counter create hit
ArticleAviationDefense and Security

FIR di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna

Masih banyak yang kurang memahami tentang Hukum Udara Internasional dan masalah pertahanan keamanan negara.

FIR diwilayah perairan Riau dan Natuna adalah sebuah permasalahan yang sangat jelas yaitu tentang wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia yang sudah sejak tahun 1946 pengelolaannya berada di otoritas penerbangan sipil Singapura.    Dalam konteks wilayah udara kedaulatan, maka semua negara akan serta merta merujuk kepada Konvensi Chicago tahun 1944 yang menyatakan bahwa kedaulatan negara di udara adalah Penuh dan Eksklusif.

Dari logika berpikir yang normal dan menggunakan akal sehat, bila wilayah sebuah negara dikelola oleh negara lain, maka dapat dipastikan bahwa hal tersebut adalah merupakan keinginan dari Sang Pemilik Wilayah.   Keinginan tersebut tentu saja akan berlandaskan kepada alasan-alasan yang masuk akal, seperti keterbatasan yang dihadapi, maupun oleh karena alasan lain yang pada prinsipnya apapun itu pasti akan bersandar kepada keinginan dari pemilik wilayah.  

Pada kasus ini, menjadi  sangat berbeda keadaannya, karena sebenarnya FIR di kepulauan Riau yang sampai sekarang dikelola oleh Singapura sejak tahun 1946 bukanlah keinginan Indonesia sebagai pemilik wilayah tersebut.    Ketika itu, di tahun 1946 bahkan Negara Republik Singapura pun belum ada.  

Jadi jelas sekali, bahwa wilayah udara kedaulatan Indonesia di Kawasan perairan Riau dan Natuna dikelola Singapura tidak berdasar kepada keinginan sang pemilik lahan.   Republik Indonesia sendiri belum menjadi anggota ICAO pada tahun 1946.   ICAO mendelegasikan otoritas penerbangan pada saat itu kepada pemerintahan kolonial Inggris di Singapura.  

Baca juga : 
Persoalan FIR Singapura yang harus sesgera diselesaikan

Dalam hal ini patut dipertanyakan tentang kewenangan ICAO pada proses mendelegasikan pengendalian wewenang pengelolaan wilayah udara Indonesia tersebut.   Disamping itu patut dipahami bahwa keputusan tersebut pasti bersifat sementara saja   Pada titik ini maka ketika Republik Singapura berdiri sebagai sebuah negara kecil di Kawasan Asia Tenggara selayaknya, secara etika maka Kawasan wilayah udara di perairan Riau dan Natuna dikembalikan atau diserahkan kepada negara pemiliknya  yang sah yaitu Republik Indonesia.  

Sebaliknya juga sebagai sebuah Negara yang jauh lebih besar sudah sepatutnya pula, Indonesia harus dapat membantu Singapura sebagai negara kecil yang baru merdeka untuk tidak membebaninya dengan  pekerjaan berat diwilayah kedaulatan Republik Indonesia.

Dengan demikian adalah menjadi sangat janggal, bila Indonesia dan Singapura mendiamkan saja situasi dan kondisi tersebut tetap berlangsung hingga saat ini.    Wilayah Udara kedaulatan Indonesia dikelola oleh negara Singapura yang jauh lebih kecil sejak tahun 1946 hingga sekarang.  

Kejanggalan ini dengan mudah memperoleh jawaban yang sangat jelas  dan terang benderang yaitu bahwa dengan mengelola wilayah udara di perairan Riau dan Natuna maka imbalan finansial yang diperoleh ternyata “sangat besar”.  

Dengan potensi pendapatan yang besar itu maka wajar saja, banyak pihak yang akan dengan sukarela menanam modal berinvestasi untuk memberikan pelayanan informasi penerbangan internasional demi keuntungan besar yang akan diperoleh.  

Tanpa adanya keuntungan besar secara finansial dari pengelolaan wilayah udara di perairan Riau dan Natuna dipastikan 1000% tidak akan ada negara atau pihak lain yang mau mengerjakannya dan pasti akan segera dikembalikan kepada yang memilikinya sebagai beban dan tanggung jawab Sang Pemilik.  

Hal ini adalah merupakan akar masalah yang sangat mendasar dari begitu alotnya upaya Indonesia untuk dapat memperoleh kembali kewenangan mengelola wilayah udaranya sendiri (sesuai iinstruksi Presiden RI) yang kini berada ditangan pemerintah negara Singapura.  

