkan pernyataan bersama karena perbedaan sikap terhadap manuver Tiongkok, Indonesia turun tangan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginisiasi diplomasi shuttle dengan mengirim Menteri Luar Negeri untuk menyampaikan draft baru yang dapat diterima semua pihak, sekaligus menyelamatkan ASEAN dari perpecahan permanen【3】.
Salah satu kontribusi signifikan Indonesia adalah mendorong penyusunan Code of Conduct (COC) di LTS. Indonesia menilai bahwa kekosongan kerangka hukum yang disepakati bersama membuat setiap insiden berpotensi menjadi konflik terbuka. Dengan COC, ASEAN dan RRT diharapkan memiliki rambu-rambu perilaku dan penyelesaian sengketa secara damai. Meskipun proses perundingan memakan waktu panjang, kesepakatan atas Terms of Reference (TOR) dan kerangka COC merupakan langkah maju dalam diplomasi kawasan【4】.
Namun, jalan menuju perdamaian tidaklah mudah. Rivalitas strategis antara AS dan RRT semakin memperkeruh situasi. AS mengirim kapal perang ke LTS atas nama kebebasan navigasi, sementara RRT menanggapi dengan pembangunan instalasi militer di pulau-pulau sengketa dan manuver agresif di laut. ASEAN menjadi terbelah antara negara-negara pengklaim yang cenderung berkoalisi dengan AS dan negara non-pengklaim yang lebih bersikap netral atau cenderung ke Tiongkok.
Dalam menghadapi dinamika tersebut, Indonesia terus mengedepankan prinsip zone of peace, freedom, and neutrality (ZOPFAN). Sebagai pemrakarsa Bali Concord dan penggagas Treaty of Amity and Cooperation (TAC), Indonesia menekankan bahwa kawasan Asia Tenggara harus dijaga dari intervensi kekuatan besar yang mengancam stabilitas【5】. Diplomasi Indonesia bersandar pada prinsip non-blok, penyelesaian damai melalui musyawarah, serta penghormatan terhadap hukum internasional.
Indonesia juga menghadapi tantangan domestik dalam menjaga kedaulatan di Natuna. Pendekatan yang diambil harus bersifat ganda: menguatkan kehadiran militer sebagai penegasan kedaulatan, tetapi tidak terjebak dalam logika provokasi. Dalam hal ini, kebijakan luar negeri Indonesia menampilkan keseimbangan antara kekuatan lunak (soft power) berupa diplomasi, dan kekuatan keras (hard power) berupa kesiapsiagaan pertahanan.
Demikianlah pengalaman Indonesia dalam menangani isu Laut Tiongkok Selatan menjadi contoh bahwa negara dengan posisi geografis strategis dan kredibilitas diplomatik tinggi dapat berkontribusi pada penyelesaian damai konflik regional. Indonesia tidak hanya membela kepentingan nasionalnya, tetapi juga menjaga kredibilitas ASEAN dan ketertiban hukum internasional. Di tengah rivalitas kekuatan besar, Indonesia tetap memilih jalan musyawarah, kerja sama, dan prinsip-prinsip multilateralisme. Inilah wujud dari diplomasi yang berlandaskan kearifan dan tanggung jawab geopolitik di kawasan Asia-Pasifik.
Catatan Kaki
- UNCLOS 1982 merupakan konvensi internasional yang menjadi dasar hukum laut modern, termasuk pengaturan ZEE.
- Lihat kasus penyelesaian Laut Timor antara Australia dan Timor Leste sebagai ilustrasi penyelesaian sengketa bilateral.
- Pidato Presiden SBY pada KTT ASEAN 2012, dokumentasi Kemlu RI.
- “Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea,” ASEAN Secretariat, 2002.
- Bali Concord I (1976) dan Bali Concord II (2003), yang diadopsi saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN.