Oleh: Chappy Hakim
Dalam beberapa bulan terakhir, angin perubahan berhembus kencang dari Barat dalam isu Palestina. Negara-negara seperti Prancis, Inggris, dan Kanada telah menunjukkan sikap yang semakin jelas menuju pengakuan penuh atas kedaulatan Palestina. Langkah ini bukan tanpa alasan, melainkan respons langsung terhadap eskalasi kemanusiaan yang terjadi di Gaza, khususnya sejak agresi militer Israel pada Oktober 2023 yang memakan korban puluhan ribu warga sipil Palestina.
Tekanan moral ini hadir secara nyata di jalan-jalan utama kota-kota besar dunia Barat. Demonstrasi besar di Paris, London, Toronto hingga Montreal, menjadi cermin kuatnya opini publik yang mendesak para pemimpin untuk tidak lagi diam. Inilah yang membedakan gelombang pengakuan saat ini dibandingkan dengan perdebatan politik internasional sebelumnya: kali ini tekanan datang langsung dari nurani masyarakat sipil.
Secara hukum internasional, fondasi pengakuan negara Palestina sebenarnya sudah ada sejak Resolusi Majelis Umum PBB 67/19 tahun 2012, yang memberikan status negara pengamat kepada Palestina. Negara-negara Barat kini dihadapkan pada kenyataan baru yakni mempertahankan sikap netral dalam konflik Israel-Palestina semakin sulit karena justru melanggengkan penderitaan rakyat Palestina. Dalam kerangka ini, pengakuan menjadi pilihan moral sekaligus politik.
Di sisi lain, dinamika politik domestik di negara-negara tersebut juga memainkan peran penting. Di Inggris, naiknya Partai Buruh di bawah kepemimpinan Keir Starmer pada tahun 2024 membawa perspektif baru yang lebih tegas terhadap kebijakan Israel. Sementara itu di Kanada, partai progresif mendapatkan tempat penting setelah Pemilu 2024, mempercepat langkah Kanada untuk menyusul Prancis dan Inggris dalam memberikan pengakuan resmi kepada Palestina.
Sikap Amerika Serikat masih tampak lebih rumit. Pemerintahan Joe Biden, meski menegaskan dukungan terhadap solusi dua negara, tetap berhati-hati dan cenderung menjaga jarak dengan pengakuan unilateral terhadap Palestina. Alasannya klasik yaitu kekhawatiran bahwa pengakuan sepihak akan mengganggu proses perundingan langsung antara Israel dan Palestina. Meski demikian, di dalam negeri AS sendiri mulai muncul suara-suara kritis dari sayap progresif, seperti Bernie Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez, yang mendukung pengakuan penuh terhadap Palestina sebagai negara merdeka.
Lantas bagaimana dengan respons Israel? Perdana Menteri Benjamin Netanyahu selama ini memang dikenal sangat piawai memainkan diplomasi internasional. Namun, pengaruh Netanyahu kini mulai menghadapi tantangan serius. Dunia internasional, khususnya negara-negara Barat, semakin kritis terhadap kebijakan agresif Israel di wilayah pendudukan. Pelanggaran hak asasi manusia yang terus terdokumentasi dengan jelas oleh lembaga-lembaga internasional semakin mempersulit posisi moral Israel.
Tidak hanya itu, di dalam negeri Israel sendiri Netanyahu menghadapi tantangan politik serius akibat kasus hukum dan tekanan publik. Situasi ini mengurangi daya tawarnya dalam diplomasi internasional. Netanyahu boleh jadi masih mampu melancarkan ancaman diplomatik atau kampanye media, namun ia tidak lagi memiliki kekuatan penuh untuk menghentikan gelombang pengakuan terhadap Palestina.
Seiring mendekatnya Sidang Majelis Umum PBB pada September mendatang, pengakuan terhadap Palestina diperkirakan akan semakin meluas. Irlandia, Norwegia, Swedia, hingga Spanyol disebut-sebut sebagai negara yang segera menyusul langkah Prancis, Inggris, dan Kanada. Ini adalah bagian dari gerakan moral yang semakin kuat dan tidak bisa diabaikan begitu saja oleh dunia internasional.
Pertanyaannya kemudian, apakah pengakuan ini akan membawa pada solusi dua negara atau justru mengarah pada pembentukan satu negara dengan sistem politik baru yang lebih kompleks? Mayoritas negara-negara dunia, termasuk yang baru mengakui Palestina, masih konsisten mendukung solusi dua negara. Ini didasarkan pada dasar hukum yang kuat dan tradisi diplomasi internasional yang sudah terbangun selama ini. Namun, hambatan seperti permukiman ilegal Israel, perpecahan internal Palestina antara Fatah dan Hamas, serta minimnya kemauan politik dari kedua belah pihak, masih menjadi batu sandungan.
Sebaliknya, jika Israel terus bertahan dengan kebijakan ekspansionisnya dan menolak solusi dua negara, tekanan internasional bisa beralih ke solusi satu negara yang lebih radikal yaitu sebuah negara demokratis yang memberikan hak sama kepada semua warganya, tanpa memandang etnis atau agama. Opsi ini tentu jauh lebih rumit karena menuntut integrasi politik yang dalam dan kesiapan dari kedua belah pihak untuk hidup berdampingan secara damai setelah konflik yang begitu panjang.
Satu hal yang pasti, gelombang pengakuan dari negara-negara Barat terhadap Palestina bukanlah sekadar langkah politik, tetapi refleksi dari perubahan kesadaran global terhadap isu kemanusiaan dan keadilan. Ini adalah langkah penting yang bisa mengubah wajah diplomasi global dalam konflik Israel-Palestina. Kita tengah menyaksikan sebuah babak baru, di mana negara-negara Barat mulai memilih posisi moral yang jelas dalam isu Palestina. Sebuah langkah yang bukan hanya bernilai simbolik, tetapi juga memiliki implikasi nyata bagi masa depan perdamaian di Timur Tengah. Apapun hasil akhirnya, pengakuan ini telah membuka pintu harapan menuju perdamaian yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat bagi Palestina maupun Israel.
Sementara itu, Donald Trump yang kemungkinan besar akan kembali mencalonkan diri dalam Pilpres AS 2024, telah menyuarakan sikap yang jauh lebih pro-Israel dibandingkan Biden. Dalam masa kepresidenannya sebelumnya, Trump secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan besar AS ke sana. Sikap kerasnya terhadap Palestina tercermin dalam pemangkasan dana bantuan serta pembatalan berbagai upaya diplomatik multilateral. Jika Trump kembali berkuasa, besar kemungkinan arah kebijakan luar negeri AS akan kembali condong sepenuhnya kepada Israel, dan proses pengakuan terhadap Palestina bisa kembali menghadapi rintangan geopolitik yang besar.
Jakarta, 2 Agustus 2025
Chappy Hakim