Mengenang SR Negeri 47 Petodjo Jaga Monyet (1954–1960
Kenangan masa kecil adalah harta tak ternilai yang tersimpan rapat dalam benak. Sebagian di antaranya begitu hidup, seolah baru terjadi kemarin. Demikian pula kenangan saya saat bersekolah di Sekolah Rakyat Negeri 47 yang terletak di Jalan Petodjo Jaga Monyet, Jakarta Pusat. Saya masuk tahun 1954 dan lulus tahun 1960. Enam tahun yang saya lalui di sana telah membentuk sebagian besar karakter dan nilai-nilai yang saya pegang seumur hidup.
Sekolah ini bukanlah sekolah besar, tetapi memiliki jiwa yang hidup. Bangunannya terdiri dari enam ruang kelas, terletak berjajar dalam satu deret yang memanjang, dan di ujungnya terdapat sebuah tempat bermain yang agak luas serta beratap, yang kami sebut dengan “Bangsal.” Bangsal inilah yang kerap menjadi pusat hiburan bagi anak-anak sekolah. Sesekali, datanglah tukang sulap atau akrobat yang mempertontonkan kebolehannya. Pertunjukan itu selalu menarik perhatian kami, anak-anak kecil yang haus akan hiburan sederhana.
Guru kelas satu saya adalah seorang perempuan yang kami panggil Entjik Nina—sosok keibuan yang sabar mengajari kami membaca, menulis, berhitung, mengarang, bernyanyi dan pelajaran Budi Pekerti serta mencongak yaitu belajar menulis apa yang di dikte oleh guru. Ketika saya naik ke kelas lima, saya diasuh oleh Pak Mochtar. Ia adalah pribadi unik yang selalu memperkenalkan dirinya sebagai guru dari Pulau Rupat. Setiap kali ia menyebut asal usulnya, seluruh kelas terdiam bingung—karena tak seorang pun dari kami tahu di mana Pulau Rupat itu berada. Namun justru dari situlah kami belajar: bahwa dunia ini luas, dan pelajaran tidak hanya berasal dari buku, tetapi juga dari cerita dan pengalaman guru-guru kami.
Kegiatan unik ketika itu adalah ada acara nonton bersama ke Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta. Saya masih ingat kala itu pementasan semacam sandiwara drama berjudul Raja Sehari. Ada pula program kesehatan dari dinas kesehatan DKI Jakarta yang memeriksa secara periodik kesehatan anak anak sekolah SR di Jakarta. Saya pernah menjadi salah satu anak yang ternyata masuk kategori kurang gizi, sehingga di kirim ke Cimacan, lokasi dari Yayasan Putera Bahagia yang memilik program 2 minggu untuk pemusatan perbaikan kesehatan anak anak sekolah SR yang kurang Gizi.
Sekolah SR Petodjo Jaga Monyet juga memiliki kegiatan luar kelas yang berlangsung setiap Minggu sore, yakni kepanduan. Saat itu, gerakan kepanduan bernama KBI—singkatan dari Kepanduan Bangsa Indonesia. Saya masih ingat tanda yang kami kenakan adalah KBI Jakarta 11. Kegiatan ini diasuh oleh seorang tokoh yang kami panggil Kak Moersali. Dalam ingatan samar saya, Kak Moersali adalah sosok yang tegas dan bersemangat, mengajarkan tentang tali temali dan masak nasi,api unggun serta mampu membakar semangat kebangsaan di hati anak-anak kecil seperti kami.
Saya bersekolah dengan berjalan kaki setiap hari dari rumah saya di Jalan Segara 4 Nomor 4 Paviliun. Kini daerah itu telah berubah menjadi Wisma Negara dan Masjid Baiturrahman, yang berada di halaman Istana Merdeka. Dahulu, Jalan Segara adalah tempat yang tenang, dengan pepohonan rindang dan rumah-rumah peninggalan Belanda. Di rumah induk nomor 4 tinggal sepasang suami istri Belanda bernama Meneer dan Mevrouw Wiener bersama dua anak mereka, Roy dan Dieneke. Saya sering bermain bersama mereka di halaman. Di rumah nomor 1 tinggal seorang seniman pelukis Belanda bernama De Zseintje, kalau saya tidak salah ingat yang memiliki dua anak: anak perempuan yang bermain biola dan anak laki-laki yang piawai memainkan piano. Dari luar pagar, saya sering melihat mereka berlatih musik, menciptakan suasana damai dan menginspirasi.
