Soft Power Indonesia
Oleh: Chappy Hakim
Di era ketika senjata dan kekuatan ekonomi tak lagi menjadi satu-satunya ukuran kebesaran sebuah negara, pengaruh kultural justru memainkan peran yang semakin menentukan. Dunia kini menyaksikan kebangkitan soft power kekuatan lunak yang memikat bukan dengan ancaman, tetapi dengan daya tarik nilai, kebudayaan, dan cara hidup. Negara-negara besar tak lagi cukup hanya menampilkan otot militer atau dompet investasi mereka, melainkan berlomba menyebarkan cerita, musik, bahasa, dan keindahan pikirannya ke penjuru dunia.
Bisa disaksikan bagaimana Goethe-Institut dari Jerman menyebar ke lebih dari 90 negara sejak 1951, mempromosikan bahasa dan budaya dengan pendekatan humanistik khas Eropa Tengah. British Council menjadi wajah ramah Inggris Raya sejak 1934, menanamkan pengaruh nilai liberal dan mutu pendidikan tinggi. Confucius Institute, dengan dukungan penuh dari pemerintah Tiongkok, menembus berbagai kampus di dunia demi menyebarkan budaya Tionghoa dan bahasa Mandarin. Di Prancis, Institut Français hadir dengan daya tarik seni, kuliner, dan sastra sebagai ekspresi kecanggihan peradaban. Bahkan Amerika Serikat membangun @america di Jakarta sebagai pusat budaya digital yang menyasar generasi muda Indonesia.
Semua itu bukan sekadar upaya memperkenalkan negara, tetapi strategi panjang membangun citra, mempengaruhi opini, dan membuka jalan bagi pengaruh politik dan ekonomi yang lebih luas. Dalam konteks inilah, kita harus bertanya dengan jujur: di mana Indonesia berada dalam peta diplomasi budaya dunia?
Indonesia: Kaya Budaya, Minim Representasi
Indonesia bukan bangsa kecil. Kita negara besar dengan kekayaan budaya tak tertandingi. Dari Sabang sampai Merauke, ratusan etnis, ribuan pulau, ratusan bahasa daerah, dan keberagaman religius hidup berdampingan dalam kerangka Pancasila. Kita memiliki Islam moderat yang tumbuh dari rahim peradaban Nusantara, yang damai dan toleran, bukan ekspor konflik atau ideologi kekerasan. Namun kekayaan ini belum menjadi kekuatan yang dikelola secara strategis di panggung global. Saat negara lain hadir dengan institusi budaya permanen yang terstruktur di luar negeri, Indonesia masih mengandalkan festival tahunan, pameran temporer, atau pertunjukan kesenian ad hoc yang hilang gaungnya setelah selesai digelar. Tak ada pusat budaya Indonesia di Paris, Tokyo, atau New York. Bahkan di Kuala Lumpur atau Singapura pun kita nyaris absen. Padahal, ini bukan soal prestise, melainkan soal visi dan peran Indonesia dalam dunia yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Membangun “Nusantara Cultural Center”
Sudah waktunya Indonesia mengambil langkah strategis dengan mendirikan lembaga budaya nasional yang permanen di luar negeri. Sebut saja, misalnya, Nusantara Cultural Center atau Bhinneka Institute, yang dapat dikelola sebagai badan hukum nirlaba di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lembaga ini akan menjadi wajah Indonesia yang ramah, majemuk, dan berkarakter di berbagai belahan dunia. Fungsi utamanya mencakup penyelenggaraan kursus Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA), pameran seni dan budaya, pertunjukan musik dan tari tradisional, dialog lintas agama, seminar tentang Islam Nusantara, hingga pusat informasi dan perpustakaan budaya Indonesia. Tak kalah penting, lembaga ini bisa menjadi tempat bertemunya diaspora Indonesia, pelajar, dan warga lokal dalam dialog budaya yang saling memperkaya.
Lokasi tahap awal bisa dimulai dari negara-negara prioritas: Malaysia, Singapura, Thailand di kawasan ASEAN; Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok di Asia Timur; Belanda, Jerman, dan Prancis di Eropa; serta Amerika Serikat dan Australia. Pendanaannya bisa berasal dari kombinasi APBN melalui Kemlu dan Kemendikbud, kerja sama dengan BUMN dan sektor swasta, serta kontribusi aktif diaspora Indonesia yang selama ini belum sepenuhnya dioptimalkan sebagai agen diplomasi kultural.
Keuntungan Strategis
Manfaat dari kehadiran lembaga budaya nasional di luar negeri tidak semata simbolis. Ia akan memperkuat reputasi Indonesia sebagai negara beradab, toleran, dan terbuka. Ia menjadi instrumen diplomasi publik yang menjangkau hati masyarakat dunia. Ia juga membuka pintu bagi promosi pariwisata, industri kreatif, pendidikan tinggi, bahkan ekspor produk lokal. Lebih jauh, di tengah kompetisi geopolitik global, kehadiran lembaga budaya dapat menjadi benteng narasi. Daripada Indonesia hanya menjadi objek penetrasi budaya asing, lebih baik kita berdiri sebagai subjek yang membawa cerita kita sendiri cerita tentang kebhinnekaan, keteguhan nilai lokal, dan kekuatan moral yang tak lekang oleh zaman.
Demikianlah, maka diplomasi budaya bukan soal seremonial. Ia adalah strategi jangka panjang. Negara-negara yang memahami pentingnya pengaruh non-militer telah membuktikan bahwa reputasi global tidak dibangun dengan kekuatan senjata, tetapi dengan kekuatan cerita dan nilai. Indonesia, yang memiliki segalanya untuk tampil memikat, hanya tinggal satu langkah lagi berani dan percaya diri membangun lembaga budaya permanen di luar negeri. Jika negara-negara lain membangun pusat budaya dengan semangat menyebarkan nilai mereka, maka Indonesia dengan kekayaan budaya luar biasa dan falsafah hidup yang agung bahkan jauh lebih pantas untuk melakukannya.
“Kita tak perlu meniru negara lain, tapi kita bisa belajar bagaimana mereka membangun pengaruh. Indonesia punya modal besar. Tinggal kemauan dan percaya diri serta keberanian politik untuk mengubah potensi menjadi strategi.” (Chappy Hakim)
Jakarta, 14 Juli 2025
Pusat Studi Air Power Indonesia