Pada bulan September 2024, dunia dikejutkan oleh sebuah insiden penting di Laut Hitam. Sebuah kapal intai Ukraina, salah satu aset terbesar armada negara itu, mengalami kerusakan parah setelah dihantam oleh serangan drone laut atau unmanned surface vehicle (USV) milik Rusia. Peristiwa ini jelas bukan sekadar babak kecil dalam Perang Rusia
Ukraina, melainkan penanda lahirnya sebuah era baru. Drone laut yang semula dikenal hanya sebagai alat pengintai, kini telah bertransformasi menjadi senjata ofensif yang mematikan. Dengan demikian, insiden ini tidak hanya memperlihatkan dinamika lokal di medan perang, tetapi juga memberi sinyal perubahan mendasar dalam kalkulasi kekuatan maritim dunia.
Demokratisasi Teknologi Militer di Laut
Daya guncang utama dari peristiwa ini terletak pada dimensi ekonominya. Membangun kapal perang besar seperti kapal intai Ukraina memerlukan biaya miliaran dolar dan waktu bertahun-tahun. Sebaliknya, sebuah drone laut ofensif dapat diproduksi dengan biaya jauh lebih murah, bahkan menggunakan komponen teknologi komersial yang relatif mudah diakses. Fenomena ini mengingatkan pada munculnya drone udara yang telah merevolusi peperangan darat yakni senjata kecil, murah, dan fleksibel mampu melumpuhkan aset bernilai tinggi. Rusia, maupun Ukraina sebelumnya, telah menunjukkan bahwa dengan anggaran terbatas pun sebuah negara mampu menciptakan ancaman serius terhadap armada besar. Inilah yang disebut sebagai proses “demokratisasi” peperangan maritim: ketika sebuah kapal bermesin sederhana, dipandu satelit, dapat mengancam eksistensi kapal perang raksasa yang selama ini menjadi simbol supremasi laut.
Tantangan bagi Pertahanan dan Doktrin Angkatan Laut
Keberhasilan serangan ini sekaligus membuka pertanyaan mendasar tentang masihkah doktrin pertahanan laut tradisional relevan? Kapal perang selama ini dibekali sistem untuk menghadapi ancaman berupa rudal, torpedo, maupun serangan udara. Namun drone laut adalah ancaman dengan karakter berbeda dengan ukurannya yang kecil, bergerak cepat, memiliki jejak radar sangat rendah, dan dapat menyergap dari permukaan air. Bahkan, teknologi swarm atau kawanan memungkinkan peluncuran puluhan drone sekaligus untuk membanjiri sistem pertahanan kapal. Situasi ini memaksa seluruh angkatan laut dunia untuk meninjau ulang postur dan strategi pertahanannya. Investasi besar harus diarahkan pada pengembangan senjata energi terarah seperti laser atau microwave, sistem pertahanan jarak dekat, serta teknologi peperangan elektronik untuk mengacaukan kendali drone. Dengan kata lain, era ketika kapal besar dapat berlayar tanpa rasa khawatir di wilayah sengketa kemungkinan sudah berakhir.
Implikasi Strategis dan Stabilitas Kawasan
Penggunaan drone laut secara ofensif juga membawa dampak strategis yang jauh lebih luas. Pertama, teknologi ini menambah risiko eskalasi. Menenggelamkan kapal perang dengan rudal anti kapal jelas merupakan tindakan besar yang dapat memicu konflik luas. Namun, menggunakan drone yang murah dan mudah disangkal (deniable) mungkin dianggap sebagai langkah yang lebih ringan, sehingga mendorong negara untuk lebih berani melakukan aksi militer. Kedua, dalam kawasan yang sudah sarat ketegangan seperti Laut Cina Selatan atau Teluk Persia, proliferasi drone laut dapat memperburuk instabilitas. Bukan hanya negara besar, bahkan aktor non negara berpotensi menggunakan teknologi ini untuk mengganggu jalur pelayaran strategis atau memicu insiden yang sulit dikendalikan.
Serangan drone laut Rusia terhadap kapal intai Ukraina menjadi alarm keras bagi seluruh angkatan laut di dunia. Peristiwa ini menandai pergeseran mendasar dalam peperangan maritim yakni dari dominasi platform besar dan mahal menuju sistem senjata otonom yang murah, lincah, dan masif. Sama seperti tank yang mengubah wajah Perang Dunia I atau pesawat tempur yang merevolusi Perang Dunia II, kini drone laut membuka babak baru dengan tantangan dan ketidakpastian tersendiri. Pertarungan maritim abad ke-21 tidak lagi semata ditentukan oleh siapa yang memiliki kapal terbesar, melainkan oleh siapa yang memiliki kecerdasan teknologi, jaringan informasi, dan armada drone paling efektif. Masa depan laut adalah masa depan yang ditentukan oleh inovasi, bukan sekadar ukuran. Kesemua itu menandai arena perang masa kini dengan predikat total and smart !
Implikasi bagi Indonesia sebagai Negara Kepulauan
Bagi Indonesia, insiden ini memberikan pelajaran strategis yang sangat penting. Sebagai negara kepulauan dengan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang menjadi jalur perdagangan global, kerentanan terhadap serangan drone laut tidak bisa diabaikan. Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia harus menyadari bahwa ancaman tidak selalu datang dari kapal perang besar, tetapi juga dari kendaraan tak berawak berbiaya murah yang mampu menyusup dan menyerang di jalur-jalur strategis. Implikasi berikutnya menyangkut doktrin pertahanan maritim nasional. TNI AL perlu menyesuaikan strategi pengamanan laut dengan memasukkan dimensi ancaman baru ini. Investasi tidak cukup hanya diarahkan pada kapal perang besar atau kapal selam, tetapi juga pada pengembangan sistem deteksi dini terhadap drone laut, radar permukaan beresolusi tinggi, serta senjata anti-drone berbasis energi atau elektronik. Selain itu, kerja sama dengan sektor sipil dan lembaga riset dalam membangun drone laut versi Indonesia dapat menjadi langkah proaktif untuk tidak sekadar menghadapi, tetapi juga menguasai teknologi ini. Teknologi yang tengah memasuki era Cyberspace.
Pelajaran terakhir adalah soal diplomasi maritim. Sebagai negara kepulauan yang sangat bergantung pada stabilitas laut, Indonesia harus aktif mendorong norma internasional mengenai penggunaan drone laut, baik di ASEAN maupun forum global. Tanpa regulasi yang jelas, proliferasi teknologi ini dapat menimbulkan instabilitas di kawasan, termasuk di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Dengan kata lain, lesson learned dari insiden Rusia Ukraina ini adalah bahwa Indonesia harus membangun pertahanan maritim yang adaptif, menguasai teknologi baru, sekaligus memainkan peran diplomatik termasuk meningkatkan Soft Power untuk menjaga keamanan laut yang menjadi urat nadi perekonomian nasional.
Jakarta 23 September 2025
Chappy Hakim Pusat Studi Air Power Indonesia
Disusun, dirangkum dari berbagai sumber dan AI