Perjalanan saya dari rumah menuju sekolah melewati jalan setapak di pinggir kali dan toko Philips di sisi jalan Majapahit. Perjalanan juga melewati sebuah area pemakaman yang disebut “Kober”—kuburan Belanda dan Cina yang sudah lama terletak dekat jalan Tanah Abang 1. Meskipun kerap disebut angker oleh anak-anak, bagi saya itu hanyalah bagian dari rutinitas yang harus dilewati demi menimba ilmu. Di sepanjang perjalanan, saya juga melewati lapangan terbuka di depan sekolah tempat para tukang obat sering menjajakan dagangannya. Mereka menjual bukan hanya ramuan, tetapi juga pertunjukan, lengkap dengan atraksi yang memikat. Namun, kami dilarang keras oleh guru-guru untuk menonton—meskipun rasa penasaran selalu menggelitik.
Tak jauh dari sekolah, berdiri pabrik es terkenal yang disebut Ijs Petodjo. Di sekitarnya juga terdapat sebuah pabrik biskuit di Jalan Petodjo Entjlek. Kehadiran kedua pabrik ini menambah dinamika kehidupan sekitar sekolah. Aroma biskuit yang menggoda kadang menyeruak hingga ke halaman luar pabrik biskut rumahan tersebut.
Saya tidak sendiri menikmati hari-hari di SR Negeri 47. Beberapa nama yang pernah menempuh pendidikan di tempat yang sama kemudian menjadi tokoh nasional. Salah satunya adalah almarhum Marsda TNI Teddy Roesdi, seorang perwira tinggi yang mengabdikan dirinya untuk Angkatan Udara Indonesia. Ada pula penyanyi kenamaan Indonesia yang dikenal sebagai Connie Francis Indonesia, yakni Dyah Iskandar—putri dari Bapak Iskandar, pemimpin Orkes Studio 5 RRI Jakarta. Keberadaan mereka menambah kebanggaan tersendiri bagi alumni sekolah ini.
Salah satu teman sekelas saya yang paling saya ingat adalah Djohan Harahap. Ia tinggal di Jalan Kesehatan 3 Nomor 21, dan ayahnya adalah seorang pejabat tinggi di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jakarta. Djohan adalah teman yang cerdas dan menyenangkan, dan kami kerap belajar bersama selepas sekolah. Di rumahnya dia memiliki piano dan ternyata Djohan memang les piano, dan tampak jago memainkan piano. Teman saya satu lagi bernama Djoko Nirmolo jago main gitar dan tulisannya paling bagus di kelas. Ada lagi teman saya berama Alit terkenal di kelas sebagai Jago gambar. Teman yang saya masih ingat juga bernama Basril tinggal di jalan Tanah Abang 1.
Sebelum masuk SR Negeri 47, saya sempat mengenyam pendidikan taman kanak-kanak yang terletak di sebuah kupel diantara Istana Negara dan Istana Merdeka. Saya menyelesaikan TK ”lulus” pada tahun 1953. Di sana saya berjumpa dengan Guntur dan Megawati, dua anak dari Presiden Soekarno. Guru kami kala itu adalah Ibu Toety, seorang pegawai dari Sekretariat Negara yang lembut dan penuh perhatian kepada murid-muridnya. Itulah masa kecil saya yang begitu berwarna, penuh makna, dan membentuk fondasi kehidupan saya kelak.
Kini, setelah puluhan tahun berlalu, semua tingga kenangan. Jalan Petodjo Jaga Monyet mungkin sudah berubah. Bangunan-bangunan tua mungkin telah digantikan oleh gedung-gedung baru, dan nama-nama seperti Bangsal, Ijs Petodjo, atau Kober tinggal sebagai kenangan. Namun bagi saya, semua itu tetap hidup dalam ingatan—sebuah mozaik masa kecil yang tak akan pernah pudar, dan sekolah rakyat yang sederhana itu akan selalu menjadi tempat awal saya mengenal dunia. Sekolah yang bangunannya sangat sederhana dengan pagar kawat disekelilingnya yang compang camping.
Jakarta 18 Mei 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia.