counter create hit
ArticleLifeMemories

17-an di Jakarta Tahun 1950-an

Setiap tanggal 17 Agustus di Jakarta selalu hadir banyak aktifitas yang berkait dengan peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Upacara Bendera , detik-detik proklamasi selalu menjadi saat yang dinantikan oleh semua orang. Bung Karno akan berpidato dengan semangat berapi-api. Penaikan bendera pusaka dilakukan oleh satu regu pengerek bendera yang dikala itu belum dikenal dengan nama Paskibraka. Sampai dengan tahun 1964, para pengibar bendera ini, tidak seperti sekarang, hanya dilakukan oleh anak-anak SMA di Jakarta. Semua SMA Negeri di Jakarta, diminta mengirim siswa perwakilannya untuk diseleksi siapa yang akan diberi tanggungjawab sebagai regu pengerek bendera pusaka. Para siswa itu memang diusahakan atau dipilih dari anak-anak yang dapat mewakili daerah-daerah diseluruh Indonesia. Saat itu untuk mendatangkan siswa dari daerah-daerah tentunya masih sangat sulit.

Secara kebetulan di tahun 1950-an itu saya tinggal dirumah orang tua saya di jalan segara 4 no 4 Paviliun. Rumah no 4 itu terdiri dari 3 buah rumah. Rumah utama ditinggali oleh keluarga belanda Meneer Wiener dengan dua anaknya, Royke dan Dienekke. Dua rumah dibelakangnya ditempati oleh ayah saya sekeluarga dan satu lagi rumah dibelakang dihuni oleh keluarga Malantja, famili dekatnya Bung Adam Malik. Saat ini jalan Segara telah berganti nama Jalan Veteran. Jalan Veteran 4 telah tiada dan sudah menjelma sebagai bagian dari halaman dari Istana Presiden.

Kesibukan pada dan menjelang 17 Agustus yang selalu saja melibatkan saya dan abang saya, antara lain adalah : dipagi hari tentu saja berkeliaran didekat Istana untuk melihat keramaian yang ada. Dipagi hari itu pasti akan banyak orang disepanjang jalan disekitar Istana. Orang-orang itu akan berusaha menyaksikan dari dekat, Bung Karno yang akan berpidato. Setiap tahun, pada tanggal 17 Agustus, Bung Karno akan berpidato, disebuah panggung kecil atau mimbar yang dibangun khusus untuk beliau berpidato. Mimbar itu terletak di depan Istana Merdeka, sedikit diluar pagar Istana. Setiap tahun pula orang-orang berdatangan di lapangan didepan Istana Merdeka mendengarkan Pidato Bung Karno yang pada tiap tahun selalu diberi judul yang khusus. Satu diantara judul yang terkenal adalah “Tavip”, Tahun Vivere Pericoloso. Artinya Tahun “nyerempet-nyerempet bahaya”, pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus tahun 1964.

Pidato Bung Karno selalu dibawakan dengan berapi-api penuh semangat dan selalu juga diselingi tepuk tangan yang riuh rendah dari hadirin disitu. Pertunjukkan ini berlangsung setiap tahun, dan sepertinya semua orang menantikan saat-saat Pidato Bung Karno ini. Jakarta menjadi kota mati, semua orang mendengarkan pidato Bung Karno yang disiarkan langsung oleh RRI. Jalan-jalan lainnya sepi, semua orang seakan datang ke depan Istana atau tinggal dirumah mendengarkan Pidato Bung Karno di Radio.

Setelah usai Pidato, biasanya dilanjutkan dengan defile, barisan-barisan dari tentara dan polisi dan juga serombongan barisan para pemuda dan pemudi yang membawa banyak bendera merah purih. Saya dan abang saya, karena masih kecil, maka hanya dapat melihat kaki-kaki tentara bersepatu Bot dengan paku jeruk dari sela-sela penonton dewasa dengan suara hentakan kaki yang keras bunyinya. Sesekali saya melihat keatas, dan terlihat dengan susah payah jajaran “bayonet” atau sangkur dari senjata yang mengkilap para tentara yang berbaris rapih itu, atau kelebatan bendera merah putih yang dibawa serta dalam defile. Hanya itu yang bisa dilihat, namun kami semua senang sekali dengan segala keterbatasan yang ada menikmati defile para pemuda pemudi dan tentara tersebut.

