Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»KEDAULATAN NEGARA DI UDARA: SEBUAH KEPASTIAN HUKUM DAN KEPERLUAN STRATEGIS
    Article

    KEDAULATAN NEGARA DI UDARA: SEBUAH KEPASTIAN HUKUM DAN KEPERLUAN STRATEGIS

    Chappy HakimBy Chappy Hakim05/21/2025No Comments5 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Kedaulatan negara di udara adalah sebuah prinsip yang bersifat mutlak, komprehensif, dan tak dapat dikompromikan. Ia bukan sekadar turunan dari kedaulatan teritorial, tetapi menjadi elemen krusial dalam pertahanan dan keamanan negara modern. Ruang udara bukanlah kawasan netral atau bebas sebagaimana diasumsikan dalam open sky policy, melainkan sebuah wilayah strategis yang harus berada di bawah kendali penuh negara. Untuk memahami urgensi dan legitimasi prinsip ini, kita perlu menelusuri perjalanan sejarah hukum udara sejak masa Romawi, melalui era penemuan balon udara, hingga lahirnya dua konvensi internasional yang menjadi pilar legal: Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944.

    “Cujus est Solum, Eius est Usque ad Coelum et ad Inferos”

    Sudah sejak zaman Romawi kuno dikenal prinsip hukum yang berbunyi “Cujus est solum, eius est usque ad coelum et ad inferos” — barang siapa memiliki tanah, maka ia memiliki ruang di atasnya sampai ke langit dan ke bawah sampai ke pusat bumi.[1] Prinsip ini menunjukkan bahwa sejak awal, manusia tidak membayangkan adanya ruang udara bebas yang tidak dimiliki siapa pun. Konsep ini bertentangan dengan ide open sky, yang menyiratkan kebebasan universal dalam penggunaan ruang udara tanpa pembatasan kedaulatan nasional. Maka dapat disimpulkan bahwa secara historis, ide open sky sudah ditolak oleh tradisi hukum sejak ratusan tahun lalu.

    Era Montgolfier dan Respons Negara

    Penemuan balon udara oleh keluarga Montgolfier pada akhir abad ke-18 memicu kekhawatiran baru terkait ruang udara. Balon udara membuka kemungkinan manusia untuk melintasi batas negara tanpa melewati permukaan tanah, sehingga menimbulkan dilema hukum, keselamatan dan keamanan. Pemerintah Prancis merespons dengan tegas: pihak kepolisian melarang pengoperasian balon udara tanpa izin resmi dari otoritas negara. Tindakan ini bukanlah larangan teknologi, melainkan afirmasi kedaulatan. Negara tidak dapat membiarkan ada aktivitas udara yang berpotensi mengancam keselamatan dan keamanan nasional tanpa kendali dan regulasi yang ketat.[2]

    Konvensi Paris 1919: Jawaban atas Trauma Perang Dunia I

    Setelah Perang Dunia I (1914–1918), dunia menyadari pentingnya kontrol mutlak atas ruang udara sebagai bagian dari sistem pertahanan nasional. Pesawat terbang terbukti menjadi instrumen militer yang sangat efektif dalam menyerang wilayah lawan tanpa peringatan. Maka lahirlah Konvensi Paris 1919, yang menyatakan secara tegas bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas wilayah teritorialnya.[3] Pasal 1 konvensi ini menyebutkan:

    “Each contracting State recognizes that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”

    Konvensi ini menjadi tonggak hukum internasional pertama yang mengafirmasi bahwa ruang udara adalah bagian dari teritori yang harus dilindungi dan dikuasai oleh negara terkait.

    Konvensi Chicago 1944: Kedaulatan Udara sebagai Pilar Perdamaian Pasca-PD II

    Perang Dunia II (1939–1945) kembali menegaskan bahwa ancaman dari udara bisa sangat destruktif. Pemboman besar-besaran di London, Dresden, hingga pemboman atom di Hiroshima dan Nagasaki menjadi bukti bahwa ruang udara adalah jalur datangnya kehancuran. Maka pada tahun 1944, negara-negara kembali duduk bersama dalam Konvensi Chicago. Hasilnya, Pasal 1 Konvensi Chicago menyatakan ulang prinsip kedaulatan:

    “The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”[4]

    Dengan ini, maka dua konvensi besar—Paris 1919 dan Chicago 1944—secara konsisten menyatakan bahwa ruang udara adalah bagian dari kedaulatan nasional yang tidak bisa dinegosiasikan atau dikompromikan termasuk di delegasikan kewenangan pengelolaannya.

    Pearl Harbor, Hiroshima, Nagasaki dan 9/11

    Sejarah mencatat bahwa serangan udara adalah salah satu bentuk agresi paling efektif dan mematikan. Serangan mendadak Jepang ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 yang dilakukan melalui udara membuat Amerika Serikat masuk ke dalam Perang Dunia II. Demikian pula, serangan bom atom atas Hiroshima dan Nagasaki, yang dilakukan dari udara oleh pesawat B-29, mengakhiri perang dengan kehancuran dahsyat.[5]

    Pemboman tersebut tidak hanya berdampak pada Jepang, tetapi juga membuka jalan bagi realitas geopolitik baru di Asia. Penyerahan Jepang secara resmi pada 15 Agustus 1945 memungkinkan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dua hari kemudian, pada 17 Agustus 1945. Tanpa pemboman yang memaksa Jepang menyerah, mungkin Indonesia belum akan merdeka pada waktu itu.

    Patut dicatat bahwa tokoh pendiri Israel, David Ben-Gurion, pernah menegaskan bahwa “a high quality of living is impossible without full control of the air.” Pernyataan ini mencerminkan kesadaran strategis bahwa kemakmuran dan keberlangsungan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan untuk menguasai ruang udaranya secara mutlak dan utuh.

    Di era modern, tragedi 9/11 pada 11 September 2001 menjadi pengingat yang sangat menyakitkan: empat pesawat komersial dibajak dan dijadikan senjata untuk menyerang jantung ekonomi dan militer Amerika Serikat. Kejadian ini memperkuat fakta bahwa penguasaan ruang udara adalah conditio sine qua non bagi keamanan nasional. Ruang udara yang tidak dikendalikan secara ketat akan menjadi celah masuk bagi teroris, musuh negara, dan ancaman non-konvensional lainnya.[6]

    Demikianlah, dengan demikian maka dalam dunia yang semakin kompleks dan berisiko tinggi, kedaulatan negara di udara bukanlah sebuah pilihan, tetapi kewajiban mutlak. Ruang udara bukan hanya tempat lalu lintas pesawat sipil, tetapi juga arena pertarungan strategis. Negara yang tidak menguasai ruang udaranya sendiri berarti membuka pintu bagi ancaman dari luar dan kehilangan kontrol atas instrumen pertahanan dan keamanannya. Prinsip ini telah dibuktikan sepanjang sejarah, diakui oleh hukum internasional, dan dikukuhkan oleh tragedi kemanusiaan yang datang dari langit. Maka, dalam menjaga kedaulatan dan martabat negara, penguasaan penuh atas ruang udara adalah fondasi yang tidak boleh diganggu gugat.

    Daftar Pustaka

    [1] Shaw, Malcolm N. International Law. Cambridge University Press, 2008. [2] Buzan, Barry. People, States & Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era. ECPR Press, 2008. [3] Paris Convention on the Regulation of Aerial Navigation, 1919. [4] Chicago Convention on International Civil Aviation, 1944. [5] Overy, Richard. The Bombing War: Europe 1939–1945. Penguin, 2013. [6] National Commission on Terrorist Attacks Upon the United States (9/11 Commission Report), 2004.

    Jakarta  19 Mei 2025

    Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleSekolah Rakyat
    Next Article Kedaulatan Udara Indonesia: Sebuah Catatan Strategis
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Menghadapi Operasi Empedu: Antara Kecemasan dan Harapan

    05/31/2025
    Article

    Kedaulatan Udara Indonesia: Sebuah Catatan Strategis

    05/21/2025
    Article

    Sekolah Rakyat

    05/21/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.