Antara “Probable Cause” dan “Undetermined”
Kontroversi terbesar dari kecelakaan SilkAir 185 bukan hanya soal bagaimana sebuah Boeing 737 yang sedang terbang normal di ketinggian jelajah tiba-tiba menghunjam vertikal ke Sungai Musi, tetapi juga bagaimana dua lembaga investigasi bergengsi , Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Indonesia dan National Transportation Safety Board (NTSB) Amerika Serikat sampai pada kesimpulan yang berbeda secara tajam. Di satu sisi, NTSB dengan cukup tegas menyatakan bahwa bukti yang ada paling konsisten dengan tindakan sengaja mengarahkan pesawat jatuh, kemungkinan besar oleh kapten pilot yang bunuh diri. Di sisi lain, KNKT di bawah pimpinan Prof. Dr. Oetarjo Diran justru menyatakan bahwa penyebab kecelakaan tidak dapat ditentukan, sebuah posisi yang kemudian menjadi sumber perdebatan panjang dan diangkat berulang-ulang dalam tayangan dokumenter seperti yang disiarkan National Geographic dan Air Crash Investigation. Tayangan-tayangan itu membentuk persepsi publik seolah kasus ini “sebenarnya sudah jelas yakni pilot bunuh diri”, sementara di tingkat resmi Indonesia, laporan tetap berhenti pada kesimpulan “undetermined”.
Secara formal, investigasi SilkAir 185 memang dipimpin oleh KNKT, dengan dukungan teknis dari NTSB, otoritas Singapura, Australia, dan beberapa pihak lain yang terkahit. Sebagian besar struktur pesawat berhasil diangkat dari dasar Sungai Musi dan Black Box, dua perekam data penerbangan Cockpit Voice Recorder (CVR) dan Flight Data Recorder (FDR) berhasil ditemukan dan dianalisis. Menariknya, KNKT dan NTSB berangkat dari bahan baku teknis yang sama. CVR berhenti merekam sekitar enam menit sebelum pesawat jatuh, tepat setelah kapten meninggalkan kokpit. FDR berhenti merekam sekitar satu menit sebelum pesawat memasuki penurunan yang sangat curam. Uji laboratorium tidak menemukan bukti adanya gangguan listrik total yang bisa menjelaskan berhentinya kedua perekam. Cara berhentinya perekaman juga tidak cocok dengan skenario gangguan listrik spontan dengan pola yang muncul lebih dekat pada pemutusan manual. Di sisi lain, data radar serta simulasi menunjukkan profil penurunan yang sangat ekstrem, dengan konfigurasi trim dan stabilizer mengarahkan hidung pesawat yang sepenuhnya diturunkan. Secara aerodinamika, profil ini hampir mustahil terjadi tanpa adanya input manual yang terus-menerus mengarahkan pesawat ke bawah
Dalam berbagai diskusi teknis internal, para penyidik , termasuk dari Indonesia , pada mulanya bahkan sempat sampai pada titik di mana skenario aksi disengaja dari kokpit diterima sebagai penjelasan teknis yang paling mungkin. Draft awal laporan teknis disebut-sebut sejalan dengan kesimpulan NTSB bahwa kecelakaan sangat mungkin disebabkan oleh tindakan pilot. Di sinilah sosok Prof. Diran masuk dan mengambil posisi berbeda. Sebagai ketua KNKT dan akademisi teknik penerbangan yang sangat dikenal kredibilitas personalnya, ia menolak menjadikan hipotesis tersebut sebagai kesimpulan resmi. Draft yang menyebut aksi pilot sebagai penyebab paling mungkin ia koreksi, dan final report KNKT justru menyatakan bahwa penyebab kecelakaan tidak dapat ditentukan. NTSB sendiri berdiri di atas tradisi metodologis “most probable cause”: tugas sebuah lembaga investigasi keselamatan adalah menemukan penyebab yang paling mungkin, demi perbaikan sistem, bukan membuktikan kesalahan seseorang “di luar keraguan yang wajar” seperti di pengadilan pidana. Dalam surat resmi kepada Prof. Diran, Ketua NTSB Jim Hall menegaskan bahwa profil penurunan SilkAir 185 hanya bisa dijelaskan oleh input manual nose-down yang berkelanjutan, dan bahwa bukti paling konsisten menunjukkan tindakan sengaja dari kokpit, kemungkinan oleh kapten. Mereka menilai, laporan KNKT versi Indonesia tidak memberikan penjelasan alternatif yang teknis dan memadai mengenai bagaimana pesawat yang awalnya terbang stabil dapat berubah menjadi dive hampir vertikal dalam waktu yang sangat singkat. Bagi NTSB, semua skenario lain seperri ledakan, kerusakan struktur, kebakaran, gangguan mesin atau rudder hard-over telah diuji dan tidak cocok dengan pola data. Dengan demikian, aksi disengaja dianggap sebagai satu-satunya penjelasan yang paling kuat, meskipun tetap tanpa bukti “keras” berupa rekaman kata-kata terakhir, surat wasiat, atau saksi hidup.
Sebaliknya, Prof. Diran mengajukan kriteria yang lebih ketat. Dalam sejumlah wawancara, ia menyatakan bahwa hipotesis bunuh diri pilot memang “masuk akal”, tetapi hanya sampai batas tertentu dan tidak didukung cukup bukti konkret untuk dijadikan kesimpulan resmi negara. Dalam kacamata Diran, tugas dari proses investigasi adalah menarik kesimpulan berdasarkan bukti nyata, bukan hanya inferensi yang disusun dari potongan-potongan indikasi. Ketiadaan bukti langsung, tidak adanya rekaman detik-detik terakhir, tidak adanya pernyataan atau catatan yang mengindikasikan niat bunuh diri, serta kondisi pesawat yang hancur total telah membuatnya berpendapat bahwa hipotesis pilot suicide tidak layak ditetapkan sebagai final result. Ia juga menyinggung dimensi etis, menempelkan label “pembunuhan massal” kepada seorang kapten yang sudah meninggal dunia tanpa bukti langsung adalah tindakan yang sangat berat secara moral.
Karena itu semua maka, Prof. Diran memilih jalan yang berbeda. Ia menolak menjadikan teori bunuh diri pilot sebagai kesimpulan resmi, mengubah draft awal yang cenderung sejalan dengan pandangan NTSB, dan menerbitkan laporan akhir KNKT yang menyatakan penyebab kecelakaan tidak dapat ditentukan. Namun, ia tidak menutup pandangan pihak lain. Komentar dan ketidaksetujuan NTSB dilampirkan utuh sebagai bagian dari laporan, dan Diran secara terbuka mengatakan bahwa wajar jika orang yang melihat data yang sama bisa sampai pada kesimpulan yang berbeda. Di sini terlihat bahwa bagi Diran, “final result” identik dengan kepastian tinggi yang didukung bukti langsung. Sementara bagi NTSB, “final result” adalah penyebab yang paling mungkin berdasarkan seluruh bukti tersedia, meski tetap mengandung ketidakpastian. Perbedaan filosofi ini tidak berjalan di ruang hampa. Ia muncul di tengah tekanan politik dan ekonomi, sensitivitas hubungan Indonesia–Singapura, kebutuhan keluarga korban akan kepastian, dan sorotan media internasional. Tuduhan pilot suicide memiliki implikasi reputasi dan finansial yang sangat besar bagi maskapai dan negara. Di sisi lain, sejumlah keluarga korban justru mengharapkan pengakuan resmi atas hipotesis itu, dengan harapan dapat mendorong perbaikan sistem global penguatan screening psikologis pilot, peningkatan pengawasan di kokpit, dan sebagainya. Dalam suasana seperti ini, media massa internasional, seperti biasa banyak mengutip pandangan NTSB dan pakar-pakar Barat, sementara posisi KNKT menjadi sering digambarkan sebagai “enggan menghadapi kenyataan”.
Ketika kisah ini masuk ke ruang televisi, nuansanya semakin menyempit. Program seperti Air Crash Investigation (episode “Pushed to the Limit” atau “Pilot Under Pressure”) dan dokumenter National Geographic SilkAir 185, Pilot Suicide? dirancang untuk bercerita, bukan untuk mengurai filsafat pembuktian. Narasi dramatis tentang seorang pilot yang diam-diam mematikan black box, mengeluarkan kopilot, lalu menjatuhkan pesawat, jauh lebih kuat secara dramaturgi dibandingkan sebuah kesimpulan resmi yang berbunyi “penyebab tidak dapat ditentukan”. Akibatnya, di mata publik global, posisi NTSB menjadi semacam kebenaran de facto, sementara sikap KNKT dan Prof. Diran yang lebih agnostik tampak seperti upaya “menolak kenyataan”, padahal yang dipersoalkan sebenarnya adalah standar tingkat kepastian yang layak untuk dijadikan kesimpulan final, tanpa diikuti interest apapun. Pada inti sikap Prof. Diran sesungguhnya terdapat klaim bahwa dalam kecelakaan dengan total loss, ketika pesawat hancur total dan tidak ada korban selamat, sering kali final result yang jujur justru adalah pengakuan “kita tidak tahu secara pasti”. Semua indikasi teknis boleh jadi mengarah pada satu hipotesis kuat, tetapi bila tidak ada bukti langsung yang mengikat hipotesis tersebut kepada tindakan seseorang, maka hipotesis itu tidak boleh diangkat menjadi vonis resmi. Dalam Hal ini Prof Diran, dengan lapang dada bersedia menanggung kritik teknis, tekanan politik, dan kekecewaan sebagian keluarga demi mempertahankan prinsip bahwa laporan investigasi bukan dokumen hukum yang boleh seenaknya memvonis moral seseorang tanpa dasar bukti yang memadai. Sebaliknya, dari sudut pandang NTSB dan sebagian komunitas keselamatan penerbangan internasional, sikap tersebut dinilai terlalu legalistik, kurang pragmatis, dan berisiko mengurangi daya guna laporan itu untuk tujuan utama: mencegah kecelakaan serupa di masa depan melalui identifikasi probable cause, meskipun tanpa kepastian absolut.
Kasus SilkAir 185 dan perbedaan tajam antara KNKT (Prof. Diran) dan NTSB pada akhirnya mengajarkan bahwa investigasi kecelakaan bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga persoalan filsafat ilmu dan etika. Di satu sisi ada kebutuhan praktis untuk mengatakan “inilah penyebab paling mungkin” agar ada pijakan perbaikan. Di sisi lain ada kehati-hatian moral untuk tidak menempelkan label yang sangat berat kepada seorang individu tanpa bukti langsung yang tak terbantahkan. Di tengah gugurnya 104 nyawa, pertanyaannya kembali ke hal yang sangat mendasar tentang sejauh mana manusia boleh merasa pasti atas sesuatu yang terjadi dalam hitungan detik di langit, ketika semua saksi sudah tiada dan pesawat hancur berkeping-keping di dalam sungai?
Menariknya, perdebatan ini kemudian “diabadikan” dalam bentuk film dokumenter. Sejumlah produksi televisi internasional terutama dokumenter National Geographic SilkAir 185: Pilot Suicide? dan episode Air Crash Investigation tentang kasus ini memilih untuk merangkai narasi yang secara implisit, bahkan kadang eksplisit, membenarkan skenario pilot bunuh diri. Di dalamnya, dugaan motif finansial kapten mulai dari catatan kerugian besar dalam transaksi saham, utang kartu kredit, hingga tekanan ekonomi keluarga disusun sebagai rangkaian cerita yang mengarah pada kesimpulan bahwa sang kapten sengaja mengakhiri hidupnya bersama seluruh penumpang. Bahwa di sisi lain penyelidikan resmi Indonesia menyatakan tidak ditemukan bukti konkret yang menguatkan tuduhan tersebut, dan bahkan penyelidikan kepolisian Singapura menyebut tidak ada indikasi kecenderungan bunuh diri, jarang mendapat ruang yang seimbang dalam bahasa visual film. Di sinilah kontras antara dunia penyelidikan yang berhati-hati dan dunia sinema yang membutuhkan “kisah yang selesai” menjadi sangat terasa, film memuaskan hasrat publik akan kepastian dengan menggambarkan pilot bunuh diri karena utang, sementara Prof. Diran justru memilih berdiri pada posisi yang lebih sunyi , namun mempertahankan hak ilmiah untuk berkata, “sampai di sini, kita memang belum tahu secara pasti.”
(Disusun dari kumpulan informasi pada berbagai sumber)
Jakarta 22 November 2025
Chappy Hakim , Pusat Studi Air Power Indonesia