Jelas dan sekali lagi harus digaris bawahi bahwa wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia adalah sebuah Kawasan yang mengandung “tambang emas” yang cukup berlimpah.   Tidak ada pihak manapun yang akan mau dengan sukarela melepaskan sebuah Kawasan yang memiliki potensi keuntungan besar secara finansial walaupun wilayah itu bukan miliknya sendiri.  

Baca juga : 
Kita harus segera mengambil alih FIR dari Sinngapura

Tentu saja untuk mempertahankan kondisi tersebut harus senantiasa dicari-cari alasan yang masuk akal untuk mempertahankannya.   Pada titik ini, maka menjadi logis muncul pihak-pihak yang berupaya mempertahankan status quo keadaan seperti itu agar keuntungan yang selama ini dinikmati tidak menjadi hilang lenyap tertiup angin, gone with the wind.  

Wilayah udara kedaulatan Indonesia di kepulauan Riau dan Natuna yang letaknya di perbatasan banyak negara telah menjadi ajang kawasan “sengketa”, karena berpotensi memberikan hasil besar secara finansial.

Menjadi persoalan yang fatal adalah , sementara itu ada beberapa kalangan  di negara Republik Indonesia yang agak kurang memahami tentang nilai strategis dari wilayah udara kedaulatan di perairan Riau dan Natuna, baik dalam aspek pembangunan ekonomi dan lebih-lebih pada sisi pertahanan keamanan negara atau National Security sebagai wilayah perbatasan yang rawan sengketa.    

Ini semua yang menyebabkan instruksi Presiden Republik Indonesia untuk segera mengambil alih pengelolaan wilayah udara kedaulatan pada perairan Riau dan Natuna menjadi sangat lambat sekali berjalan bila kita tidak hendak menyatakan tidak berjalan.  Ada pihak yang berupaya keras mempertahankan status wilayah udara kedaulatan negerinya sendiri, atas nama “keselamatan penerbangan internasional” dan “hubungan baik antar negara tetangga”

Pada sebelum adanya Instruksi Presiden , selesai sidang kabinet tanggal 8 September 2015 tentang pengambil alihan pengelolaan wilayah kedaulatan Republik Indonesia di perairan Riau dan Natuna (FIR Singapura), maka setiap muncul pembicaraan tentang hal tersebut selalu saja di respon dengan pernyataan bahwa kita belum siap dalam mengelolanya karena belum memiliki dana dan sdm yang cukup untuk itu.  

Sebuah pernyataan yang sangat klasik berulang dan cenderung “inferior”  serta  juga merefleksikan tidak adanya kemauan untuk melakukan perubahan, dari “zona nyaman” yang sudah terlanjur tercipta selama puluhan tahun.  

Tanpa bekerja dan cukup puas dengan “hanya” memperoleh bagian dari pengelolaan yang dikerjakan oleh pihak asing.   Inferiority yang berakibat pada harkat dan martabat sebagai sebuah bangsa yang besar.   Apabila memang benar belum punya dana dan sdm, seharusnya berupaya untuk mendapatkan dana dan sdm, tidak hanya mengatakannya dengan belum mampu dan akan diambil nanti setelah mampu.  

Pada sisi lain tetap saja tidak ada sebuah perencanaan untuk mengatasi persoalan yang tengah dihadapi itu.   Pada realitanya, untuk mendapatkan dana adalah sangat mudah, akan banyak sekali investor yang berminat untuk membiayai kegiatan yang jelas-jelas memiliki potensi keuntungan yang besar.  

Demikian pula soal sdm, yang sudah dicanangkan oleh Indonesia AirNav tentang kemampuannya untuk setiap saat diperintahkan akan mampu mengelola tugas tersebut.   Tingkat kesibukan lalulintas udara di Singapura tidaklah lebih padat dan heboh dibanding dengan lalulintas udara di Cengkareng yang dikelola oleh Indonesia AirNav.

Jauh lebih penting dari sekedar keuntungan besar secara finansial dalam pengelolaan wilayah udara di perairan Riau dan Natuna adalah tinjauan dalam persepektif pertahanan keamanan negara.   Wilayah yang terletak pada posisi kritis perbatasan negara dimanapun di permukaan bumi ini pasti berada dalam kekuasaan penuh negara yang bersangkutan.   Ada kepentingan besar diwilayah tersebut sebagai wilayah Kawasan latihan Angkatan Perangnya, dalam rangka antisipasi sengketa perbatasan yang selalu mungkin terjadi.  

Dengan kondisi yang seperti sekarang ini, Indonesia berada dalam kondisi yang Angkatan Perangnya menjadi sangat sulit untuk dapat berlatih didaerah tersebut, rumahnya sendiri.   Sementara secara berlawanan sekali maka Singapura dapat dengan sangat leluasa berlatih dikawasan wilayah kedaulatan Indonesia bagi Angkatan Perangnya, sebagai konsekuensi dari kewenangannya sebagai pemegang otoritas pengelolaan wilayah udara yang memang berada ditangan mereka.  

Lebih jauh dari itu dengan kewenangannya Singapura bahkan menentukan “Danger Area” yang tidak boleh digunakan negara lain bagi keleluasaan Angkatan Perangnya berlatih.   Dapat dibayangkan betapa “aneh” sebuah Kawasan milik Indonesia ditentukan sebagai wilayah yang tidak boleh digunakan oleh Indonesia untuk keperluan Angkatan Perang Asing berlatih disitu.  

Lebih aneh lagi karena Indonesia sendiri mendiamkan saja hal tersebut berlangsung.   Agak kurang jelas mengapa dan apa yang menjadi alasan Indonesia untuk berdiam diri terhadap masalah yang sangat mendasar ini.   Disinilah letak urgensi dari Instruksi Presiden RI di tahun 2015 yang lalu.

Respon berikutnya adalah jawaban klasik yang menyebutkan bahwa Indonesia juga mengelola wilayah kedaulatan Australia di pulau Christmas dan Kawasan Timor Leste.   Jawaban yang sangat naif, karena pada hakikatnya kedua kasus tersebut adalah karena kesulitan pemerintah Australia dan Timor Leste untuk mengelolanya, sama sekali jauh dari keinginan Indonesia sendiri.  

Setiap saat Indonesia akan dengan sukarela menyerahkannya kepada Sang Pemilik.   Jauh sekali berbeda dengan kasus wilayah udara di perairan Riau dan Natuna yang berada di otoritas penerbangan (FIR) Singapura.

Saran dan rekomendasi sebagai penutup

Pada konteks ini, disarankan dalam upaya melaksanakan instruksi Presiden Republik Indonesia  tentang FIR Singapura akan jauh lebih baik untuk diselesaikan antar DGCA (Directorte General of Civil Aviation) Singapura dan Indonesia.  

Hal ini mengacu kepada apa yang telah dikerjakan oleh Kamboja dengan Thailand beberapa waktu yang lalu.   Pada hakikatnya, sesuai dengan ketentuan ICAO, maka urusan pendelegasian wewenang pengelolaan lalulintas udara sipil adalah semata urusan bilateral, antar kedua negara terkait.  

Ditegaskan pula lebih lanjut dalam ketentuan ICAO, bahwa pendelegasian wewenang pengelolaan wilayah udara kedaulatan dapat diakhiri kapan saja diinginkan.

Untuk jangka Panjang, dalam menghadapi masalah keudaraan yang sangat erat berhubungan dengan masalah teknis kedirgantaraan, kiranya perlu direkomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk segera memiliki badan sejenis Think Tank kedirgantaraan atau Dewan Penerbangan Nasional (yang beranggotakan para ahli dan praktisi hukum udara dan bidang pertahanan keamanan negara) yang selalu ditugaskan mengkaji masalah-masalah strategis kedirgantaraan yang akan menyangkut proses pengambilan keputusan ditingkat Nasional dalam kebijakan yang berkait dengan National Interest dan National Policy bidang kedirgantaraan .

Hal tersebut adalah terutama sekali untuk mencegah terjadinya kembali pemahaman yang kurang mendalam tentang wilayah kedaulatan negara (seperti hal nya tentang penetapan “Danger Area” oleh negara lain di Kawasan wilayah kedaulatan Indonesia) di Udara berkait dengan harkat dan martabat bangsa.  

Kita masih memerlukan lebih banyak lagi para ahli dan praktisi hukum udara internasional dan pertahanan keamanan negara dalam menyongsong masa depan bangsa, untuk menghindari para pihak yang tidak berkompeten berbicara dan mengemukakan pendapat tentang FIR Singapura yang selalu saja menyesatkan dan cenderung mengabaikan kedaulatan serta martabat tanah airnya sendiri.

Mudah-mudahan kedepan, bangsa ini tidak mudah lagi diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak lain, yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan atau pengetahuan terhadap sebuah masalah strategis yang tengah dihadapi khususnya pada domain air and space.

Jakarta 18 Maret 2019.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button