Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Morowali dan Tata Kelola Wilayah Udara Nasional
    Article

    Morowali dan Tata Kelola Wilayah Udara Nasional

    Chappy HakimBy Chappy Hakim12/11/2025No Comments6 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Hiruk pikuk kisah Morowali beberapa hari terakhir seperti menyalakan kembali lampu merah di langit Indonesia. Di satu sisi, Menteri Pertahanan berbicara lantang tentang potensi munculnya “negara dalam negara” di kawasan Morowali akibat aktivitas penerbangan internasional yang tidak diimbangi kehadiran penuh perangkat negara. Di sisi lain, Wakil Menteri Perhubungan menegaskan bahwa Bandara Khusus IMIP Morowali adalah fasilitas legal, terdaftar, dan berada dalam pengawasan Kementerian Perhubungan. Dua pernyataan resmi yang sama-sama datang dari pemerintah, tetapi terdengar berbeda nada dan maknanya di telinga publik. Dari sini tampak jelas, masalah Morowali bukan sekadar soal satu bandara privat, melainkan cermin dari belum tertatanya tata kelola wilayah udara nasional secara terpadu.

    Sebagai negara merdeka, Republik Indonesia seharusnya berdaulat penuh di darat, laut, dan udara. Rujukan yuridis internasionalnya sudah sangat jelas. Konvensi Chicago 1944 menegaskan bahwa setiap negara berdaulat penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya. Di tingkat teori, Jean Bodin sejak abad ke-16 telah menjelaskan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi yang bersifat mutlak, permanen, dan tidak terbagi di dalam suatu negara, yang tidak boleh berada di bawah atau dibagi dengan otoritas lain. Jika prinsip Bodin dan Konvensi Chicago itu kita bawa ke konteks Indonesia hari ini, maka kedaulatan di udara seharusnya berarti, sudah harus tidak ada satu jengkal pun ruang udara nasional yang secara de facto dibiarkan berada di zona abu-abu pengelolaan, apalagi sampai menimbulkan kesan seperti “negara dalam negara”.

    Di titik inilah Morowali menjadi gejala yang menarik. Ketika Menhan melihat potensi “negara dalam negara” dan Wamenhub menjawab dengan narasi legalitas administratif, publik justru menangkap satu hal yakni pemerintah tidak bicara dalam satu suara mengenai pengelolaan wilayah udara nasional. Padahal, dalam isu se-strategis udara, negara tidak boleh terfragmentasi ke dalam sudut pandang sektoral, pertahanan bicara sendiri, perhubungan bicara sendiri, sementara aktor lain seperti intelijen, Bea Cukai, Imigrasi, hingga penegak hukum juga punya kepentingan masing-masing. Yang seharusnya hadir adalah satu wadah komando dan koordinasi di tingkat strategis, semacam Dewan Penerbangan yang pernah ada pada tahun 1955, yang bertugas menyinkronkan kepentingan penerbangan sipil dan militer, dengan ketua bergantian antara Menhan dan Menhub serta anggota tetap KSAU. Di era ancaman dan teknologi udara yang semakin kompleks, model dewan semacam itu justru menjadi kebutuhan, bukan romantisme sejarah. Sayangnya Dewan Penerbangan kini statusnya sudah almarhum di negeri ini.

    Ironisnya, polemik Morowali muncul tepat ketika kita baru saja mengesahkan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara. Secara formal, UU ini adalah langkah maju penting untuk mengisi kekosongan pengaturan yang sudah lama dikeluhkan. Namun sayangnya, dari perspektif kedaulatan di tingkat strategis, masih ada lubang yang menganga. Soal komando dan pengendalian pengelolaan ruang udara nasional di level tertinggi negara belum benar-benar diatur secara tegas dan operasional. Proses penyusunannya pun pasti belum banyak melibatkan pihak-pihak yang selama ini konsisten mengkaji kedaulatan negara di udara, seperti Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) dan para pakar hukum udara serta pertahanan udara. Akibatnya, naskah UU terasa kuat pada aspek administratif dan teknis, tetapi belum cukup menjawab kebutuhan “single strategic command” yang mampu memastikan bahwa tidak ada lagi Morowali-Morowali lain di masa depan.

    Sejumlah pakar seperti Prof. Priyatna, Prof. Atip, Prof. Syeifullah, dan Prof. Pablo telah lama menggarisbawahi bahwa kedaulatan negara di udara tidak bisa dipahami hanya sebagai klaim yuridis di atas kertas. Kedaulatan udara setidaknya mencakup tiga dimensi utama dalam implementasinya yaitu control of the air, use of airspace, dan law enforcement. Control of the air.   Hal yang mengandung arti kemampuan negara menguasai udara secara efektif, baik dari sisi militer maupun pengamatan dan pengendalian lalu lintas udara sipil komersial. Control of the Air adalah kemampuan untuk mengatur sendiri wilayah udara nasional tanpa tergantung  negara lain. Use of airspace adalah kemampuan mengatur dan memanfaatkan ruang udara untuk kepentingan nasional  mencakup transportasi udara, ekonomi, teknologi, hingga pertahanan. Sementara law enforcement adalah kapasitas negara untuk menegakkan hukum di udara, termasuk terhadap pelanggaran, penyelundupan, penerbangan ilegal, maupun ancaman terhadap keamanan nasional. Bila salah satu dimensi ini lemah, maka klaim kedaulatan di udara menjadi rapuh.

