Oleh: Chappy Hakim
Sejarah kadang menyimpan bara yang tak kunjung padam. Dan ketika bara itu disulut oleh ego nasionalisme, ambisi politik, dan hasrat kekuasaan, maka letupan yang terjadi bukan sekadar api kecil melainkan kobaran perang. Begitulah yang kini kita saksikan di perbatasan Kamboja dan Thailand, tepatnya di kawasan sengketa lama sekitar candi kuno Ta Muen Thom. Pada tanggal 24 Juli 2025, kawasan yang semestinya menjadi lambang peradaban justru kembali menjadi arena baku hantam dua negara tetangga yang sama-sama tergabung dalam ASEAN. Konflik yang awalnya berupa sengketa perbatasan, kini menjelma menjadi pertempuran berskala militer. Thailand melaporkan bahwa roket-roket artileri BM-21 Grad diluncurkan dari wilayah Kamboja dan menghantam desa-desa di Provinsi Sisaket, menewaskan warga sipil termasuk anak-anak dan perempuan. Tak tinggal diam, Angkatan Udara Thailand segera merespons dengan kekuatan penuh jet tempur F-16 terbang rendah dan membombardir pos-pos militer Kamboja di wilayah yang disengketakan. Ini bukan lagi konflik simbolik. Ini bukan lagi perselisihan batas peta. Ini adalah sebuah pertempuran yang menuju peperangan.
Candi dan Roket: Perang Gaya Asia Tenggara
Kawasan Asia Tenggara selama ini kerap dipandang sebagai zona damai yang berhasil membangun stabilitas melalui kerja sama regional. ASEAN disebut-sebut sebagai model komunitas kawasan yang menjunjung tinggi prinsip konsensus dan non-intervensi. Tapi hari ini, dunia menyaksikan bahwa bahkan di Asia Tenggara di antara dua anggota ASEAN sendiri perang bisa pecah karena satu situs kuno. Apa yang membuat candi seperti Ta Muen Thom dan Preah Vihear begitu sensitif? Jawabannya adalah identitas nasional. Dalam ingatan kolektif rakyat Kamboja, candi-candi itu adalah lambang kejayaan peradaban Khmer. Bagi sebagian rakyat Thailand, khususnya di kawasan Isan, warisan budaya itu juga bagian dari sejarah leluhur. Ketika situs budaya diseret ke panggung politik, ia berubah menjadi simbol perebutan harga diri nasional. Dan ketika harga diri itu dilukai, diplomasi pun tak lagi cukup. Pelurulah yang berbicara.
Nasionalisme, Politik, dan Pertaruhan Kekuasaan
Kita tak bisa menutup mata terhadap latar politik domestik kedua negara. Di Kamboja, pemerintahan Hun Manet tengah menghadapi tantangan transisi kekuasaan dari sang ayah, Hun Sen. Nasionalisme militer bisa menjadi alat konsolidasi. Di Thailand, pasca Pemilu 2023, polarisasi elite politik belum mereda. Serangan lintas batas menjadi ladang pembuktian bagi militer, bahwa kekuatan bersenjata masih relevan sebagai penjaga kedaulatan, bahkan di luar urusan politik sipil. Inilah saat ketika teori politik klasik bertemu realitas Asia kontemporer. Carl von Clausewitz pernah berkata, “Perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain.” Dan di Asia Tenggara, kita melihatnya dalam bentuk yang sangat nyata, roket, artileri, dan jet tempur digunakan untuk menjawab gejolak dalam negeri masing-masing.
Di Mana ASEAN?
Pertanyaan besar kini mengarah pada ASEAN. Di mana suara bersama kawasan? Di mana mekanisme resolusi konflik yang bisa mencegah kematian warga sipil dan kerusakan situs budaya dunia? Jawabannya, lagi-lagi, terjebak dalam doktrin “non-intervensi”. ASEAN memang memiliki banyak forum dialog, tetapi sedikit mekanisme tindakan. Ketika dua negara anggotanya saling mengebom, ASEAN nyaris hanya mampu mengeluarkan pernyataan keprihatinan. Padahal, stabilitas kawasan bukan hanya soal diplomasi meja bundar, melainkan kemampuan mencegah konflik bersenjata yang nyata dan brutal. Sudah saatnya ASEAN mereformasi dirinya. Dunia berubah. Dan kita tak bisa terus mengandalkan cara lama untuk menghadapi krisis baru. Mekanisme pengiriman pasukan pemantau, penguatan lembaga arbitrase kawasan, serta keberanian moral untuk menengahi secara aktif adalah kebutuhan mendesak. Jika tidak, maka semboyan “ASEAN sebagai kawasan damai” hanya akan tinggal mitos.
Indonesia: Netral Bukan Diam
Sebagai negara besar di ASEAN dan pemilik warisan diplomasi aktif non-blok, Indonesia tidak boleh berdiam diri. Netral bukan berarti pasif. Sebaliknya, Indonesia memiliki peluang strategis untuk tampil sebagai penengah, sebagai pemimpin moral kawasan. Diplomasi kita harus bergerak cepat bukan hanya ke Phnom Penh dan Bangkok, tetapi juga ke New York, ke Dewan Keamanan PBB, ke UNESCO. Kita bisa memulai dengan menyerukan gencatan senjata, menawarkan zona demiliterisasi sementara, atau bahkan mendorong deklarasi bersama untuk melindungi situs budaya dari aksi militer sebuah Konvensi “Budaya untuk Perdamaian”. Karena pada akhirnya, kita tahu satu hal candi-candi tua tidak dibangun untuk jadi korban perang. Mereka dibangun sebagai penghormatan terhadap peradaban manusia. Maka membiarkannya dihancurkan oleh roket dan bom adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan kemanusiaan itu sendiri.
Catatan: Tulisan ini disusun berdasarkan laporan terkini dari Reuters, Bangkok Post, The Guardian, dan Mahkamah Internasional, serta dianalisis dengan pendekatan geo-politik dan pengalaman panjang dalam dunia pertahanan udara.
Jakarta 24 Juli 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia