Oleh: Chappy Hakim
Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt menyebut tanggal 7 Desember 1941 sebagai “a day of infamy”, hari yang penuh kebiadaban, ketika Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor dihancurkan oleh serangan mendadak divisi udara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Pada hari itu, tidak hanya kapal-kapal perang Amerika yang tenggelam, tetapi juga ikut karam seluruh cara berpikir militer Amerika tentang perang, yang telah lama diyakini oleh para perencana pertahanan Amerika Serikat. Pearl Harbor menjadi tonggak sejarah yang menyadarkan dunia bahwa perang dapat meletus kapan saja dan di mana saja, bahkan di tempat yang dianggap paling tidak mungkin diserang¹.
Sebelum tragedi itu terjadi, banyak pemikir militer Amerika masih terjebak dalam pola pikir konvensional yang menganggap daratan utama dan pangkalan militer mereka di Pasifik terlindungi oleh luasnya Samudera Pasifik. Gagasan bahwa Jepang mampu mengirimkan armada penyerang sejauh ribuan mil dari Asia Timur ke Hawaii, tanpa terdeteksi lebih dulu adalah sesuatu yang dianggap tidak masuk akal. Namun justru karena ketidaksiapan inilah, Pearl Harbor menjadi bukti telanjang dari kesombongan militer dan kegagalan sistem pertahanan yang tidak adaptif terhadap dinamika ancaman baru².
Yang lebih tragis lagi, peringatan akan kemungkinan serangan semacam itu sebenarnya sudah pernah disuarakan sebelumnya. Billy Mitchell, seorang jenderal Angkatan Udara yang visioner, pada tahun 1924 menulis dalam laporan akhirnya setelah bertugas di Eropa, bahwa suatu hari Jepang akan menyerang Pearl Harbor dan Pangkalan Udara Clark di Filipina³. Peringatan itu tidak hanya diabaikan, bahkan Billy Mitchell diperlakukan seperti orang gila oleh para petinggi militer saat itu. Padahal, apa yang ia ramalkan dua dekade sebelumnya, menjadi kenyataan yang memilukan pada pagi hari 7 Desember 1941.
Tidak hanya itu, bahkan seorang perwira tinggi aktif, Rear Admiral James O. Richardson, Panglima Armada Laut Amerika Serikat saat itu, secara resmi menyampaikan protes keras kepada Presiden Roosevelt pada tanggal 1 Februari 1941. Richardson, lulusan Akademi Angkatan Laut AS (Annapolis, 1902), menilai bahwa keputusan Presiden untuk memindahkan Armada Pasifik dari San Diego ke Hawaii adalah langkah yang sangat berbahaya apabila tidak disertai dengan pembangunan sistem pertahanan udara yang memadai⁴. Namun alih-alih dipertimbangkan, protes tersebut justru membuat karier Richardson berakhir. Ia dipecat. Sejarah kemudian membuktikan bahwa kekhawatirannya bukanlah isapan jempol. Ia tidak salah, tetapi terlalu awal dalam kebenaran. Hanya 10 bulan rentang waktu berlalu, kekhawatiran Sang Admiral menjadi kenyataan, 7 Desember 1941 Pearl Harbor hancur lebur diserang Jepang.
Peristiwa Pearl Harbor menjadi titik balik yang mengguncang fondasi pemikiran militer AS. Selama ini, sistem pendidikan militer di Amerika Serikat telah melahirkan para perwira-perwira terbaik di dunia. West Point, akademi militer tertua yang berdiri sejak tahun 1802, telah menjadi simbol tradisi darat Amerika⁵. US Naval Academy (Annapolis) yang berdiri pada tahun 1845, menjadi benteng keunggulan kekuatan laut. Lalu menyusul berdirinya United States Air Force Academy (USAFA) tahun 1954, dan Air University (AU) pada tahun 1965⁶, yang menandai pengakuan atas dominasi dan peran strategis kekuatan udara dalam peperangan modern.
Namun, sebagus apa pun lembaga pendidikannya, apabila sistem berpikir dan mentalitas para pengambil keputusan militer tidak bertransformasi mengikuti perkembangan zaman, maka hasilnya tetap akan gagal seperti Pearl Harbor. Perang tidak lagi sekadar soal benturan fisik antar pasukan, tetapi menyangkut kecerdasan membaca ancaman, kecepatan bertindak, dan kesiapan menghadapi kejutan strategis⁷.
Surprise attack seperti yang dilakukan Jepang di Pearl Harbor menjadi cermin kegagalan intelijen, lemahnya early warning system, dan arogansi strategis yang berakar dari rasa aman palsu. Ironisnya, saat Jepang mempersiapkan serangan besar-besaran melalui laut dengan kapal induk dan pesawat tempur jarak jauh, sistem pertahanan Amerika justru tidak mampu membaca sinyal tersebut. Langit Hawaii dibiarkan terbuka tanpa radar yang berfungsi optimal dan tanpa kesiagaan tempur. Ketika pesawat-pesawat tempur Jepang datang menyapu pagi yang damai di Pearl Harbor, semua sudah terlambat. Delapan kapal perang besar rusak atau tenggelam, lebih dari 2.400 personel militer dan sipil Amerika gugur, dan Amerika Serikat akhirnya terpaksa menyatakan perang terhadap Jepang keesokan harinya⁸.
Sejak saat itulah, Amerika Serikat mulai membangun kembali sistem pertahanannya dengan pendekatan baru. Mereka mulai mengakui pentingnya kekuatan udara, memperkuat sistem radar dan pertahanan udara, serta menata kembali hubungan antar cabang militer melalui pembentukan struktur komando terpadu⁹. Salah satu implikasi terbesar adalah pengakuan atas peran sentral kekuatan udara sebagai pilar utama dalam doktrin militer modern, yang kemudian melahirkan USAF dan lembaga pendidikan seperti USAFA dan Air University.
Pelajaran dari Pearl Harbor tetap relevan hingga hari ini. Dalam dunia yang makin kompleks dengan ancaman asimetris, perang siber, drone, dan serangan presisi jarak jauh, sistem pertahanan suatu negara tidak boleh berpuas diri hanya karena merasa “belum ada yang menyerang”. Kesiapan bukan soal prediksi, tetapi soal kesiapsiagaan permanen¹⁰. Sama seperti Indonesia yang memiliki wilayah udara sangat luas dan strategis, kita pun harus belajar dari kegagalan Amerika Serikat di Pearl Harbor bahwa tidak ada kompromi dalam menjaga langit sendiri. Jangan sampai kita bernasib sama, menjadi korban dari arogansi, keterlambatan, dan kesalahan berpikir. Menjadi korban dari pameo bahwa tenang tanang, Belanda masih jauh !
Catatan Kaki:
- Roosevelt, Franklin D. (1941). Infamy Speech, 8 Desember 1941. National Archives.
- Prange, Gordon W. (1981). At Dawn We Slept: The Untold Story of Pearl Harbor. Penguin Books.
- Hurley, Alfred F. (1975). Billy Mitchell: Crusader for Air Power. Indiana University Press.
- Toland, John. (1982). Infamy: Pearl Harbor and Its Aftermath. Berkley Books.
- United States Military Academy, West Point. (www.westpoint.edu)
- United States Air Force Academy. (www.usafa.edu)
- Keegan, John. (1993). A History of Warfare. Vintage Books.
- Stinnett, Robert B. (2000). Day of Deceit: The Truth About FDR and Pearl Harbor. Free Press.
- Builder, Carl H. (1989). The Masks of War: American Military Styles in Strategy and Analysis. RAND Corporation.
- Chappy Hakim. (2020). Tanah Air Udara-ku Indonesia. PSAPI Press.
Jakarta 28 Juni 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia