Pusat Studi Air Power Indonesia
Secara garis besar, UU Pengelolaan Ruang Udara memang sudah berusaha menjawab problem tumpang tindih kewenangan antarlembaga, tetapi belum tentu secara otomatis menghapus semua potensi benturan dan birokrasi berlapis. Ia memberi kerangka dan “kompas” baru, tetapi masih membutuhkan desain kelembagaan dan aturan turunan yang serius kalau mau benar-benar menjadi panglima kedaulatan udara RI, bukan sekadar payung normatif.
Di sisi positif, UU ini sudah memperjelas siapa melakukan apa, terutama dalam hal penegakan hukum dan pengamanan wilayah udara. Posisi TNI AU sebagai garda depan pertahanan udara ditegaskan, termasuk kewenangan perwira penyidik TNI AU dalam kasus pelanggaran ruang udara di kawasan tertentu seperti kawasan terlarang, terbatas, instalasi militer, dan area aktivitas militer. Di saat yang sama, peran Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tetap diakui sebagai penegak hukum umum, sehingga jalur penanganan perkara pidana udara tidak lagi “mengambang” seperti dulu. Formulasi ini adalah upaya untuk mengurangi saling klaim kewenangan. TNI AU fokus pada aspek pertahanan dan penindakan awal di udara, sedangkan proses hukum secara pidana tetap harus bersinergi dengan Polri dan PPNS. Secara normatif, ini langkah maju dibandingkan situasi lama yang banyak bergantung pada tafsir antarinstansi.
Namun di sisi lain, UU ini belum secara eksplisit menata ulang keseluruhan arsitektur kelembagaan ruang udara dalam arti menciptakan satu komando nasional yang betul-betul tunggal. Kementerian Perhubungan tetap memegang otoritas penerbangan sipil dan navigasi udara, Kementerian Pertahanan dan TNI AU memegang pertahanan udara dan pengamanan wilayah udara, sementara lembaga lain seperti intelijen negara, Basarnas, Bea Cukai, dan Imigrasi tetap bergerak menurut mandat sektoral masing-masing. UU memberikan dasar koordinasi, tetapi mekanisme detail siapa memimpin dalam situasi tertentu, bagaimana alur komando ketika ada pelanggaran udara yang menyentuh isu imigrasi, penyelundupan, narkotika, atau ancaman terorisme masih akan sangat ditentukan oleh peraturan pelaksana, MoU antarlembaga, serta kultur koordinasi yang dibangun kemudian. Risiko birokrasi berlapis tetap ada apabila peraturan turunan nanti tidak berani menyederhanakan rantai komando dan prosedur operasional standar.
Karena itu, menjawab pertanyaan apakah UU Pengelolaan Ruang Udara sudah mengatasi potensi bentrokan kewenangan, jawabannya: baru pada level penegasan prinsip dan pembagian peran besar, belum sampai pada level arsitektur kelembagaan terpadu. Ia memberi pegangan bahwa pengelolaan dan pengamanan ruang udara adalah “urusan strategis nasional” yang harus melibatkan pertahanan, keamanan, penerbangan sipil, dan penegakan hukum secara serempak. Tetapi untuk mencegah praktik saling tumpang tindih di lapangan, masih diperlukan langkah-langkah lanjutan: penetapan otoritas ruang udara yang benar-benar kuat, SOP gabungan TNI AU, Kemenhub, Polri, intelijen, Basarnas, Bea Cukai, Imigrasi, serta mekanisme joint operations dan joint command center yang tidak sekadar seremonial.
Berikutnya, mampukah UU baru ini menjadi panglima kedaulatan udara RI? Potensinya ada, karena untuk pertama kalinya Indonesia punya satu UU khusus yang secara eksplisit berbicara tentang pengelolaan ruang udara sebagai sumber daya strategis sekaligus domain pertahanan, bukan hanya sekadar “jalur lalu lintas pesawat sipil”. Di atas kertas, ini adalah fondasi penting menuju kedaulatan udara yang utuh. Tetapi panglima sejati kedaulatan udara tidak cukup hanya berupa teks UU; ia harus menjelma menjadi struktur kelembagaan yang tegas, sistem komando yang sederhana dan jelas, integrasi nyata antara sipil dan militer, serta keberanian politik untuk menempatkan kepentingan kedaulatan di atas kepentingan sektoral. Jika langkah-langkah lanjutan itu berani diambil melalui PP, Perpres, doktrin pertahanan, dan reformasi tata kelola, maka UU ini bisa menjadi panglima. Jika tidak, ia hanya akan menjadi satu lagi payung hukum yang baik di atas kertas, sementara langit Indonesia tetap dikelola secara tambal sulam.
Pada titik inilah gagasan untuk menghidupkan kembali Dewan Penerbangan yang pernah dibentuk tahun 1955 menjadi sangat relevan. Di tengah kompleksitas pengelolaan ruang udara, tumpang tindih kewenangan, dan laju teknologi yang berlari jauh di depan birokrasi, Indonesia membutuhkan satu “meja bersama” yang permanen dan berwibawa tempat semua kepentingan bertemu dari pertahanan, keselamatan penerbangan, ekonomi, intelijen, penegakan hukum, hingga pencarian dan pertolongan. Dewan Penerbangan dengan mandat sinkronisasi penerbangan sipil dan militer, dipimpin secara bergantian oleh Menteri Pertahanan dan Menteri Perhubungan, dengan KSAU sebagai anggota tetap, akan menjadi forum strategis untuk memastikan bahwa setiap keputusan di langit Indonesia dilihat secara utuh, bukan dari kacamata sektoral semata.
Dengan format seperti itu, Dewan Penerbangan dapat berfungsi sebagai “otak kolektif” kedaulatan udara: menyusun kebijakan lintas sektor, mengharmoniskan implementasi UU Pengelolaan Ruang Udara dengan doktrin pertahanan dan regulasi penerbangan sipil, sekaligus menjadi ruang koordinasi tetap ketika terjadi pelanggaran udara, insiden keselamatan, maupun pengembangan teknologi baru seperti drone, AAM, dan sistem siber kedirgantaraan. UU Pengelolaan Ruang Udara memberi payung hukumnya; Dewan Penerbangan memberi nyawa kelembagaannya. Tanpa mekanisme seperti ini, kedaulatan udara Indonesia akan terus terancam dikelola secara parsial dan tambal sulam. Dengan membangkitkan kembali Dewan Penerbangan dalam format yang diperbarui dan diperkuat, Indonesia sesungguhnya sedang mengambil satu langkah penting untuk memastikan bahwa langit Nusantara benar-benar diatur oleh satu orkestrasi nasional yang rapi, terkoordinasi, dan berpihak pada kepentingan kedaulatan negara.
Sayangnya mengenai Dewan Penerbangan tidak dituangkan dalam Undang Undang Pengelolaan Ruang Udara ini. Sebuah sinyal yang jelas menandakan bahwa dalam tahap pembahasannya belum cukup mendengarkan beberapa pihak yang memiliki kompetensi dalam tata kelola kedaulatan negara di udara seperti antara lain Pusat Studi Air Power Indonesia.
Jakarta 28 November 2025
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia

