Buku berjudul Peradaban Rambut Nusantara karya Oky Andries dan Fatsi Anzani merupakan sebuah karya yang lahir dari rasa ingin tahu sekaligus kepedulian terhadap jejak budaya yang sering kali luput dari perhatian. Rambut, yang sehari-hari kita anggap sekadar bagian tubuh atau elemen estetika, ternyata menyimpan kisah panjang peradaban, tradisi, dan identitas. Dengan cermat, kedua penulis ini berusaha mengurai sejarah pangkas rambut di Indonesia, bukan hanya sebagai praktik perawatan tubuh, melainkan juga sebagai refleksi perjalanan sosial, ekonomi, dan budaya bangsa.
Di tengah derasnya arus modernisasi, kehadiran buku ini seolah menjadi pengingat bahwa pangkas rambut bukan sekadar jasa komersial yang ditentukan tren gaya global, melainkan sebuah warisan peradaban yang dibentuk oleh interaksi etnis, kearifan lokal, serta nilai-nilai yang dijaga turun-temurun. Sejak halaman awal, pembaca diajak menyusuri lorong waktu yang menghadirkan kisah empat kelompok etnis yang dianggap sebagai pilar utama seni pangkas rambut di tanah air yakni Minang, Garut, Madura, dan Tionghoa. Masing-masing memiliki cerita, filosofi, dan teknik yang berbeda, namun semuanya memperlihatkan satu benang merah, yaitu daya tahan tradisi dalam menghadapi perubahan zaman.
Tradisi Minang, misalnya, tidak hanya memandang pangkas rambut sebagai praktik higienis, tetapi juga sarat makna sosial dan simbolis. Keberadaan tukang cukur di masyarakat Minang kerap dikaitkan dengan kehormatan, kerapian, dan penghormatan pada adat. Sementara itu, Garut melahirkan komunitas yang konsisten menjaga teknik mencukur rambut yang turun-temurun. Para tukang cukur di daerah ini bukan hanya pelaku ekonomi rakyat, melainkan juga pewaris keterampilan yang dibentuk oleh generasi sebelumnya. Dari Madura, kita melihat bagaimana tradisi cukur berkembang di tengah kehidupan masyarakat pesisir yang keras dan dinamis. Keahlian mereka menampilkan ketekunan, kesabaran, dan disiplin, kualitas yang menjadikan praktik tersebut tetap bertahan hingga kini. Sementara dari etnis Tionghoa, pangkas rambut membawa warna baru melalui perpaduan unsur budaya leluhur dan adaptasi terhadap masyarakat lokal. Kehadiran mereka menunjukkan bagaimana sebuah tradisi dapat bertransformasi, berbaur, dan juga sekaligus memperkaya keragaman Nusantara.
Buku ini bukan hanya sekadar catatan sejarah, tetapi juga refleksi mengenai bagaimana sebuah profesi yang terlihat sederhana dapat memainkan peran penting dalam menjaga kontinuitas budaya. Penulis dengan tekun melakukan penjelajahan ke berbagai daerah, merekam jejak-jejak yang hampir terlupakan, lalu menyusunnya kembali dalam bentuk narasi yang menyatukan sisi antropologis, sosial, dan historis. Mereka berhasil memperlihatkan bahwa dunia barbershop tradisional di Indonesia tidak kalah kaya dibandingkan dengan perkembangan barbershop modern yang kini marak berkembang di kota-kota besar.
Kekuatan buku ini juga terletak pada upaya menjembatani tradisi dan modernitas. Di satu sisi, kita diingatkan tentang filosofi lama yang melekat pada praktik pangkas rambut. Di sisi lain, penulis membuka ruang diskusi tentang bagaimana industri barbershop di masa kini dapat belajar dari nilai-nilai tradisi tersebut. Fatsi Anzani menekankan bahwa karya ini adalah langkah awal untuk memetakan perjalanan industri barbershop di masa depan, bukan hanya sebagai bisnis tetapi juga sebagai penjaga tradisi. Sementara Oky Andries menegaskan bahwa pangkas rambut harus dipandang lebih luas dari sekadar layanan jasa, karena di baliknya terdapat nilai, sejarah, dan kisah manusia yang patut dihargai.
Membaca buku ini terasa seperti melakukan perjalanan melintasi lorong waktu. Kita seakan dibawa ke sebuah warung pangkas rambut sederhana di sebuah sudut kampung, mendengar suara gunting yang ritmis, mencium aroma minyak rambut tradisional, dan menyaksikan bagaimana sebuah ruang kecil menjadi tempat berkumpulnya cerita, gosip, nasihat, bahkan keputusan-keputusan hidup. Pangkas rambut tradisional dalam perspektif penulis bukan hanya ruang potong rambut, tetapi juga arena sosial tempat relasi kemanusiaan tumbuh.
Nilai penting dari buku ini adalah kesadarannya untuk mendokumentasikan sesuatu yang sering diremehkan. Di era ketika semua orang berlomba mengikuti gaya rambut dari selebritas atau tren global, buku ini justru menghadirkan narasi tandingan yaitu bahwa rambut di Nusantara telah memiliki sejarahnya sendiri yang tak kalah berharga. Tradisi, jika tidak dirawat dan dituliskan, akan hilang ditelan arus zaman. Karena itu, buku ini tidak hanya menjadi bacaan, tetapi juga semacam arsip budaya yang menyimpan memori kolektif bangsa.
Bagi pembaca dari kalangan akademisi, khususnya mereka yang bergelut di bidang antropologi, sejarah, atau studi budaya, buku ini dapat menjadi sumber inspirasi yang kaya. Ia menampilkan potret kehidupan sehari-hari dengan sudut pandang yang jarang disentuh penelitian formal. Sementara bagi pelaku industri barbershop, karya ini adalah pengingat bahwa akar tradisi tidak boleh diputus begitu saja. Modernisasi boleh berjalan, gaya boleh berubah, tetapi nilai yang diwariskan leluhur seharusnya tetap menjadi fondasi. Bagi pembaca umum, buku ini adalah pintu masuk yang menyenangkan untuk melihat bagaimana hal sederhana yang ada di sekitar kita ternyata menyimpan kisah besar yang panjang tentang identitas dan kebudayaan.
Sebagai sebuah karya, Peradaban Rambut Nusantara patut disebut unik sekaligus penting. Ia tidak hadir sebagai bacaan populer yang ringan semata, tetapi sebagai karya yang mengandung kedalaman, dengan upaya serius untuk merekam, melestarikan, dan menafsirkan kembali tradisi. Justru karena kesederhanaan topiknya, buku ini menghadirkan daya tarik tersendiri. Ia mengajak kita berhenti sejenak, melihat ulang hal-hal yang selama ini terabaikan, dan menemukan makna besar dalam sesuatu yang tampak sepele.
Pada akhirnya, membaca buku ini sama halnya dengan bercermin pada wajah bangsa. Rambut, gunting, dan kursi pangkas mungkin tampak sederhana, tetapi di dalamnya terkandung filosofi, sejarah, dan nilai yang membentuk peradaban. Oky Andries dan Fatsi Anzani berhasil menghidupkan kembali kesadaran itu, sekaligus memberi pelajaran bahwa modernitas tidak boleh membuat kita kehilangan akar. Dengan gaya yang reflektif, mereka menunjukkan bahwa pangkas rambut bukan sekadar perawatan tubuh, melainkan juga cermin dari perjalanan dalam rentang waktu panjang dari budaya Nusantara.
Jakarta 27 Agustus 2025
Chappy Hakim