Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Perang yang Tiada Akhir
    Article

    Perang yang Tiada Akhir

    Chappy HakimBy Chappy Hakim06/05/2025No Comments6 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Kekalahan Telak bagi Jet Tempur Eropa

    Berikut ini adalah kutipan berita  dari  t-online.de, sebuah situs berita milik Ströer Media, sebuah perusahaan media digital besar di Jerman.. Awalnya situs itu merupakan portal internet milik Deutsche Telekom, tetapi sejak 2015 diambil alih oleh Ströer Group.  Situs ini biasa menyajikan berita dan informasi dalam berbagai kategori, politik, dunia, ekonomi, teknologi, olahraga, dan hiburan.  Kali ini situs tersebut menurunkan artikel menarik tentang perang India Pakistan.

    Dalam konflik antara India dan Pakistan, jet tempur buatan China, Chengdu J-10C, yang digunakan oleh Angkatan Udara Pakistan, berhasil mengalahkan jet tempur Rafale buatan Prancis yang dioperasikan oleh India. Dalam pertempuran tersebut, tiga jet Rafale India berhasil ditembak jatuh, sementara jet J-10C Pakistan tetap utuh.t-online Situasi serupa terjadi dalam latihan militer sebelumnya, di mana jet J-10C Pakistan menghadapi Eurofighter Typhoon milik Qatar. Hasilnya, jet Eropa tersebut kalah telak dengan skor 0-9, menunjukkan keunggulan J-10C dalam pertempuran jarak dekat maupun jarak jauh.

    Keunggulan Teknologi China

    Keberhasilan jet tempur J-10C buatan China dalam simulasi pertempuran udara melawan jet-jet tempur Eropa tidak hanya mencerminkan kualitas desain aerodinamis atau kemampuan manuver pesawat semata, tetapi lebih penting lagi mencerminkan kemajuan pesat teknologi sistem persenjataan dan manajemen informasi tempur yang telah dikembangkan oleh industri pertahanan Tiongkok dalam satu dekade terakhir.

    1. Integrasi Sistem “Combat Cloud” dan AI

    Salah satu fitur paling menentukan dalam kemenangan J-10C adalah kemampuannya mengoperasikan Combat Cloud System, sebuah jaringan tempur digital berbasis kecerdasan buatan (AI) yang memungkinkan seluruh elemen dalam sistem tempur—pesawat, rudal, radar, drone, hingga sistem pertahanan darat—terhubung secara real-time dalam satu ekosistem terpadu.  Dengan sistem ini, pilot J-10C dapat menerima data dan informasi target dari berbagai sumber tanpa harus mengandalkan radar onboard-nya saja. Ini memungkinkan penguncian sasaran (target lock) dari luar jangkauan radar musuh (beyond-visual-range/BVR) bahkan sebelum terdeteksi secara aktif.  Sementara Jet tempur Eropa seperti Rafale dan Eurofighter Typhoon belum mengadopsi sistem Combat Cloud secara penuh dan masih sangat mengandalkan radar internal dan sensor pasif konvensional.

    2. Superioritas Rudal PL-15E

    Jet J-10C juga dipersenjatai dengan rudal udara-ke-udara jarak jauh PL-15E, yang memiliki jangkauan efektif diperkirakan hingga 300–500 km, jauh melampaui rudal Meteor (Prancis–Swedia) atau MICA yang digunakan pada Rafale, yang jangkauannya berkisar hanya pada kisaran 80–100 km.  PL-15E juga didukung sistem pemandu aktif radar AESA (Active Electronically Scanned Array) dan kemungkinan dilengkapi dengan data link dan sistem AI penjejak target yang memperkecil kemungkinan lolosnya sasaran.  Dalam pertempuran udara modern, jarak tembak pertama adalah segalanya—dan J-10C, dengan rudal PL-15E-nya, mampu menembak lawan jauh sebelum mereka mendeteksi ancaman.

    3. Avionik dan Radar AESA

    J-10C telah dilengkapi radar AESA generasi baru, yang tidak hanya memiliki jangkauan deteksi yang lebih jauh dan tahan terhadap jamming, tetapi juga mampu melacak banyak target secara bersamaan.

    Kecanggihan avionik J-10C meliputi helm pintar (HMD- Helmet Mounted Display), glass cockpit, serta sistem komunikasi terenkripsi berbasis satelit yang memungkinkan koordinasi antar armada secara aman dan cepat.  Jet ini juga memiliki sistem pertahanan diri terintegrasi (electronic countermeasures/ECM), yang membuatnya sulit dikunci oleh radar atau rudal lawan.

    4. Biaya Efisien dan Produksi Massal

    Salah satu kekuatan industri militer China adalah kemampuannya memproduksi teknologi tinggi dalam skala besar dengan biaya efisien. J-10C, meskipun canggih, dikembangkan untuk dapat diproduksi dalam jumlah besar dan dijual dengan harga yang kompetitif bagi negara-negara berkembang.  Harga satu unit J-10C diperkirakan jauh lebih murah dibanding Rafale atau Typhoon, namun dengan kemampuan tempur yang setara bahkan unggul dalam skenario BVR dan tempur jaringan (network-centric warfare).  Hal inilah yang  menjadikan J-10C bukan hanya alat militer, tapi juga sebuah instrumen soft power dan pengaruh strategis China di pasar global.

    5. Pendekatan Teknologi Berbasis Asimetri

    Strategi China dalam pengembangan alutsista tidak berupaya meniru penuh Barat, melainkan menciptakan keunggulan asimetris, terutama di domain digital, kecerdasan buatan, dan sistem sensor cerdas.  Dalam konteks perang udara modern, kemenangan tidak lagi ditentukan oleh manuver di udara secara fisik, tetapi oleh siapa yang lebih dahulu mendeteksi, mengunci, dan menyerang musuh dari jarak aman. Di sinilah China tampaknya telah melampaui ekspektasi.

    Dampak terhadap Industri Pertahanan Eropa

    Keberhasilan jet tempur J-10C buatan China dalam mengungguli pesawat tempur canggih buatan Eropa seperti Rafale (Prancis) dan Eurofighter Typhoon (konsorsium Inggris, Jerman, Italia, dan Spanyol) menimbulkan guncangan serius bagi kredibilitas dan daya saing industri pertahanan Eropa di pasar global.

    1. Keraguan terhadap Produk Eropa

    Performa J-10C yang secara taktis dan teknologi mengungguli rival-rivalnya menimbulkan keraguan dari calon pembeli internasional terhadap kehandalan produk Eropa. Jet tempur seperti Rafale, yang sebelumnya dianggap sebagai simbol keunggulan teknologi militer Barat, kini terlihat sekali rentan di hadapan sistem senjata berbasis AI dan jaringan data canggih buatan China.  Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa negara-negara berkembang, yang sebelumnya menjadi pasar utama jet tempur Eropa, akan berpaling ke produk China yang lebih murah, modern, dan efektif di medan tempur kontemporer.

    2. Risiko Kontrak Gagal atau Ditunda

    Kasus Indonesia disebut sebagai contoh nyata: setelah menyepakati pembelian 42 unit Dassault Rafale senilai sekitar 7,3 miliar euro, kini muncul wacana peninjauan ulang kontrak. Hal ini memperlihatkan bahwa keberhasilan tempur J-10C dapat mengganggu stabilitas dan kelangsungan ekspor senjata Eropa, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Timur Tengah yang sangat sensitif terhadap efektivitas tempur dan harga.

    3. Tekanan terhadap Inovasi dan Modernisasi

    Industri pertahanan Eropa menghadapi tekanan besar untuk mempercepat pengembangan jet generasi keenam, seperti proyek Future Combat Air System (FCAS) oleh Prancis, Jerman, dan Spanyol. Namun proyek ini sendiri menghadapi hambatan politik, birokrasi, dan pembiayaan lintas negara yang kompleks.  Tanpa percepatan inovasi nyata, Eropa terancam tertinggal oleh negara-negara seperti China dan Amerika Serikat yang sudah menggabungkan AI, sensor kuantum, dan cloud combat system dalam sistem persenjataan udara mereka.

    4. Kepentingan Geopolitik dan Diplomatik

    Secara strategis, kemerosotan daya saing jet Eropa di pasar internasional berpotensi melemahkan posisi tawar diplomatik negara-negara produsen seperti Prancis dan Jerman. Senjata bukan sekadar alat pertahanan, tetapi juga bagian dari pengaruh geopolitik dan relasi ekonomi. Jika reputasi militer produk mereka runtuh, maka kapasitas mereka untuk membangun aliansi strategis atau menjalin kerja sama pertahanan akan ikut tergerus.

    5. Dampak terhadap Kredibilitas Nuklir Prancis

    Khusus untuk Prancis, kekalahan simbolis Rafale membawa risiko serius terhadap sistem deterrence nuklir nasional. Rafale merupakan platform utama dalam doktrin nuklir udara Prancis. Jika performanya diragukan, kemampuan penangkalan (nuclear deterrence) yang selama ini dijadikan pilar kemandirian strategis Prancis menjadi bahan pertanyaan, baik di dalam negeri maupun di mata NATO.

    Demikianlah  maka terutama di media sosial, kekalahan jet Eropa menjadi bahan ejekan. Sementara itu, saham Avic Chengdu Aircraft Company, produsen J-10C, mengalami kenaikan signifikan.  Medan pertempuran adalah laksana laboratorium lapangan bagi proses penyempurnaan kualitas sitem senjata.  Kualitas sistem senjata tidak cukup di olah dalam laboratorium pabrik, akan tetapi memerlukan laboratorium lapangan yang tiada lain adalah medan perang.   Tidak itu saja , ternyata medan perang juga sekaligus merupakan sarana ampuh bagi marketing hasil produksi sistem persenjataan.  Hal ini pula yang kerap disebut sebagai sesuatu yang menjelaskan antara lain tentang mengapa perang di dunia tidak kunjung pernah berakhir. Perang yang tiada akhir.

    Jakarta  24 Mei 2025

    Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleMemetik Pelajaran dari Medan Tempur India Pakistan
    Next Article Demokrasi, Antara Mitos dan Kenyataan Pahit
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Bagaimana Hanud RI ?

    06/06/2025
    Article

    KEDAULATAN DI ANTARIKSA: ANTARA HARAPAN TEKNOLOGI DAN REALITAS GEOPOLITIK

    06/05/2025
    Article

    Diplomasi Indonesia dalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan

    06/05/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.