    Fakta bahwa wilayah udara eks-FIR Singapura di atas Natuna dan Kepulauan Riau masih didelegasikan pengelolaannya kepada otoritas asing menjadi ilustrasi paling telanjang bahwa kita sejatinya belum 100 persen merdeka di wilayah udara kedaulatannya sendiri. Di atas wilayah yang secara politik dan geografis adalah wilayah kedaulatan NKRI, negara lain masih memegang peran sentral dan dominan dalam manajemen lalu lintas udara sipil. Kontrak itu memang memiliki dasar legal dan historis, tetapi dari kacamata kedaulatan, posisi tersebut sulit untuk disebut sebagai ideal. Kedaulatan udara yang utuh menuntut kita untuk menguasai sendiri control of the air, use of airspace, dan law enforcement di seluruh wilayah udara nasional. Selama hal itu belum dicapai, kemerdekaan Indonesia selalu menyisakan catatan kaki, merdeka di darat, merdeka di laut, tetapi belum sepenuhnya berdaulat di udara.

    Isu Morowali harus dibaca dalam bingkai yang sama. Ketika sebuah bandara yang dibangun swasta beroperasi, berpotensi melayani penerbangan internasional, dan menjadi simpul aktivitas ekonomi skala besar, tetapi negara belum hadir secara penuh dalam arsitektur pengaturannya, maka ruang yang terbuka bukan hanya untuk salah tafsir, tetapi juga untuk erosi kedaulatan secara perlahan. Legalitas administratif yang dijelaskan oleh Kemenhub sah dan penting. Namun dari perspektif kedaulatan udara, legalitas saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah jaminan bahwa semua aktivitas penerbangan  negara maupun swasta berada dalam satu sistem komando, pengawasan, dan penegakan hukum yang terpadu, yang berangkat dari kepentingan strategis negara, bukan sekadar dari kebutuhan investasi belaka.

    Karena itu, Morowali seharusnya kita jadikan momentum untuk mengoreksi tata kelola wilayah udara nasional dari hulu hingga hilir. Pertama, kita perlu menempatkan kembali kedaulatan udara sebagai isu strategis negara, bukan sekadar urusan teknis penerbangan.  Berikutnya  UU Pengelolaan Ruang Udara yang baru disahkan harus segera diikuti dengan pembentukan struktur kelembagaan di tingkat nasional yang mampu menyatukan semua aktor, pertahanan, perhubungan, intelijen, penegak hukum, otoritas navigasi udara, dan komunitas ahli dalam satu desain komando dan koordinasi terpadu. Model Dewan Penerbangan 1955 dapat menjadi referensi historis yang sangat relevan untuk diadaptasi kembali dengan konteks abad ke-21.  Agenda pengakhiran delegasi wilayah udara eks-FIR Singapura harus ditempatkan sebagai prioritas strategis, bukan sekadar negosiasi teknis yang ditunda-tunda.

    Pada akhirnya, polemik Morowali mengingatkan kita bahwa kedaulatan bukan hanya ditentukan oleh deklarasi hukum dan dokumen perjanjian internasional, tetapi juga oleh cara kita mengelola ruang udara sendiri sehari-hari. Selama pengelolaan wilayah udara nasional masih terpecah-pecah, selama koordinasi strategis antar lembaga negara belum terjaga dalam satu wadah, dan selama sebagian wilayah udara kita masih dikelola pihak asing, maka kemerdekaan Indonesia masih menyimpan pekerjaan rumah penting di langitnya. Morowali adalah alarm keras bahwa sudah saatnya republik ini benar-benar satu suara dalam urusan udara, berdaulat penuh, menguasai ruang udara sendiri, dan menata tata kelola wilayah udara nasional dengan manajemen terpadu yang sepadan dengan martabat sebuah negara merdeka dan bermartabat.

    Jakarta 29 November 2025

    Chappy Hakim

    Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleMorowali dan Pembangunan Nasional
    Next Article UU Pengelolaan Ruang Udara dan Dewan Penerbangan
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Kebakaran dan Kebakaran Lagi

    12/11/2025
    Article

    UU Pengelolaan Ruang Udara dan Dewan Penerbangan

    12/11/2025
    Article

    Morowali dan Pembangunan Nasional

    12/11/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.