Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Mengkritisi Pendelegasian Wilayah Udara NKRI kepada Negara Lain
    Article

    Mengkritisi Pendelegasian Wilayah Udara NKRI kepada Negara Lain

    Chappy HakimBy Chappy Hakim10/03/2025No Comments6 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Pada tahun 2022, Pemerintah Republik Indonesia dan Singapura menandatangani sebuah perjanjian yang kembali menegaskan pendelegasian sebagian wilayah udara Indonesia kepada Singapura. Wilayah udara khususnya di kawasan yang sejak lama dikenal sebagai FIR Singapura. Perjanjian ini menimbulkan pro dan kontra, sebab meskipun secara formal dikemas sebagai kerja sama teknis pelayanan navigasi penerbangan, substansinya menyangkut hal yang jauh lebih mendasar yaitu kedaulatan negara atas ruang udara nasional. Sejarah pendelegasian FIR tersebut berakar sejak masa kolonial, ketika otoritas penerbangan Inggris di Singapura dan otoritas Hindia Belanda di Batavia menyepakati pembagian tanggung jawab pelayanan navigasi penerbangan di kawasan Asia Tenggara. Setelah Indonesia merdeka, warisan pengaturan kolonial ini tetap bertahan, sehingga sebagian ruang udara Indonesia di wilayah barat masih berada di bawah kendali otoritas penerbangan Singapura.

    Instruksi Presiden Joko Widodo pada 2015 sesungguhnya telah menggariskan dengan jelas agar Indonesia segera mengambil alih pengelolaan FIR Singapura tersebut. Namun, perjanjian 2022 justru memperpanjang kembali pendelegasian, dengan alasan kesiapan teknis dan hubungan baik dengan negara tetangga. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah negara yang merdeka dan berdaulat dapat membenarkan praktik semacam itu?  Di sinilah letak persoalan mendasar. Pendelegasian ruang udara bukan hanya soal efisiensi pelayanan penerbangan sipil, melainkan berkaitan erat dengan hak eksklusif negara atas wilayah udaranya. Karena itu, perlu dikaji lebih dalam dengan menggunakan tinjauan teori kedaulatan Jean Bodin, teori Power Elite Wright Mills, dan teori pengambilan keputusan Graham Allison, serta pandangan para pakar hukum udara internasional seperti Prof. Pablo Mendes de Leon dan Prof. Atip Latipulhayat.

    Kedaulatan Negara di Udara

    Kedaulatan negara di udara merupakan prinsip paling fundamental dalam hukum internasional modern. Sejak Konvensi Paris 1919 hingga Konvensi Chicago 1944, kedaulatan ditegaskan sebagai complete dan exclusive atas ruang udara di atas wilayah teritorial suatu negara. Dalam konteks Indonesia, persoalan pendelegasian wilayah udara yang dikenal sebagai Flight Information Region (FIR) kepada negara lain telah menimbulkan perdebatan panjang, baik dari segi hukum, politik, maupun strategi pertahanan. Perjanjian Indonesia–Singapura tahun 2022, yang kembali menyerahkan pengelolaan sebagian wilayah udara kedaulatan Indonesia kepada Singapura, memunculkan pertanyaan besar yaitu apakah praktik ini sesuai dengan prinsip prinsip kedaulatan negara?

    Untuk menjawabnya,  uraian berikut ini akan menggunakan tiga pisau analisis teori, Jean Bodin dengan teori kedaulatan absolut, Wright Mills dengan teori Power Elite, serta Graham Allison dengan teori pengambilan keputusan.  Analisis ini juga akan didukung oleh pandangan akademisi hukum udara internasional seperti Prof. Pablo Mendes de Leon dan Prof. Atip Latipulhayat. Dari semua sudut pandang tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendelegasian wilayah udara merupakan praktik yang tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan, sehingga mengindikasikan bahwa kemerdekaan Indonesia masih belum sepenuhnya paripurna.

    Teori Kedaulatan Jean Bodin tentang Kedaulatan Absolut.

    Jean Bodin (1530–1596) mendefinisikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi yang absolut, permanen, dan tidak terbagi dalam suatu negara. Dalam kerangka Bodin, kedaulatan tidak dapat dipindahtangankan, baik sebagian maupun keseluruhan, kepada pihak luar. Bila suatu negara mendelegasikan sebagian kekuasaan esensialnya kepada negara lain, dalam hal ini kendali atas ruang udara, maka negara tersebut kehilangan esensi kedaulatannya. Dari perspektif Bodin, penguasaan ruang udara oleh negara lain sama artinya dengan pengurangan kedaulatan Indonesia itu sendiri. Sebab, kedaulatan atas ruang udara bukanlah sekadar persoalan teknis pengelolaan navigasi penerbangan, tetapi menyangkut hak eksklusif untuk mengendalikan, menggunakan, dan menegakkan hukum di wilayah udara nasional. Pendelegasian FIR kepada Singapura dengan demikian bertentangan langsung dengan konsep kedaulatan absolut yang diajarkan Bodin.

    Teori Power Elite Wright Mills.

    Wright Mills dalam bukunya The Power Elite (1956) menegaskan bahwa kebijakan strategis suatu negara sering kali tidak benar-benar lahir dari kehendak rakyat, melainkan ditentukan oleh segelintir elit politik, militer, dan ekonomi yang memiliki kekuasaan. Dalam kasus FIR, keputusan untuk menyerahkan sebagian pengelolaan ruang udara kepada negara lain bukanlah hasil musyawarah rakyat, melainkan kesepakatan yang dibuat di tingkat elit.  Pola ini memperlihatkan bahwa kedaulatan negara sering kali menjadi korban dari tarik-menarik kepentingan elit politik dan ekonomi yang lebih mengutamakan stabilitas hubungan internasional atau keuntungan jangka pendek. Dari perspektif Mills, perjanjian FIR 2022 mencerminkan dominasi elit dalam mengambil keputusan strategis, sekalipun keputusan itu mengorbankan prinsip fundamental negara, yakni kedaulatan atas wilayah udara.

    Teori Pengambilan Keputusan Graham Allison.

    Graham Allison melalui model pengambilan keputusan (Rational Actor Model, Organizational Process Model, dan Governmental Politics Model) menunjukkan bahwa keputusan negara sering kali tidak rasional secara murni, melainkan dipengaruhi oleh Conflict of Interests, kepentingan institusional dan kompromi antar-aktor dalam birokrasi. Jika ditinjau dari model Allison, keputusan pendelegasian FIR kepada Singapura lebih mencerminkan hasil kompromi birokrasi dan diplomasi antar-elit daripada keputusan rasional untuk memperkuat kedaulatan. Dengan kata lain, Indonesia tidak benar-benar bertindak sebagai rational actor yang mengutamakan kepentingan nasional, melainkan terjebak dalam tarik-menarik kepentingan antar-lembaga, baik domestik maupun internasional. Hasil akhirnya adalah keputusan yang secara substansi melemahkan kedaulatan negara.

    Perspektif Hukum Udara dalam Analisis Prof. Pablo dan Prof. Atip

    Prof. Pablo Mendes de Leon menekankan bahwa kedaulatan udara ditegaskan dalam hukum internasional sebagai complete dan exclusive. Reliance on sovereignty, menurut Pablo, merupakan alat hukum yang berfungsi untuk menjaga ruang udara nasional tetap berada di bawah otoritas negara, khususnya dalam konteks pertahanan dan keamanan. Pendelegasian sebagian wilayah udara kepada negara lain, dengan demikian, melemahkan alat hukum itu sendiri.  Prof. Atip Latipulhayat memperdalam analisis ini dengan merumuskan tiga pilar kedaulatan udara yakni control of the air, use of airspace, dan law enforcement. Jika salah satu pilar saja tidak dapat dijalankan oleh negara, maka kedaulatan udara menjadi timpang. Dalam kasus FIR, Indonesia tidak sepenuhnya dapat melakukan kontrol udara, tidak memiliki otoritas penuh dalam penggunaan ruang udara, dan bahkan terbatas dalam upaya menegakkan hukum. Ini berarti kedaulatan udara Indonesia belum sepenuhnya terwujud.

    Dari ketiga kerangka teori, Bodin, Mills, dan Allison serta analisis hukum udara dari Prof. Pablo dan Prof. Atip, jelas bahwa pendelegasian wilayah udara kepada negara lain tidak dapat dibenarkan. Dalam logika Bodin, pendelegasian merusak sifat absolut kedaulatan. Dalam analisis Mills, keputusan ini lahir dari dominasi elit, bukan aspirasi rakyat. Sementara menurut Allison, keputusan tersebut lebih mencerminkan kompromi birokrasi dibanding untuk kepentingan rasional bangsa. 

    Dalam konteks adanya Conflict of interests, tarik menarik kepentingan dalam lingkar kekuasaan dan antar Elit sangat jelas terlihat dari dua hal yang menonjol.  Pertama adalah proses awal perundingan tentang FIR di laksanakan dibawah koordinasi Kemnko Marves, sebuah institusi yang tidak ada hubungannya dengan tata kelola wilayah udara nasional.  Dalam hal ini sebenarnya institusi yang memiliki kompetensi adalah Kemhan RI dan Kementrian Perhubungan.   Berikutnya lagi adalah realitanya perundingan tentang FIR dengan Singapura dikaitkan dengan 2 topik lain yang berbeda yaitu tentang perjanjian ekstradisi dan DCA (Defense Cooperation Agreement).  Sebuah arena pergulatan kepentingan dan power struggle antara Singapura dan Indonesia  serta antara Elit Indonesia sendiri.

    Akhirnya, dengan tidak terpenuhi tiga pilar kedaulatan udara, control of the air, use of airspace, dan law enforcement  dalam kasus maka Indonesia pada hakikatnya masih belum sepenuhnya dapat dikatakan sebagai negara merdeka.  Data dan fakta, sebagian wilayah udara teritorial RI  masih berada di bawah kontrol negara lain. Padahal, konstitusi Indonesia sendiri telah secara jelas menyatakan bahwa seluruh sumber daya alam, termasuk ruang udara, harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

    Jakarta 24 September 2025

    Chappy Hakim  Pusat Studi Air Power Indonesia

    Disusun, dirangkum dari berbagai sumber dan AI

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleMunculnya Drone Laut yang canggih Insiden Rusia–Ukraina dan Arah Baru Peperangan Maritim
    Next Article Critiquing the Delegation of Indonesia’s Sovereign Airspace
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Dinamika Penggunaan Nuklir di Ambang Potensi Perang Dunia III

    10/06/2025
    Article

    Kunjungan Dinas Psikologi Angkatan Udara ke Pusat Studi Air Power Indonesia

    10/06/2025
    Article

    Global Disorder dan Bayangan Perang Dunia Ketiga

    10/06/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.