Kajian Filsafat Nietzsche
Filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia, yaitu gabungan kata philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Secara sederhana, filsafat dapat dipahami sebagai cinta kepada kebijaksanaan. Sejak mula, filsafat lahir dari dorongan alami manusia untuk bertanya, merenung, dan mencari jawaban atas pertanyaan yang paling mendasar yakni mengenai kehidupan dan alam semesta. Ia bukan sekadar ilmu praktis, melainkan usaha menyeluruh untuk memahami realitas, kebenaran, dan kedudukan manusia di dalamnya. Sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya yang cenderung menyoroti bidang tertentu dengan jawaban yang dapat diukur dan diuji secara empiris. Filsafat justru berangkat dari pertanyaan universal yang sulit diselesaikan. Pertanyaan itu antara lain seperti Apakah kebenaran itu? Apakah Tuhan benar benar ada? Apakah manusia sungguh memiliki kebebasan? dan Bagaimana menentukan makna hidup? Itu semua pada dasarnya adalah refleksi filosofis yang senantiasa mengiringi perjalanan sejarah umat manusia. Oleh karena itulah, filsafat bukan hanya tentang intelektual, melainkan juga eksistensial, sebab langsung bersentuhan dengan cara manusia memandang dirinya, orang lain, serta kehidupan secara keseluruhan.
Sejarah mencatat bahwa sejak era Yunani Kuno, manusia menjadikan filsafat sebagai jalan untuk menyingkap misteri kehidupan. Tokoh-tokoh seperti Thales, Socrates, Plato, dan Aristoteles meletakkan fondasi awal yang kemudian melahirkan beragam cabang ilmu filsafat. Metafisika membahas tentang hakikat keberadaan, epistemologi mengkaji asal-usul pengetahuan, etika mengurai soal kebaikan dan moralitas, estetika menyelidiki keindahan. Filsafat politik menelaah keadilan, kekuasaan, dan kehidupan bernegara. Dari rahim filsafat itulah lahir cara berpikir kritis dan sistematis yang kemudian menjadi pondasi lahirnya ilmu pengetahuan modern. Dengan demikian, filsafat dapat dikatakan sebagai sarana berpikir yang mengajarkan manusia untuk tidak berhenti bertanya, meragukan, dan menguji ulang hal-hal yang dianggap pasti. Ia tidak selalu memberikan jawaban akhir, tetapi membuka ruang bagi manusia untuk terus menafsirkan dan memperkaya pemahamannya tentang apa saja di dunia ini. Filsafat juga merupakan cermin kegelisahan manusia, sekaligus cahaya yang menuntun perjalanan panjang pencarian makna hidup.
Friedrich Nietzsche: Filsuf Radikal Abad ke-19
Friedrich Nietzsche (1844–1900) adalah salah satu filsuf Jerman yang paling berpengaruh dalam sejarah modern. Pemikirannya yang tajam, penuh provokasi, bahkan sering kali menimbulkan kontroversi, menjadikannya tokoh penting dalam perdebatan filsafat, sastra, politik, maupun teologi. Nietzsche tidak hanya menggugat fondasi moral Barat, tetapi juga menyodorkan cara pandang baru tentang manusia, kehidupan, dan makna keberadaan. Nietzsche lahir di Röcken, Prusia, pada 15 Oktober 1844. Ia tumbuh dalam keluarga Lutheran yang religius, namun dalam perjalanannya justru menjadi pengkritik tajam agama, khususnya Nasrani. Pada usia muda, ia mempelajari filologi klasik dan bahkan diangkat menjadi profesor termuda di Universitas Basel pada umur 24 tahun. Sayangnya, kondisi kesehatan yang lemah membuat Nietzsche harus meninggalkan dunia akademik, lalu menempuh hidup sebagai penulis independen yang sepenuhnya mengabdikan diri pada pemikiran. Salah satu seruan Nietzsche yang paling terkenal adalah “Tuhan telah mati” (Gott ist tot). Ungkapan ini bukan sekadar deklarasi ateisme, melainkan metafora tentang runtuhnya fondasi moral tradisional Eropa yang selama berabad-abad bersandar pada agama Kristen. Menurut Nietzsche, moralitas Kristen mengekang manusia dengan rasa bersalah dan sikap menyangkal kehidupan. Ia menolak adanya moral universal yang dipaksakan, dan menegaskan pentingnya manusia untuk menciptakan nilai-nilai baru yang sesuai dengan kehendak hidupnya.
Kehendak untuk Berkuasa
Konsep khas Nietzsche kainnya yang dikenal luas adalah “Will to Power” (Der Wille zur Macht), yakni dorongan atau nafsu paling fundamental dalam diri manusia untuk menegaskan diri, menguasai, sekaligus melampaui keterbatasannya. Kehidupan bagi Nietzsche bukan sekadar bertahan, melainkan perjuangan tanpa henti untuk mencapai puncak potensi. Melalui kehendak untuk berkuasa, manusia dituntun untuk terus berkembang dan berani melampaui batas nilai yang diwariskan tradisi. Dalam karya Also sprach Zarathustra, Nietzsche memperkenalkan konsep Übermensch atau manusia unggul. Ia bukan manusia super dalam arti fisik, melainkan sosok yang mampu melahirkan makna hidupnya sendiri, bebas dari dogma agama maupun moralitas lama. Übermensch adalah simbol keberanian, kreativitas, dan kebebasan menghadapi absurditas kehidupan.
Nihilisme dan Tantangan Zaman Modern
Nietzsche juga menyingkap bahaya nihilisme, yakni keadaan ketika manusia kehilangan tujuan hidup setelah nilai-nilai lama runtuh. Nihilisme, bagi Nietzsche, bisa menjadi ancaman karena memunculkan kehampaan dan kehancuran budaya. Namun, ia juga melihat nihilisme sebagai tantangan yang dapat diatasi dengan keberanian mencipta nilai-nilai baru yang otentik, bukan sekadar menyerah pada kekosongan. Nietzsche dikenal dengan gaya tulisnya yang aforistik, singkat, padat, puitis, sekaligus penuh simbol. Karya karyanya seperti Thus Spoke Zarathustra, Beyond Good and Evil, dan On the Genealogy of Morals hingga kini masih menjadi bahan bacaan penting. Pemikiran Nietzsche meninggalkan jejak kuat pada eksistensialisme (Heidegger, Sartre), psikoanalisis (Freud), teori kekuasaan (Foucault), bahkan dunia seni dan sastra modern. Nietzsche adalah filsuf yang berani menantang arus utama pemikiran Barat. Ia menggugat manusia untuk tidak sekadar mengikuti moral lama, tetapi menciptakan jalannya sendiri. Kritiknya terhadap agama, moralitas, dan budaya massa terasa tetap aktual di era modern yang diliputi krisis makna, krisis identitas, dan kekosongan nilai. Ia mengingatkan bahwa hidup hanya bisa dijalani dengan keberanian, penciptaan, dan afirmasi, meski penuh penderitaan dan absurditas. Jika gagasan Nietzsche itu kita tarik ke realitas Indonesia hari ini, maka relevansinya menjadi sangat jelas. Bangsa ini kerap terjebak dalam pola lama, baik di politik, budaya, maupun kehidupan sosial, sehingga sulit melahirkan inovasi dan pembaruan. Di tengah merebaknya korupsi, nepotisme, dan politik pragmatis, semangat Übermensch dapat dibaca sebagai dorongan bagi Indonesia untuk berani melepaskan diri dari belenggu nilai yang busuk dan menciptakan tata kelola baru yang lebih jujur, sehat, serta visioner.
Nietzsche pernah menulis, “He who has a why to live can bear almost any how” artinya lebih kurang adalah “Siapa yang memiliki alasan untuk hidup, ia akan mampu menanggung hampir segala cara untuk menjalaninya.” Pesan ini memberi pelajaran bahwa bangsa hanya akan bertahan menghadapi krisis jika memiliki visi yang jelas tentang tujuan hidup bersama. Di tengah demokrasi Indonesia yang masih dilanda krisis kepercayaan dan nihilisme sosial akibat janji-janji kosong elit, gagasan Nietzsche memberi peringatan bahwa kekosongan makna hanya dapat diatasi dengan melahirkan nilai-nilai baru yang autentik. Indonesia, dengan potensi besar yang dimilikinya, membutuhkan manusia-manusia unggul yang berani berpikir melampaui dogma lama, melawan budaya mediokritas, melawan feodalisme dan menegakkan integritas demi menata masa depan bangsa.
Referensi
- Ansell-Pearson, K. (1994). An Introduction to Nietzsche as Political Thinker: The Perfect Nihilist. Cambridge: Cambridge University Press.
- Copleston, F. (1993). A History of Philosophy: Volume 7, Modern Philosophy: From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, and Nietzsche. New York: Doubleday.
- Heidegger, M. (1991). Nietzsche, Volumes I & II. San Francisco: HarperCollins.
- Kaufmann, W. (1974). Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist (4th ed.). Princeton: Princeton University Press.
- Nietzsche, F. (1967). The Birth of Tragedy (W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage.
- Nietzsche, F. (1968). The Will to Power (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). New York: Vintage.
- Nietzsche, F. (1974). The Gay Science (W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage.
- Nietzsche, F. (1989). On the Genealogy of Morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). New York: Vintage.
- Nietzsche, F. (1999). Thus Spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). New York: Modern Library.
- Solomon, R. C. (2003). Living with Nietzsche: What the Great “Immoralist” Has to Teach Us. Oxford: Oxford University Press.
- Suriasumantri, J. S. (2015). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta 15 September 2025
Chappy Hakim
Disusun, dirangkum dari berbagai sumber dan AI