Oleh: Chappy Hakim
Dalam banyak forum, baik di dunia militer, politik, maupun masyarakat sipil, saya kerap ditanya satu pertanyaan sederhana: “Apa syarat utama menjadi pemimpin?” Jawaban saya selalu sama—integritas. Dan integritas itu, pada dasarnya, adalah keberanian untuk bertanggung jawab, berkata jujur, dan menepati janji dan tepat waktu. Sayangnya, nilai-nilai itu makin langka di tengah kehidupan publik kita. Bahkan lebih tragis lagi, justru banyak yang secara biologis dewasa, namun secara mental dan karakter masih kanak-kanak.
Sebuah infografik menarik berjudul “15 Signs of a Weak Man” beredar luas di media sosial. Saya tertarik bukan karena desainnya, tetapi karena maknanya. Terutama lima poin terakhir, yang—kalau kita jujur—sangat relevan dengan realitas masyarakat kita di Indonesia hari ini.
Tidak Bertanggung Jawab atas Perbuatannya
Di Indonesia, budaya “lempar batu sembunyi tangan” sudah seperti penyakit kronis. Banyak orang cepat menyalahkan “sistem”, “pemerintah pusat”, “orang dalam”, bahkan cuaca, tapi sangat lamban mengakui kesalahan pribadi. Dalam dunia penerbangan, sikap seperti ini sangat berbahaya. Ketika seorang pilot salah membaca instrumen lalu menabrak batas limitasi, ia tidak bisa menyalahkan gunung. Begitu juga dalam kepemimpinan: jika seorang pemimpin tidak bisa berkata “Saya yang bertanggung jawab”, maka dia tidak sedang memimpin—dia sedang bersembunyi.
Rendah Diri dan Kurang Percaya Diri
Orang Indonesia sering disalahpahami sebagai “rendah hati”, padahal banyak dari kita sebenarnya insecure. Ini bukan kerendahan hati yang mulia, tapi keraguan diri yang membahayakan. Akibatnya? Kita canggung mengambil keputusan, takut berbicara, dan gemar “mencari aman”. Orang yang lemah seperti ini tidak akan pernah berani mengatakan pendapatnya dalam rapat, apalagi membela prinsip. Padahal pemimpin yang kuat justru berani berdiri sendiri, bahkan jika itu berarti berbeda dengan mayoritas.
Sering Mengeluh dan Penuh Alasan
Kebiasaan mengeluh sudah menjadi bagian dari budaya kita. Di warung kopi, grup WhatsApp, hingga kantor pemerintah, keluhan seolah menjadi “lagu kebangsaan”. Orang yang lemah selalu punya alasan: jalanan macet, bos tidak adil, rezeki belum datang. Tapi tidak pernah ada kata: “Saya harus memperbaiki diri.” Dalam dunia militer, keluhan hanya boleh keluar setelah tugas selesai. Di situlah karakter dibentuk, bukan dari kenyamanan, tapi dari komitmen menyelesaikan apa yang telah dimulai. Orang harus berorientasi Can do oriented sekaligus tidak berusaha merubah orang lain dalam upaya menyesuaikan diri tapi senantiasa mencoba merubah diri sendiri untuk menyesuaikan lingkungan kerja, dengan catatan tidak keluar dari prinsip pendirian yang kokoh atas kebenaran hati nurani.
Janji Palsu dan Ucapan Kosong
Dalam politik Indonesia, “janji manis” sudah menjadi komoditas murah. Dari kampanye hingga rapat RT, kita terlalu sering mendengar kalimat “nanti saya urus”, yang kemudian hilang begitu saja. Lelaki sejati tidak bicara banyak, tapi ucapannya mengandung nilai. Dalam angkatan udara, seorang perwira tidak diukur dari seberapa sering ia berbicara, tapi dari seberapa ia menepati kata-katanya. “Janji adalah kehormatan,” kata seorang Marsekal super senior kepada saya dahulu, “dan jika engkau tidak bisa menepatinya, lebih baik diam.”
Tatapan Kosong, Jabat Tangan Loyo, dan Diam Saat Harus Bersikap
Bahasa tubuh tak bisa berbohong. Tatapan mata yang lemah, jabat tangan yang tak bertenaga, serta sikap diam ketika nilai-nilai dilanggar—itulah pertanda seseorang telah kehilangan arah. Banyak dari kita enggan bicara ketika melihat ketidakadilan, karena takut dikucilkan. Tapi lelaki sejati tidak diam saat kebenaran diinjak. Ia tahu bahwa berdiri di sisi yang benar, meskipun sendirian, jauh lebih terhormat daripada diam di tengah kebatilan yang ramai.
Kepemimpinan Dimulai dari Karakter
Menjadi seseorang sejatinya bukanlah tentang memiliki jabatan tinggi, pengikut banyak, atau suara keras. Menjadi seseorang adalah soal membangun karakter, berani jujur pada diri sendiri, dan mampu memikul beban tanggung jawab. Negara ini tidak kekurangan pria, tetapi kekurangan laki-laki yang mampu berdiri tegak dan menjadi teladan. Dan itu dimulai dari hal sederhana: menepati janji, bertanggung jawab, percaya diri, berhenti mengeluh, dan berani berkata benar. Jangan dulu berbicara tentang revolusi atau perubahan bangsa, jika hal ini belum kita benahi dalam diri masing-masing. Karena bangsa yang kuat tidak mungkin lahir dari lelaki-lelaki lemah. Control your self before you try to control your people.
Referensi:
- Infografik “15 Signs of a Weak Man”, anonym tahun 2025.
- Chappy Hakim, Menjaga Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa, Penerbit Buku Kompas, 2024.
- Refleksi pribadi selama bertugas di TNI AU dan diskusi bersama para perwira dan pemimpin sipil Indonesia.
- Konteks sosial dan budaya Indonesia terkait dengan tanggung jawab, integritas, dan kepemimpinan moral.
Jakarta 17 Juni 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia