Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Refleksi Akhir Tahun Industri Penerbangan Indonesia (2025) Belum Benar-benar Sehat
    Article

    Refleksi Akhir Tahun Industri Penerbangan Indonesia (2025) Belum Benar-benar Sehat

    Chappy HakimBy Chappy Hakim12/15/2025No Comments6 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Menutup 2025, industri penerbangan Indonesia terasa seperti pesawat yang sudah climb kembali ke ketinggian jelajah, tetapi masih membawa “getaran” dari masa turbulensi panjang pascapandemi. Permintaan penumpang terus menguat terutama pada rute internasional dan destinasi wisata utama namun kesehatan industri belum sepenuhnya pulih karena satu masalah klasik yang kembali menghantui yakni kapasitas riil armada yang tidak sepenuhnya siap terbang, biaya operasi yang masih tinggi, dan tata kelola ekosistem yang belum seragam dari hulu ke hilir. Dari sisi permintaan, sinyalnya cukup terang. Bandara Ngurah Rai Bali mencatat tren pertumbuhan positif pada 2025; hingga September 2025, kedatangan wisatawan internasional di Bali mencapai 5.460.288, naik 12% dibanding periode yang sama tahun 2024.   Ini menegaskan bahwa tourism-driven aviation kembali menjadi penggerak yang nyata, Bali tetap “mesin devisa” dan sekaligus “barometer” kesehatan penerbangan nasional.

    Soekarno–Hatta juga memantulkan pemulihan ini. Data bandara menunjukkan sepanjang 2024 Soekarno–Hatta melayani 54,8 juta penumpang (naik 7% dari tahun sebelumnya) dengan 362.643 pergerakan pesawat (naik 4%).  Bahkan ketika 2025 berjalan, gambaran yang muncul tidak sepenuhnya linear: pada Januari–Maret 2025, penumpang domestik tercatat 13,8 juta (sedikit turun 0,38% yoy), sementara penumpang internasional 4,7 juta (naik 11,71% yoy). Artinya, pemulihan yang paling “bertenaga” tampak pada rute internasional, sedangkan domestik masih sensitif terhadap harga, kapasitas, dan daya beli.

    Jika permintaan adalah sisi terang, maka ketersediaan pesawat adalah sisi yang membuat industri 2025 berjalan dengan rem tangan setengah tertarik. Garuda Indonesia, misalnya, mencatat pendapatan operasional konsolidasi semester I 2025 sebesar USD 1.548,2 juta (turun 4,48% yoy).  Namun yang lebih penting dari angka pendapatan adalah catatan operasionalnya. Garuda melaporkan peningkatan pesawat under maintenance (Garuda, 10 menjadi 20, Citilink, 20 menjadi 31 untuk perbandingan 1H 2024 vs 1H 2025), yang dikaitkan dengan program perawatan berat dan keterlambatan pasokan suku cadang.   Berita juga memperkuat gambaran “kapasitas yang tertahan” ini. Pada 27 November 2025, pernyataan manajemen Garuda menyebut sekitar 34 pesawat masih grounded.  Di sinilah paradoks industri 2025: permintaan ada, tetapi kapasitas efektif yang benar-benar bisa diterbangkan tidak selalu mengikuti. Dampaknya terasa ke mana-mana, jadwal menipis, fleksibilitas operasi turun, biaya per kursi naik, dan pada akhirnya tekanan harga tiket mudah muncul terutama pada musim puncak.  Perubahan manajemen dan dukungan permodalan menjadi bagian dari upaya keluar dari tekanan ini. Reuters melaporkan Garuda menunjuk CEO baru Glenny Kairupan pada Oktober 2025. Reuters juga melaporkan rencana injeksi ekuitas sekitar Rp23,67 triliun (sekitar USD 1,43 miliar) dari Danantara Indonesia, yang diprioritaskan untuk perawatan armada dan dukungan pendanaan Citilink dengan catatan rencana ini tidak lagi memasukkan ekspansi armada seperti yang sebelumnya dibayangkan. Pesannya jelas fase 2025 lebih banyak soal menstabilkan kemampuan terbang (reliability) ketimbang menambah ukuran armada di atas kertas.

    Tahun 2025 juga dilalui dengan dinamika baru di sisi operator bandara. Konsolidasi Angkasa Pura I dan II yang menjadi InJourney Airports (resmi sejak 2024) sering dibaca sebagai ikhtiar memperkuat sinergi, efisiensi, dan standardisasi layanan bandara secara nasional.  Di atas kertas, ini langkah strategis, Indonesia butuh operator bandara yang mampu memimpin transformasi pelayanan, kapasitas terminal, digitalisasi passenger flow, dan integrasi dengan ekosistem pariwisata. Namun, konsolidasi saja tidak otomatis membuat pengalaman penumpang membaik. Tantangannya adalah memastikan perubahan korporasi tercermin pada hal-hal yang paling dirasakan publik: ketepatan waktu, kenyamanan proses, konektivitas antarmoda, dan resilience saat puncak arus mudik atau gangguan cuaca.

