Kembalinya Donald Trump ke kursi Presiden Amerika Serikat pada tahun 2025 membawa perubahan besar dalam arah geopolitik global. Pendekatan America First kembali mendominasi kebijakan luar negeri AS, ditandai dengan kecenderungan untuk menarik diri dari komitmen multilateral dan memperkuat kepentingan nasional secara unilateral. Hal ini memicu ketidakpastian dalam kerja sama global, terutama di institusi seperti NATO, WTO, dan PBB, serta menciptakan kekhawatiran di antara sekutu-sekutu tradisional AS.
Dalam konteks hubungan internasional, Trump diperkirakan akan melanjutkan sikap keras terhadap Tiongkok, terutama dalam hal perdagangan dan keamanan kawasan Indo-Pasifik. Persaingan strategis AS–China yang semakin tajam memaksa banyak negara, termasuk di Asia Tenggara, untuk mengambil sikap hati-hati. Di saat yang sama, pendekatan diplomasi Trump yang transaksional membuat hubungan bilateral menjadi lebih pragmatis dan penuh ketidakpastian, tergantung pada kepentingan jangka pendek Amerika.
Bagi Indonesia, dinamika ini menimbulkan tantangan besar dalam menjaga netralitas strategis dan memperkuat posisi kawasan Asia Tenggara sebagai zona damai. Meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan serta manuver kekuatan besar seperti QUAD mendorong perlunya diplomasi aktif dan peningkatan pertahanan nasional. Dalam dunia yang semakin multipolar dan kompetitif, Indonesia perlu memainkan peran yang lebih cerdas dan tegas, dengan tetap mengedepankan prinsip bebas aktif demi menjaga stabilitas dan kedaulatan.
Sebenarnya Dunia pasca-Perang Dingin mengalami transformasi signifikan dari sistem bipolar menuju multipolar. Dalam sistem baru ini, kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi di antara dua kutub ideologis, tetapi menyebar ke banyak aktor, baik negara maupun non-negara. Munculnya kekuatan ekonomi baru seperti G20, BRICS, dan MIKTA menandai pergeseran kekuasaan ekonomi-politik dunia dari dominasi Barat menuju ke arah yang lebih inklusif dan terdiversifikasi.
Dalam konteks ini, peran negara berkembang menjadi lebih penting namun sekaligus menantang. Negara-negara berkembang (developing countries) menghadapi perbedaan mendasar dibanding negara maju: dari ketimpangan pendapatan per kapita, kesenjangan infrastruktur, rendahnya akses terhadap teknologi, hingga minimnya pengaruh dalam lembaga keuangan internasional. Hal ini menciptakan jurang struktural yang disebut Daniel S. Papp sebagai “revolusi ekspektasi yang meningkat”, di mana negara-negara berkembang menuntut standar hidup dan keadilan global yang lebih baik.
Respons negara-negara berkembang terhadap situasi ini cukup beragam, dari substitusi impor hingga industrialisasi berbasis ekspor. Namun gagasan yang paling strategis adalah pembentukan New International Economic Order (NIEO), yang menuntut perubahan dalam hubungan ekonomi global, termasuk peningkatan bantuan dari negara maju, pengurangan tarif terhadap produk negara berkembang, dan restrukturisasi lembaga keuangan internasional agar lebih inklusif.

Di sisi lain, isu global kontemporer tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga mencakup human dimension development, seperti hak asasi manusia, lingkungan, dan demokratisasi. Transformasi global ini ditandai pula dengan makin kuatnya interdependensi lintas negara dan lintas sektor. Diplomasi juga mengalami perubahan dari first track (antar negara) ke second track (antar masyarakat sipil, NGO, media, akademisi), mencerminkan diplomasi yang semakin multi-arah dan terbuka.
Dalam perkembangan geopolitik terkini, Asia menghadapi tantangan serius seiring meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan (South China Sea). Peningkatan kekuatan ekonomi dan militer China disertai langkah strategis AS melalui pembentukan QUAD menjadi latar ketegangan baru yang harus dikelola. Klaim tumpang tindih atas wilayah SCS, pembangunan pangkalan militer oleh China, serta peningkatan manuver militer AS menunjukkan dinamika kontestasi kekuasaan yang berisiko tinggi.
Indonesia sebagai negara berkembang sekaligus anggota G20 dan MIKTA, berada dalam posisi strategis namun kompleks. Untuk itu, ada tiga strategi utama yang dapat ditempuh Indonesia:
- Memperkuat ASEAN sebagai pilar perdamaian regional yang mencegah intervensi eksternal serta mengurangi risiko konflik terbuka di Asia Tenggara.
- Mendorong konsep Indo-Pasifik yang inklusif, yang tidak meminggirkan kekuatan besar seperti AS dan China, melainkan merangkul keduanya dalam kerangka kerja sama damai.
- Meningkatkan kekuatan pertahanan nasional (alutsista) untuk memastikan stabilitas dalam negeri tetap terjaga di tengah ketidakpastian global.
Sebagai penutup, uraian ini menegaskan bahwa Indonesia perlu memainkan peran aktif dan adaptif dalam sistem internasional yang terus berubah. Dengan memperkuat posisi di forum multilateral, menyuarakan kepentingan negara berkembang, serta mendorong tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang, Indonesia dapat menjawab tantangan global sekaligus merebut peluang menjadi kekuatan menengah (middle power) yang disegani di tingkat dunia. Permasalahan ini memang bukanlah sesuatu yang sederhana untuk dapat dilakukan karena banyak hal yang harus dicermati dari perkembangan global yang sangat dinamis belakangan ini.
Demikianlah sedikit gambaran perubahan Struktur Global yang menjadi tantangan bagi banyak Negara Berkembang, termasuk dalam melihat Peluang Strategis bagi Indonesia.
(Sumber : bahan kuliah Hubungan Internasional Prof Makarim Wibison).
Jakarta 10 Mei 2025
Pusat Studi Air Power Indonesia