Jejak Panjang Untung, Rugi, dan Implikasinya bagi Republik
Dalam sejarah bangsa Indonesia, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag dari bulan Agustus hingga November 1949 tercatat sebagai momen diplomatik paling menentukan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di tengah tekanan perang fisik dan konflik bersenjata yang menguras energi bangsa, KMB hadir sebagai titik temu antara kekuatan rakyat yang mendesak pengakuan kedaulatan dan kepentingan kolonial Belanda yang masih berusaha mempertahankan pengaruhnya di tanah bekas jajahannya.
Dalam suasana genting itu, delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Mohammad Hatta tampil sebagai aktor utama dalam medan diplomasi internasional. Hasilnya, Belanda secara formal mengakui kedaulatan Indonesia, meskipun dalam bentuk yang tidak utuh yakni Republik Indonesia Serikat (RIS). Keputusan itu pada dasarnya merupakan kemenangan politik di atas meja perundingan, sekaligus mengakhiri secara resmi agresi militer Belanda yang kedua. Dunia internasional pun mulai membuka pintu terhadap pengakuan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Akan tetapi di balik catatan-catatan kemenangan itu, KMB juga menyisakan sejumlah persoalan yang hingga kini masih menggantung dalam lembar sejarah kita. Bentuk negara serikat yang disepakati dalam perundingan adalah hasil kompromi yang lebih mencerminkan kepentingan pecah-belah Belanda ketimbang semangat nasionalisme Indonesia. Pemerintah federal yang dibentuk dengan entitas-entitas negara boneka ciptaan Belanda telah menimbulkan ketegangan internal dan keresahan politik di berbagai wilayah nusantara. Tidak lama berselang, pada 17 Agustus 1950, bangsa ini dengan cepat menghapus format negara serikat dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu warisan paling menyakitkan dari KMB adalah soal Papua atau Irian Barat. Dalam perjanjian itu, Belanda bersikeras mempertahankan wilayah tersebut dan menunda penyelesaiannya setahun ke depan melalui jalur diplomatik. Penundaan itu nyatanya berubah menjadi konflik berkepanjangan yang memuncak dalam operasi militer dan konfrontasi diplomatik. Baru pada tahun 1963 wilayah tersebut kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi melalui proses politik yang hingga kini masih menjadi bahan perdebatan di forum internasional. Papua menjadi luka sejarah yang tidak kunjung atau belum sepenuhnya sembuh, yang akar persoalannya bisa ditelusuri ke meja perundingan KMB.
Tak hanya soal politik dan wilayah, Indonesia juga diwarisi beban ekonomi yang memberatkan. Salah satu butir dalam hasil KMB menyebutkan bahwa Indonesia harus menanggung utang warisan Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden. Angka yang besar untuk sebuah negara yang baru saja keluar dari perang. Bagi sebagian kalangan, ketentuan ini adalah bentuk kolonialisme dalam rupa baru karena Indonesia dipaksa membayar utang yang digunakan Belanda untuk menjajah dirinya sendiri. Beban finansial itu menjadi beban moral dan fiskal yang menekan ekonomi nasional di tahun-tahun awal kemerdekaan.
Lebih jauh lagi, KMB juga mewariskan pola dominasi struktural yang tidak langsung. Banyak sektor strategis seperti perkebunan, pertambangan, perbankan, bahkan sistem navigasi penerbangan, masih berada di bawah kontrol Belanda dan pihak asing. Salah satu contohnya adalah pengaturan ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna yang didelegasikan kepada Singapura atas dasar kesepakatan lama warisan kolonial. Ini menjadi masalah strategis yang baru dibuka ke ruang publik secara serius di dekade-dekade terakhir, terutama ketika kesadaran kedaulatan nasional khususnya kedaulatan negara di udara mulai tumbuh kuat di tengah meningkatgnya ancaman globalisasi dan ketergantungan teknologis.
Meski demikian, tidak dapat disangkal bahwa KMB telah membuka jalan bagi pengakuan dunia terhadap eksistensi Indonesia sebagai bangsa merdeka. Ia menjadi awal dari tradisi diplomasi Indonesia yang tangguh, cermat, dan berprinsip bebas aktif. Para diplomat kita dari generasi awal seperti Hatta, Subandrio, Ali Sastroamidjojo telah meletakkan fondasi peran Indonesia dalam percaturan internasional. KMB juga mengajarkan kepada kita bahwa kemerdekaan tidak serta merta sempurna dalam sekali negosiasi. Perjuangan untuk berdaulat sepenuhnya, baik secara politik, ekonomi, pertahanan, dan budaya, memerlukan proses panjang dan konsistensi sejarah. Hingga hari ini, warisan KMB masih terasa. Beberapa isu strategis, seperti Papua, penguasaan sumber daya alam, hingga pengaturan ruang udara, adalah ekor panjang dari kompromi-kompromi yang terjadi pada tahun 1949. Sejarah tidak dapat dibatalkan, tetapi dari sejarah itulah kita bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Konferensi Meja Bundar adalah saksi bahwa dalam politik internasional, pengakuan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan pintu masuk ke medan tempur baru yang lebih rumit yakni mempertahankan, memperkuat, dan menyempurnakan kedaulatan sejati dalam seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bagian dari tindak lanjut KMB, Belanda menyerahkan ratusan pesawat terbang yang menjadi cikal bakal armada awal Garuda Indonesia serta memperkuat inventaris alutsista Angkatan Udara. Selain itu, sejumlah kapal laut yang sebelumnya dioperasikan oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) diserahkan dan diintegrasikan ke dalam sistem pelayaran nasional, yang kemudian berkembang menjadi cikal bakal perusahaan pelayaran Pelni. Fasilitas dan sarana transportasi tersebut menjadi bekal awal bagi Indonesia untuk membangun sistem mobilitas nasional di darat, laut, dan udara sebagai penopang kedaulatan teritorial yang sejati.
Referensi:
- Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press, 2008.
- Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Equinox Publishing, 2007.
- Kahin, George McTurnan. Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press, 1952.
- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Naskah Akademik Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2015.
- Chappy Hakim. FIR di atas Kepulauan Riau – Wilayah Udara Kedaulatan NKRI. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2019.
- Simanjuntak, P.N.H. Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi. Djambatan, 2003.
- Badan Arsip Nasional RI. Risalah Konferensi Meja Bundar 1949. Arsip Nasional Republik Indonesia, 1999.
- Pelni.co.id dan garuda-indonesia.com – Sejarah Pendirian dan Aset Awal.
Jakarta 27 Juli 2025
Chappy Hakim – Pusat studi Air Power Indonesia