Siang harinya, saya dan abang saya sudah harus bersiap-siap untuk menuju ke sekolah. Kami berdua sekolah di Sekolah Rakyat sekarang bernama Sekolah Dasar yang letaknya di Jalan Taman Petojo jaga monyet. Jarak yang lebih kurang 3 sampai 4 kilometer itu selalu kita tempuh dengan berjalan kaki. Kami semua anak sekolah rakyat di Jakarta, mungkin juga anak sekolah smp, setiap sore hari 17 Agustus harus mengikuti kegiatan “aubade” namanya , dihalaman Istana Merdeka. Walaupun saya tinggal dekat Istana, kami harus berkumpul disekolah dulu untuk kemudian berangkat bersama-sama menggunakan Truk Bak Terbuka menuju lapangan Gambir. Dari situ berbaris rapih untuk masuk ke Istana Merdeka. Di Istana ini kita semua , anak sekolah di Jakarta menyanyikan dengan penuh semangat lagu-lagu perjuangan dihadapan Presiden Republik Indonesia. Kegiatan yang sangat menyenangkan dan sekaligus membanggakan. Aubade sore hari yang hikmat itu, dengan iringan korps musik yang bagus sekali, selalu saja membuat anak-anak, betapapun belia umurnya, berdiri bulu kuduknya, merinding sambil bernyanyi. Terbakar semangatnya ! Semangat “indonesia” nya.

Setelah bernyanyi, Bung Karno pun akan berpidato dengan format yang tidak resmi seperti di pagi harinya. Tidak juga sepanjang pidatonya di pagi hari itu.

Jauh sebelumnya, mungkin lebih kurang 1 atau 2 bulan sebelum bulan Agustus, anak-anak sekolah ini berlatih seminggu sekali di Lapangan Ikada, dekat lapangan Gambir, lebih kurang di kawasan Monas sekarang. Di Lapangan atau Stadion Ikada, di tribune barat, anak-anak sekolah yang didampingi para guru-guru mereka, berlatih menyanyi lagu-lagu perjuangan. Latihan itu sendiri di iringi oleh Korps Musik Kepolisian Negara yang dipimpin oleh RAJ Soedjasmin yang terkenal itu. Masih terbayang hingga kini, sosok RAJ Soedjasmin yang mengenakan PDH Polisi bertindak sebagai “dirigen” atau “conductor” dengan sepotong tongkat kecil. Memberikan aba-aba kepada kelompok musiknya terlebih dahulu untuk “intro” nya sebuah lagu, dan kemudian berpindah arah muka nya dan tongkat kecilnya kearah anak-anak, sebagai tanda mulai bernyanyi. Maka bernyanyilah kita semua. Lagunya antara lain , lagu 17 agustus tahun 45, rayuan pulau kelapa, bangun pemuda pemudi, maju tak gentar dan lain-lain.

Selain Aubade, Jakarta dimeriahkan pula oleh pawai perahu merah putih yang melintas di sepanjang sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung yang mengalir dari arah jalan Gajah Mada melintas dimuka Istana Negara di kala itu tidaklah sekotor sekarang. Ada beberapa tangga disekitar aliran sungai tersebut, dan kerap di pagi hari banyak orang yang mencuci pakaian disitu.

Pawai merah putih ini diikuti oleh cukup banyak perahu atau sampan yang semuanya mengibarkan bendera merah putih sesuai ukuran perahu mereka masing-masing. Orang-orang dan juga anak-anak tentunya banyak yang menyaksikan dari tepi sungai, melambai-lambaikan tangan ke arah orang yang berada di perahu yang kemudian dengan sigap pula membalasnya.

Demikian pula Trem yang melintas dari arah Mesjid Istiqlal melintas depan Istana menuju kearah kota, di saat hari-hari menjelang 17 Agustus, dimuka nya selalu dipasang dua tiang bendera kecil bersilang dengan merah putih yang berkibar-kibar ditiup angin.

Dua atau tiga hari setelah 17 Agustus, biasanya ada pawai mobil berhias. Pawai ini akan melewati jalan merdeka dan terus kearah kota. Hampir semua warga kota Jakarta berduyun-duyun untuk melihat tontonan yang menarik ini. Selepas pawai ini, biasanya banyak orang kemudian bergerak ke pasar Gambir, untuk melepas lelah sambil menikmati jajanan yang ada disana, dibawah pohon beringin yang besar dan teduh. Jajanan tersedia disitu seperti gado-gado, ketoprak, Juhi, kerak telor, Es Mambo dan bahkan terkadang menikmati tontonan dari “tukang obat” yang kerap bermain sulap seadanya.

Itulah seluruh kegiatan 17 an di tahun 1950 -an sampai dengan di awal tahun 1960-an. Kegiatan yang dinikmati masyarakat Jakarta, tidak perduli si miskin dan si kaya, si terpelajar atau orang kampung, semua seolah berpadu dalam merayakan 17 Agustus yang selalu saja meningkatkan rasa kebersamaan sebagai sesama warga negara Indonesia yang :”Merdeka”, yang bangga dengan “Indonesia” nya. Yang bangga dengan “Indonesia Raya” nya. Kegiatan-kegiatan yang dinikmati secara kolektif, dan dilatarbelakangi oleh lagu-lagu Mars Perjuangan dan lagu aubade anak-anak yang senantiasa berkumandang sepanjang 17 an itu, siang dan malam di Radio melalui RRI, satu-satunya pemancar radio saat itu.

Semua itu kini , satu persatu menjadi hilang ,hanya tinggal kenangan, kenangan yang manis.

Dirgahayu Indonesia,

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button