Pemilu di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan gejala pergeseran orientasi politik publik yang cukup mencolok. Polarisasi berbasis identitas, kampanye emosional, serta dominasi figur kuat menjadi pola yang terus berulang dalam kontestasi nasional. Di tengah dinamika itu, partai-partai politik cenderung mengedepankan strategi koalisi besar untuk mempertahankan stabilitas kekuasaan, tetapi kerap mengorbankan kejelasan ideologi dan arah kebijakan. Akibatnya, ruang diskursus publik lebih disibukkan oleh rivalitas personal ketimbang substansi kebijakan, sementara kebutuhan pemilih terkait ekonomi, lapangan kerja, pendidikan, dan perbaikan tata kelola belum sepenuhnya terjawab.
Fenomena serupa juga terjadi pada pemilu di tingkat lokal, di mana mobilisasi sentimen agama, etnis, dan politik patronase terus memengaruhi perilaku pemilih. Pemilu cenderung menjadi arena konsolidasi kekuatan elit, bukan kompetisi gagasan. Ketika masyarakat menghadapi tekanan ekonomi dan disrupsi sosial, retorika populis mudah mendapatkan panggung. Hal ini semakin dipicu oleh penetrasi media sosial yang mempercepat persebaran narasi provokatif serta hoaks politik. Dalam lanskap seperti itu, moderasi terlihat melemah karena tidak dianggap cukup menarik secara elektoral, meski tetap menjadi fondasi penting bagi demokrasi yang matang.
Berbeda dengan kondisi tersebut, pemilu Belanda, negara Ex Penjajah Indonesia, justru memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan kembali politik moderat. Lonjakan dukungan terhadap partai tengah-liberal D66 dan merosotnya dukungan bagi partai sayap kanan Geert Wilders menunjukkan kejenuhan publik terhadap politik ekstrem dan polarisasi berkepanjangan. Pemilih Belanda kembali memberi ruang bagi rasionalitas kebijakan, kompromi koalisi, serta keberlanjutan pemerintahan. Perbandingan ini menunjukkan kontras menarik, ketika sebagian publik Indonesia masih terjebak dalam dinamika identitas dan figur, publik Belanda mulai bergerak ke arah pragmatisme kebijakan dan stabilitas, sebuah refleksi bahwa demokrasi yang matang pada akhirnya kembali mencari keseimbangan di tengah godaan ekstremisme politik. Pemilu Belanda pada 29 Oktober 2025 menghadirkan kejutan politik yang memantulkan denyut nadi demokrasi Eropa hari ini. Partai tengah-liberal Democrats 66 (D66) mencatat lonjakan suara yang signifikan dan diprediksi memimpin pembentukan pemerintahan baru, sementara partai populis sayap-kanan pimpinan Geert Wilders mengalami penurunan dukungan. Fenomena ini menandai koreksi publik terhadap gaya politik yang berorientasi pada polarisasi, retorika anti-imigran, serta strategi identitas yang selama beberapa tahun terakhir menyapu berbagai negara Eropa.
Hasil ini penting karena menunjukkan bahwa pemilih Belanda mengutamakan isu konkret, krisis perumahan, pendidikan, serta integrasi sosial, dibanding riuh rendah slogan-slogan yang membakar emosi. Politik tengah yang dulu dianggap “membosankan” kini kembali menarik sebagai harapan baru bagi stabilitas, rasionalitas kebijakan, dan ruang kompromi yang sehat. Masyarakat tampaknya mulai letih oleh ketegangan ideologis dan kini mencari pemimpin yang menawarkan solusi, bukan amarah dan mental penh emosi. Meski demikian, keberhasilan D66 tidak menjamin jalan mulus. Sistem parlementer Belanda menuntut pembentukan koalisi luas, dan kompromi yang harus ditempuh berpotensi mengikis agenda progresif yang dijanjikan. Di saat yang sama, suara untuk kelompok ekstrem kanan belum musnah. Basis tersebut tetap ada, menunggu celah frustrasi ekonomi atau kegagalan pemerintahan baru untuk memantul kembali ke permukaan. Kemenangan moderasi ini bersifat sementara jika realisasi kebijakan tidak menyentuh kebutuhan akar rumput.
Bagi Indonesia, kejadian ini menyimpan beberapa pelajaran penting. Politik identitas memang bisa membangkitkan dukungan jangka pendek, tetapi tidak dapat mengelola pemerintahan jangka panjang. Pemilih semakin menuntut tata kelola yang mampu menjawab persoalan sehari-hari, mulai dari harga kebutuhan pokok hingga akses layanan publik. Dalam konteks domestik di mana polarisasi terus menguat, ruang moderasi justru mungkin menjadi tawaran politik yang potensial, asalkan saja diiringi perencanaan yang solutif dan komunikatif.
Fenomena ini juga mengingatkan bahwa stabilitas demokrasi membutuhkan keseimbangan. Ketika suara tengah kembali menguat, Eropa menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya arena duel ekstrem. Namun, ujian berikutnya bukan lagi soal menang pemilu, melainkan bagaimana membuktikan bahwa stabilitas, inklusivitas, dan rasionalitas kebijakan mampu menghadirkan hasil nyata bagi masyarakat. Kembalinya politik moderat di Belanda mungkin menjadi angin segar di tengah gelombang populisme global. Namun angin saja tidak cukup. Ia harus berubah menjadi gerak konkret yang membawa perubahan. Jika tidak, ekstremisme akan kembali dan mungkin jauh lebih keras.
Pada akhirnya, dinamika politik tersebut seolah menegaskan bahwa hukum alam selalu bergerak menuju titik keseimbangan. Ketika satu ekstrem mendominasi, akan muncul dorongan tandingan untuk mengembalikan arah ke tengah. Fenomena di Belanda dapat dibaca sebagai siklus korektif yang alamiah dalam demokrasi yang matang. Namun bagi Indonesia, sayang sekali mengacu kepada realita yang ada, perjalanan menuju demokrasi yang bertumpu pada etika, moral, akal sehat, serta kedewasaan berpolitik tampaknya masih “jauh panggang dari api”. Di tengah polarisasi identitas, kontestasi figur, dan pragmatisme koalisi, upaya mencapai titik equilibrium itu masih membutuhkan kesadaran kolektif, disiplin institusional, dan keberanian elite untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya. Slogan Country Before Self masih tetap tampak sabagai fatamorgana.
Jakarta 1 November 2025
Chappy Hakim

