Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Kontroversi “Bencana Nasional” atau Bukan
    Article

    Kontroversi “Bencana Nasional” atau Bukan

    Chappy HakimBy Chappy Hakim12/15/2025No Comments5 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Setiap kali terjadi bencana besar seperti banjir yang menelan korban, kebakaran yang meluluhlantakkan permukiman, gempa yang memutus akses jalan dan listrik, pertanyaan yang segera muncul di ruang publik sering bukan hanya “berapa korban?” atau “apa kebutuhan paling mendesak?”, melainkan tentang apakah ini “bencana nasional” atau bukan? Di titik inilah sebuah istilah berubah menjadi panggung perdebatan. Sebab label “nasional” bukan sekadar kata sifat tetapi ia dianggap membawa konsekuensi moral, politik, dan administratif tentang perhatian negara, besaran sumber daya, dan simbol pengakuan bahwa penderitaan warga adalah urusan seluruh bangsa.  Namun, kontroversi itu sering terjadi karena publik memakai istilah “bencana nasional” dalam dua pengertian yang berbeda yang  keduanya bercampur di media, percakapan warganet, bahkan pernyataan pejabat.

    Dua wajah bencana nasional

    Dalam bahasa sehari-hari, “bencana nasional” kerap dipakai sebagai penegasan moral: bencana itu begitu besar, begitu tragis, sehingga pantas menjadi urusan nasional. Ini wajar. Masyarakat butuh bahasa untuk menamai skala duka.  Tetapi dalam tata kelola negara, istilah ini terkait dengan penetapan status/tingkatan bencana yang punya indikator dan otoritas. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 memberi wewenang pemerintah menetapkan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah, beserta indikatornya antara lain mengenai jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana/sarana, cakupan wilayah terdampak, serta dampak sosial-ekonomi.  Di sisi lain, UU yang sama juga mengatur penetapan status darurat bencana sesuai skala. Untuk skala nasional, penetapannya dilakukan oleh Presiden, sedangkan skala provinsi oleh gubernur dan kabupaten/kota oleh bupati/walikota.  Jadi, problemnya sering sederhana yaitu publik menuntut “nasional” sebagai pengakuan dan prioritas, sementara birokrasi membaca “nasional” sebagai status hukum-administratif yang harus melewati indikator, mekanisme, dan konsekuensi.

    Mengapa publik (sering) mendesak label “nasional”?

    Ada beberapa alasan yang berulang dari satu bencana ke bencana lain.  Pertama, rasa keadilan dan empati. Korban terutama bila banyak akan memandang label nasional sebagai tanda bahwa negara hadir sepenuhnya, bukan sekadar “turut prihatin”. Kedua, harapan percepatan bantuan. Banyak orang mengasosiasikan “bencana nasional” dengan pintu yang terbuka lebih lebar mengenai koordinasi lintas kementerian, pengerahan sumber daya, dan kucuran anggaran. Ketiga, perlindungan dari saling lempar tanggung jawab. Ketika terjadi kebingungan “ini urusan siapa”, label nasional dipersepsikan memotong keraguan: pusat harus memimpin.

    Harapan-harapan ini tidak selalu keliru. Dalam rezim UU 24/2007, ketika status keadaan darurat bencana ditetapkan, BNPB/BPBD memperoleh kemudahan akses yang mencakup pengerahan SDM, peralatan, logistik, urusan perizinan, hingga pengadaan barang/jasa dan unsur komando.  Di atas kertas, kemudahan akses ini memang dapat mempercepat respons dalam hal bila dijalankan dengan disiplin akuntabilitas.

    Mengapa pemerintah kadang “menahan” label itu?

    Dari sisi pemerintah, kehati-hatian biasanya berangkat dari beberapa pertimbangan. Pertama, konsekuensi tata kelola dan akuntabilitas. Penetapan status tertentu membuka ruang kebijakan cepat (misalnya kemudahan akses). Ini penting dalam situasi darurat, tetapi sekaligus menuntut standar transparansi dan pertanggungjawaban yang tinggi karena pengadaan, komando, dan mobilisasi sumber daya menjadi lebih “eksepsional”.   Kedua, prinsip subsidiaritas dan kapasitas daerah. Tidak semua bencana besar otomatis harus ditetapkan sebagai level nasional karena bisa saja provinsi/kabupaten masih mampu memimpin dengan dukungan pusat. UU 24/2007 sendiri menempatkan pemerintah dan pemerintah daerah sebagai penanggung jawab, dan pemerintah pusat berkewajiban mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana termasuk dana siap pakai atau artinya, dukungan pusat tidak harus menunggu satu label tunggal.  Ketiga, politik komunikasi. Ada kalanya pemerintah khawatir label nasional memunculkan kepanikan, stigma, atau ekspektasi kompensasi yang tidak realistis. Di ruang publik, “nasional” sering diterjemahkan sebagai “semua akan ditanggung pusat”, padahal pemulihan adalah proses panjang yang berupa rehabilitasi, rekonstruksi, dan pemulihan sosial-ekonomi. Keempat, adanya instrumen antara yang sering luput dari perdebatan. Perpres 17/2018 memperkenalkan konsep “Keadaan Tertentu” yakni kondisi ketika status darurat bencana belum ditetapkan atau sudah berakhir, tetapi masih diperlukan tindakan untuk mengurangi risiko dan dampak lebih luas. Dalam skema ini, penentuan status darurat tetap mengikuti tingkatan (nasional oleh Presiden, daerah oleh kepala daerah), namun negara punya perangkat untuk tetap bertindak agar respons tidak tersandera perdebatan status semata.

    Contoh: ketika “nasional” benar-benar ditetapkan

    Agar jelas, ada contoh ketika negara secara formal menetapkan bencana sebagai nasional, misalnya saat COVID-19 ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 sebagai bencana nonalam penyebaran COVID-19 “sebagai bencana nasional”. Contoh ini menunjukkan: label “nasional” memang sebuah keputusan resmi, bukan sekadar ungkapan.  Akar masalah sesungguhnya adalah kegagalan membedakan “status” dan “kebutuhan” Perdebatan “nasional atau bukan” sering menjadi bising karena yang dibicarakan adalah simbol, bukan kebutuhan. Padahal dalam penanganan bencana, yang paling menentukan adalah, seberapa cepat evakuasi dan penyelamatan dilakukan, apakah kebutuhan dasar terpenuhi, apakah akses logistik terbuka, apakah komando jelas, apakah data korban dan kerusakan akurat dan apakah pemulihan punya rencana dan pembiayaan.

    UU 24/2007 sudah memberi indikator untuk menetapkan status/tingkatan bencana. Persoalannya, indikator itu jarang diterjemahkan secara terbuka kepada publik dalam bentuk checklist yang mudah dipahami. Akibatnya, ruang tafsir diisi oleh emosi, kepentingan politik, dan “adu narasi”.  Jika perdebatan ini ingin dipadamkan (atau setidaknya dibuat sehat), ada tiga pergeseran yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah perlu mengomunikasikan perbedaan antara “bencana berskala besar” (bahasa empati) dan “penetapan tingkatan/status” (bahasa hukum). Indikatornya sudah ada; tinggal dipublikasikan bagaimana indikator itu dinilai pada sebuah kejadian.  Kedua, jangan jadikan label sebagai tujuan. Yang publik butuhkan adalah kepastian komando, kepastian layanan, dan kecepatan bantuan yang secara normatif bisa dikerjakan lewat berbagai mekanisme, termasuk dukungan anggaran pusat dan perangkat “Keadaan Tertentu” ketika diperlukan.  Ketiga, bangun standar akuntabilitas yang sebanding dengan kemudahan akses. Karena saat status darurat ditetapkan, ada kemudahan akses yang luas (termasuk pengadaan dan komando). Transparansi data, audit real time, dan pelibatan publik bukan tambahan kosmetik—melainkan syarat agar “kecepatan” tidak berubah menjadi “celah”.

    Pada akhirnya, korban bencana tidak pernah bertanya apakah penderitaannya “nasional” atau “lokal”. Yang mereka butuhkan adalah satu hal yang lebih konkret seperti  negara bekerjacepat, tepat, dan bertanggung jawab. Dan justru karena itu, perdebatan istilah seharusnya menjadi pintu untuk memperbaiki tata kelola, bukan alasan untuk menunda pertolongan.

    Top of Form

    Bottom of Form

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleRefleksi Akhir Tahun Industri Penerbangan Indonesia (2025) Belum Benar-benar Sehat
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Refleksi Akhir Tahun Industri Penerbangan Indonesia (2025) Belum Benar-benar Sehat

    12/15/2025
    Article

    Kebakaran dan Kebakaran Lagi

    12/11/2025
    Article

    UU Pengelolaan Ruang Udara dan Dewan Penerbangan

    12/11/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.