Teori Power Elite C. Wright Mills dan G. William Domhoff dalam Konteks Indonesia
Pendahuluan
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita diajarkan bahwa demokrai mengandung makna tentang kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Bahkan konon Demokrasi adalah sistem yang memberikan ruang dan suara kepada semua warga negara untuk ikut menentukan arah masa depan bangsanya. Akan tetapi di balik jargon dan slogan demokrasi, muncul pertanyaan mendasar yang tak kunjung terjawab dengan jujur tentang siapa sebenarnya yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan? Rakyat jelata atau segelintir orang yang berada di pusat-pusat kekuatann terutama dalam domain ekonomi, politik, dan militer?
Sebenarnya pertanyaan ini telah lama menjadi bahan kajian para pemikir sosial-politik dunia. Dua nama yang sangat menonjol dalam membedah struktur kekuasaan negara modern adalah C. Wright Mills dan G. William Domhoff. Keduanya mengungkap bahwa kekuasaan sejatinya tidak berada di tangan banyak orang, tetapi justru terkonsentrasi pada kelompok kecil yang terorganisir dan saling menopang. Mereka inilah yang disebut sebagai power elite—segolongan elite yang mengendalikan roda pemerintahan, ekonomi, dan bahkan termasuk di dalamnya mengenai persepsi publik.
Konsep Power Elite menurut C. Wright Mills
Mills, dalam karyanya The Power Elite (1956), menegaskan bahwa Amerika Serikat—dan dalam banyak hal negara-negara lainnya juga—sebenarnya tidak diperintah oleh rakyat, melainkan oleh sekelompok elite yang terdiri atas beberapa pemimpin militer, elite politik, dan yang pasti kalangan bisnis besar¹. Mereka membentuk semacam “segitiga kekuasaan” sekaligus berfungsi sebagai segitga pengaman yang saling berkaitan dan tidak mudah ditembus oleh rakyat biasa.
Mills menyebut bahwa para elite ini bukan sekedar hanya berkuasa karena jabatan mereka, tetapi karena mereka saling mengenal, berasal dari latar belakang sosial yang serupa, sekolah di tempat yang sama, dan bertukar peran dalam jabatan strategis negara dan korporasi. Ini sama sekali bukan sekadar teori konspirasi. Ini adalah hasil dari pengamatan sosiologis yang menunjukkan tentang bagaimana sistem dirancang untuk melestarikan dominasi dari segelintir orang.
Domhoff dan Dominasi Kelas Atas
Sementara itu G. William Domhoff melanjutkan dan memperkaya teori Mills dengan pendekatan yang lebih empiris dan data yang lebih rinci. Contohmya dalam Who Rules America?, Domhoff memaparkan dengan gamblang tentang bagaimana kelas atas Amerika—yang terdiri dari pengusaha besar, bankir, pemilik media, dan politisi elit—mengontrol institusi-institusi negara secara sistematis². Mereka juga membentuk jaringan melalui think tank, lembaga riset kebijakan, partai politik, media, dan bahkan universitas.
Domhoff memperkenalkan class-domination theory, yang menjelaskan bahwa kebijakan negara sangat ditentukan semata oleh kepentingan kelas atas³. Kekuasaan mereka tidak hanya legal, tetapi juga sosial dan simbolik, menjangkau ke semua arah di sektor pengambilan keputusan publik.
Fenomena Sejenis di Indonesia
Patut dicatat bahwa apa yang disampaikan oleh Mills dan Domhoff bukanlah sekedar cerita tentang Amerika Serikat belaka. Pola kekuasaan serupa sebenarnya juga dapat kita saksikan di Indonesia, meskipun dengan bentuk dan nuansa lokal yang sedikit berbeda. Di negeri ini, power elite tak hanya mencakup pemilik modal besar dan politisi papan atas, tetapi juga figur polisi, militer, tokoh agama, dan aktor-aktor media yang membentuk opini publik⁴.
Yang pertama, kita melihat dulu tentang betapa eratnya hubungan antara pengusaha dan partai politik. Banyak sekali partai besar didukung oleh konglomerat yang pasti berkepentingan pada proyek-proyek infrastruktur, konsesi sumber daya alam, dan kebijakan fiskal⁵.
Salah satu contoh lihat saja bagaimana proyek reklamasi, pertambangan, hingga kebijakan impor dapat berubah sesuai kepentingan elite yang sedang berkuasa.
Berikutnya, politik dinasti dan pertukaran jabatan dalam lingkaran elite merupakan wujud nyata dari interlocking directorates seperti dijelaskan oleh Mills. Jelas tercermin dari anak pejabat menjadi kepala daerah, menantu tokoh besar memimpin partai, dan orang-orang yang sama berganti-ganti posisi laksana arisan antara DPR, kementerian, dan BUMN⁶.
Selanjutnya, peran militer dan belakangan ini plus Polisi dalam politik sipil masih kuat, meski era reformasi telah berjalan dua dekade. Banyak pensiunan jenderal (TNI/POLRI) duduk di posisi strategis dari partai politik hingga komisaris BUMN. Ini mencerminkan “segitiga kekuasaan” yang disebut Mills: militer-politik-ekonomi⁷.
Tidak itu saja, media dan lembaga survei tidak lepas pula dari pengaruh elite. Sebagian besar media arus utama pasti dikuasai oleh kelompok usaha yang juga memiliki kepentingan politik. Mereka bisa mengatur sampai detil narasi, membentuk persepsi, dan menggiring opini publik menjelang pemilu⁸.
Terakhir, lembaga-lembaga negara yang seharusnya menjadi pengawas kekuasaan pun kerap terlihat sudah “dicapture”. Seleksi pimpinan lembaga seperti KPK atau Mahkamah Konstitusi terang benderang menunjukkan bagaimana elite politik dapat mengatur hasil yang menguntungkan bagi posisi status quo⁹.
Menjadi jelas sekali bahwa apa yang dikatakan Mills dan Domhoff menjadi cermin yang relevan untuk melihat wajah asli kekuasaan di negara kita. Demokrasi memang berjalan, pemilu tetap digelar, partai tetap ramai, tetapi keputusan besar negara sering kali bahkan selalu ditentukan di meja makan para elite—bukan di ruang sidang parlemen apalagi hanya kotak suara rakyat.
Sekarang ini sudah saatnya kita harus menyadari bahwa kekuasaan itu tidak akan pernah netral. Ia pasti selalu mengalir ke tangan mereka yang memiliki sumber daya—ekonomi, informasi, dan tentu saja jaringan sosial. Sebab itulah menjadi tugas kita sebagai warga negara untuk senantiasa terus menerus mengawasi, bersuara, dan menciptakan sistem yang menjamin rotasi kekuasaan secara adil, bukan hanya sekadar formalitas demokratis belaka.
Kekuasaan sejati ternyata bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi presiden atau gubernur, tetapi siapa yang benar-benar bisa mengubah arah dan tujuan bangsa. Dalam banyak hal, mereka yang memegang kekuasaan itu tidak tampil di layar televisi atau berdiri di atas panggung kampanye—mereka cukup duduk duduk di belakang layar, menjalankan naskah yang ditulis sejak lama, dan memastikan bahwa hanya segelintir orang yang akan tetap berkuasa.
Catatan Kaki
- C. Wright Mills, The Power Elite (Oxford: Oxford University Press, 1956), hlm. 4–7.
- G. William Domhoff, Who Rules America? (New York: McGraw-Hill, 1967), hlm. 12–18.
- G. William Domhoff, The Power Elite and the State (New York: Aldine de Gruyter, 1990), hlm. 79–85.
- Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004), hlm. 1–3.
- Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University Press, 2011), hlm. 210–215.
- Marcus Mietzner, “Political Recruitment and Elite Continuity in Post-Suharto Indonesia”, Indonesia, No. 81 (2006), hlm. 1–22.
- Eve Warburton, “Jokowi and the New Developmentalism”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 52, No. 3 (2016), hlm. 297–320.
- Thomas P. Power, Media and Political Change in Indonesia (London: Routledge, 2019).
- Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), hlm. 145–155.
Daftar Referensi
- Aspinall, Edward, dan Ward Berenschot. Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Cornell University Press, 2019.
- Domhoff, G. William. Who Rules America? New York: McGraw-Hill, 1967.
- Domhoff, G. William. The Power Elite and the State. New York: Aldine de Gruyter, 1990.
- Mills, C. Wright. The Power Elite. Oxford: Oxford University Press, 1956.
- Mietzner, Marcus. “Political Recruitment and Elite Continuity in Post-Suharto Indonesia.” Indonesia, No. 81 (2006).
- Power, Thomas P. Media and Political Change in Indonesia. London: Routledge, 2019.
- Robison, Richard, dan Vedi R. Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge, 2004.
- Warburton, Eve. “Jokowi and the New Developmentalism.” Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 52, No. 3 (2016).
- Winters, Jeffrey A. Oligarchy. Cambridge University Press, 2011.
Jakarta 29 April 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia