Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Resensi Buku Tanah Air & Udaraku Indonesia
    Article

    Resensi Buku Tanah Air & Udaraku Indonesia

    Chappy HakimBy Chappy Hakim12/24/2025No Comments6 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Chappy Hakim

    Ada judul yang terasa seperti kalimat sumpah, Tanah Air & Udaraku Indonesia. Tiga unsur itu, tanah, air, dan udara sebetulnya satu tarikan napas tentang rumah bernama republik. Sampulnya menegaskan suasana batin yang hendak dibawa buku ini yakni seekor burung pemangsa yang seharusnya bebas, tetapi kakinya terseret rantai dan bandul besi. Ia bukan sekadar gambar, ia isyarat tentang ruang yang mestinya berdaulat, namun kerap diperlakukan seakan-akan bisa “dititipkan”, “diatur orang”, atau “dianggap tidak ada”.

    Buku setebal 720 halaman ini diterbitkan oleh Red & White (Red & White Publishing), dan dalam semangatnya ia terang-terangan mengingatkan kita pada model klasik dari kumpulan tulisan yang digelang menjadi satu buku gagasan. Penulis bahkan mengakui inspirasi itu, bahwa buku ini terinspirasi oleh Di Bawah Bendera Revolusi karya Bung Karno, sebuah kompilasi tulisan yang dibaca lintas waktu, tidak harus runtut, tetapi menggigit karena memuat watak dan garis pikiran penulisnya.

    Buku ini diberi anak judul “Sebuah Catatan”, dan memang begitulah bentuknya sebuah kumpulan tulisan pendek berupa kolom, esai, potongan renungan, yang dirajut dari pengalaman, pengamatan, dan kegelisahan seorang penerbang yang pernah memimpin Angkatan Udara. Di bagian pengantar, penulis menyampaikan alasan yang sederhana tapi penting bahwa dalam kesadaran publik kita, “tanah air” sudah menjadi idiom kebangsaan, namun “udara” sering terasa seperti lampiran yang tak sempat disebut, padahal nilainya strategis dan menentukan. Karena itu buku ini seperti upaya “memasyarakatkan” udara yang bukan sebagai ruang kosong, melainkan sebagai domain yang harus dipahami, dijaga, dan dikelola dengan akal sehat serta rasa kebangsaan.

    Isi dan Susunan: Dua Sayap Besar

    Buku ini dibagi dua bagian utama terdiri dari Pertahanan dan Penerbangan. Bagian pertama menampung puluhan tulisan yang bernapas strategis: tentang kepemimpinan, politik pertahanan, intelijen, dinamika kawasan, sampai isu-isu yang mengusik kedaulatan dalam praktik. Di situ tampak gaya penulis yang khas, yang ia bisa menyeberang dari topik yang sangat “besar” misalnya konsep pertahanan negara kepulauan, air power, atau posisi Indonesia dalam percaturan regional menuju ke hal yang sangat manusiawi seperti obituari, kenangan, dan potret tokoh-tokoh yang pernah bekerja dalam sunyi.

    Salah satu kekuatan bagian ini adalah keberaniannya menarik garis lurus antara konsep dan konsekuensi. Pertahanan tidak dibicarakan sebagai jargon, melainkan sebagai urusan yang menyentuh hidup orang banyak mencakup keselamatan, martabat, dan ruang gerak sebuah bangsa. Penulis juga menyinggung tema-tema sensitif seperti misalnya tentang pengelolaan wilayah informasi penerbangan (FIR) dan simpul-simpul kedaulatan, dengan nada yang tidak sekadar marah, melainkan mengajak pembaca bertanya tentang bagaimana mungkin domain yang begitu menentukan justru sering dianggap teknis belaka?

    Bagian kedua, Penerbangan, lebih terasa seperti ruang hanggar yang pintunya dibuka lebar untuk publik. Di sini pembaca bertemu tulisan tentang masa depan penerbangan Indonesia, budaya keselamatan, psikologi takut terbang, maskapai dan pelayanannya, teknologi pesawat, sampai catatan perjalanan ke berbagai airshow dunia. Tema “safety” muncul sebagai benang yang konsisten: penerbangan bukan hanya romantika langit, tapi disiplin yang dibangun dari prosedur, latihan, dan tanggung jawab. Di sejumlah tulisan, penulis seperti sedang “menerjemahkan” dunia yang biasanya eksklusif, dunia pilot dan insinyur di urai ke bahasa yang bisa dipahami orang awam tanpa kehilangan kedalaman.

    Karena bentuknya kumpulan tulisan, buku ini tidak menuntut dibaca lurus dari halaman pertama hingga terakhir. Seperti Di Bawah Bendera Revolusi, ia justru “mengundang” pembaca masuk dari mana saja, dapat membuka halaman yang menarik dulu, lalu kembali ke bagian lain ketika rasa ingin tahu tumbuh. Efeknya dua terdiri dari pertama, buku ini ramah untuk pembaca yang ingin mencicipi dan kedua, ia memantulkan realitas pikiran penulis yang bergerak lincah kadang melompat sebagaimana layaknya catatan memang lahir dari momen, peristiwa, dan isu yang datang bergantian.

    Gaya Penulisan, Tegas, Lugas, dan Manusiawi

    Resensi ini tidak lengkap tanpa menyebut gaya. Cara bertutur penulis luas tetapi tetap “human”. Ia tidak tergoda menumpuk istilah, melainkan memilih kalimat yang ingin sampai pada sasarannya. Ia paham kapan harus tegas, kapan perlu menghela napas, kapan mesti memberi contoh konkret agar pembaca tidak tersesat di langit teori. Di tangan penulis, pertahanan dan penerbangan (defense and aviation) tidak diposisikan sebagai tema elit. Ia justru mengajak pembaca melihat dua bidang itu sebagai bagian dari peradaban, dari cara bangsa mengelola ruang hidupnya, memelihara keselamatan warganya, dan menjaga wibawa negaranya. Itulah sebabnya buku ini tidak terasa seperti buku teks, tetapi juga tidak jatuh menjadi curhat. Ia berada di tengah di antara catatan seorang praktisi yang selalu berpikir.

    Kekuatan dan Catatan Kritis

    Kekuatan terbesar buku ini adalah otentisitas. Pembaca merasakan bahwa banyak hal ditulis bukan dari menara gading, melainkan dari pengalaman panjang, dari pengalaman memimpin, mengamati birokrasi, memahami budaya organisasi, dan menyaksikan bagaimana keputusan publik kadang melupakan “udara” sebagai domain strategis. Buku ini juga kuat sebagai jembatan literasi, dimana ia membuat isu pertahanan dan penerbangan yang sering terasa teknis namun dapat di kemas menjadi percakapan publik yang lebih waras. Sebagai kumpulan tulisan setebal 720 halaman, buku ini punya konsekuensi berupa ritme yang tidak selalu rata. Ada bagian yang sangat tajam dan relevan lintas zaman, ada pula tulisan yang terasa terikat konteks waktu ketika ia pertama kali terbit sebagai kolom. Pembaca yang menginginkan alur argumentasi sistematis seperti buku akademik mungkin akan merasa “melompat-lompat”. Tapi justru di situ kejujurannya bahwa ini adalah album catatan, sama sekali bukan sebuah disertasi.

    Untuk Siapa Buku Ini?

    Buku ini cocok bagi pembaca umum yang ingin memahami mengapa isu kedaulatan udara dan keselamatan penerbangan tidak boleh dipersempit menjadi urusan “orang bandara” saja. Ia juga penting bagi mahasiswa ilmu politik, hubungan internasional, studi strategis, serta komunitas aviasi yang ingin melihat bagaimana sebuah pengalaman praktis bisa diolah menjadi gagasan publik. Bagi pembuat kebijakan, buku ini bisa dibaca sebagai cermin tentang apakah negara sudah benar-benar memperlakukan udara sebagai ruang hidup yang berdaulat, atau masih menganggapnya sekadar ruang di atas kepala belaka.

    Buku Tanah Air & Udaraku Indonesia bekerja seperti alarm yang bunyinya tidak meledak-ledak, tetapi terus mengingatkan: bangsa yang besar bukan hanya yang menjaga tanah dan lautnya, melainkan juga yang mengerti arti dari udara sebagai sebuah martabat, sebagai keselamatan, dan sebagai masa depan. Jika burung di sampul itu adalah metafora, maka buku ini adalah ajakan untuk memutus rantai itu dengan pengetahuan, kepedulian, dan keberanian mengurus ruang yang selama ini sering dibiarkan “tak terlihat”, sering di abaikan.  Sungguh Tragis !

    Sebagi penutup, komentar di sampul belakang buku ini seperti memberi stempel mutu yang tidak dibuat-buat. Ada catatan penting bahwa tidak banyak perwira tinggi yang memilih disiplin menulis sebagai kerja kebudayaan karena itu, ketika seorang prajurit profesional bahkan sampai puncak kepemimpinan masih tekun menjadi kolumnis sekaligus penulis buku, maka yang lahir bukan sekadar kumpulan artikel, melainkan jejak pikiran. Buku ini menegaskan bahwa pengalaman strategis tidak harus tinggal sebagai cerita lisan di ruang rapat atau di mess realitanya ia bisa ditata menjadi pengetahuan publik yang mencerahkan.

    Komentar lain menyorot kerja yang lebih besar dari sekadar menulis seperti dorongan untuk “mencatat” sejarah dan pelajaran Angkatan Udara ke dalam kertas, agar apa yang pernah berhasil maupun yang pernah keliru tidak hilang ditelan waktu. Ditambah lagi, kekuatan bahasa dan keluasan pengetahuan membuat dunia yang biasanya sangat teknis penerbangan dan pertahanan dapat menjadi mudah dimasuki oleh pembaca awam tanpa kehilangan bobotnya. Maka ringkasnya, deskripsi paling tepat untuk buku ini adalah menyenangkan dibaca, dan berguna bagi siapa saja, bagi mereka yang mencintai Indonesia, dari tanah dan airnya, sampai udaranya.

    Jakarta 23 Desember 2025

    Tim Redaksi NetralNews.com

    Top of Form

    Bottom of Form

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleKontroversi “Bencana Nasional” atau Bukan
    Next Article Peradaban Rambut Nusantara
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Obituari Marsma TNI Fajar Adrianto “Red Wolf”

    12/24/2025
    Article

    Resensi Buku Mamak Pulang

    12/24/2025
    Article

    Resensi Buku  Keamanan Nasional dan Penerbangan

    12/24/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.