    Di lapis yang jarang disorot publik, kinerja navigasi penerbangan menegaskan bahwa aktivitas penerbangan memang meningkat. AirNav Indonesia melaporkan total trafik penerbangan Triwulan I 2025 sebesar 461.583 pergerakan, tumbuh 6,48% dibanding periode sebelumnya (yoy) meski berada 4,75% di bawah target internal.  Pertumbuhan trafik ini adalah kabar baik, tetapi sekaligus pengingat bahwa kapasitas sistem CNS/ATM, kesiapan SDM ATC, dan kualitas koordinasi ruang udara harus terus ditingkatkan agar pertumbuhan tidak berubah menjadi beban keselamatan.

    Keselamatan dan Regulasi.

    Akhir 2025 juga ditandai oleh upaya menata standar keselamatan dan tata kelola yang lebih modern. Ditjen Perhubungan Udara menyelenggarakan forum dan adopsi pendekatan penilaian risiko operasi drone, Indonesia mengadopsi SORA edisi 2.5 ke dalam regulasi nasional melalui DGCA Policy Letter PL 29/2024, disampaikan dalam konteks pertemuan keselamatan JARUS di Indonesia pada September 2025. Ini penting karena masa depan ekosistem udara tidak hanya soal pesawat berawak, tetapi juga drone, advanced air mobility, dan integrasi ruang udara sipil-militer yang semakin kompleks.  Pada saat yang sama, pemerintah juga menegaskan kesiapan menghadapi audit keselamatan ICAO (USOAP) melalui audit internal yang diposisikan sebagai penguatan sistem pengawasan keselamatan berbasis bukti dan berkelanjutan.

    Biaya operasi tetap menjadi cerita besar industri. Pemerintah dan BUMN mencoba memberi ruang napas pada momen tertentu. Antara melaporkan Pertamina menurunkan harga avtur di 37 bandara untuk periode 18 Maret–15 April 2025 sebagai bagian sinergi BUMN menghadapi arus Ramadan/Idulfitri. Kebijakan semacam ini membantu, tetapi bersifat sementara. Di struktur biaya jangka panjang, masalahnya lebih dalam: kurs, sewa pesawat, suku cadang, maintenance slot, dan efisiensi jaringan rute.

    Menjelang 2026, isu dekarbonisasi mulai lebih konkret. Reuters melaporkan Indonesia mempertimbangkan mandat campuran 1% sustainable aviation fuel (SAF) untuk penerbangan internasional yang berangkat dari Jakarta dan Bali pada 2026, dengan target jangka panjang 5% pada 2035. Namun lanskap globalnya tidak mudah IATA memperingatkan pasokan SAF masih jauh dari cukup dan harganya masih beberapa kali lipat dari avtur konvensional, sehingga target hijau industri penerbangan dunia berisiko meleset.  Bagi Indonesia, ini peluang sekaligus ujian. Peluang karena potensi bahan baku dan kapasitas produksi domestik bisa menjadi keunggulan. Ujian, karena tanpa desain insentif, standar mutu, dan tata niaga yang tepat, SAF bisa menjadi beban biaya baru yang kembali mendorong harga tiket.

    Refleksi akhir tahun 2025 memberi pelajaran sederhana namun menentukan, ramainya penumpang bukan jaminan industri sehat. Industri penerbangan adalah ekosistem dari maskapai, bandara, navigasi, regulator, avtur, MRO, pembiayaan, dan SDM, yang harus bergerak serempak. Ketika satu simpul tersendat (misalnya armada banyak grounded), seluruh jaringan ikut terasa dampaknya. Maka agenda 2026 seharusnya bukan hanya “menambah rute” atau “mengejar jumlah penumpang”, melainkan membangun ketahanan sistem dan mempercepat kembalinya armada ke kondisi laik operasi. Selanjutnya memperkuat kapasitas perawatan dan rantai pasok suku cadang, menegakkan disiplin keselamatan, dan memastikan transformasi bandara benar-benar terasa di lapangan. Jika itu dilakukan, barulah penerbangan Indonesia tidak sekadar pulih melainkan dapat dikatakan sebagai naik kelas.

    Jakarta 14 Desember 2025

    Pusat Studi Air Power Indonesia

    Dari berbagai sumber

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleKebakaran dan Kebakaran Lagi
    Next Article Kontroversi “Bencana Nasional” atau Bukan
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Kontroversi “Bencana Nasional” atau Bukan

    12/15/2025
    Article

    Kebakaran dan Kebakaran Lagi

    12/11/2025
    Article

    UU Pengelolaan Ruang Udara dan Dewan Penerbangan

    12/11/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.