Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Kebakaran dan Kebakaran Lagi
    Article

    Kebakaran dan Kebakaran Lagi

    Chappy HakimBy Chappy Hakim12/11/2025No Comments7 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    (Chappy Hakim)

    Kebakaran di sebuah gedung di kawasan Jakarta Pusat yang merenggut setidaknya 17 nyawa kembali menampar kesadaran kita bersama. Mereka yang pergi bukan sekadar angka, ada karyawan yang sedang bekerja, mungkin baru saja selesai makan siang, ada keluarga yang menunggu di rumah tanpa pernah membayangkan hari itu akan menjadi hari terakhir. Seperti biasa, kita berduka, kita marah, lalu pelan-pelan semua mereda. Sampai suatu hari kebakaran berikutnya datang lagi, dan siklus yang sama terulang.  Pertanyaannya sederhana namun agak menyakitkan alias nyelekit yaitu sampai kapan keselamatan manusia dibiarkan bergantung pada keberuntungan dan spontanitas, bukan pada sistem yang dirancang dan dilatih?

    Di banyak negara maju, termasuk Inggris, kebakaran dipandang bukan sebagai kejadian “kalau-kalau”, tetapi sebagai risiko yang pasti terjadi dan soal “kapan” bukan “apakah”. Karena itu, setiap gedung bertingkat dan tempat kerja diwajibkan mempunyai emergency plan yang jelas terdiri dari jalur evakuasi, titik kumpul, penanggung jawab lantai (fire warden), hingga prosedur membantu penyandang disabilitas. Lebih jauh lagi, latihan evakuasi (fire drill) bukan sekadar formalitas tahunan di atas kertas. Banyak organisasi melakukannya secara periodik, ada yang tiap tiga bulan, ada yang dua bulan sekali, terutama untuk gedung berisiko tinggi terhadap terjadinya kebakaran.

    Di sana, bunyi alarm kebakaran tidak hanya dimaknai sebagai gangguan. Itu adalah bagian dari “otot ingatan” kolektif yang dilatih terus-menerus sampai orang otomatis tahu harus mematikan apa, meninggalkan apa, lari ke mana, lewat tangga yang mana, dan berkumpul di titik mana. Tidak ada lagi kebingungan di koridor, tidak ada lagi orang yang naik lift saat kebakaran, tidak ada lagi pertanyaan, “Harus lewat mana?” justru pada detik-detik paling kritis.

    Bandingkan dengan realitas kita sehari-hari di banyak gedung bertingkat di Indonesia. Pintu darurat kerap dikunci atau dijadikan tempat menumpuk barang. Tangga darurat gelap dan berdebu. Denah jalur evakuasi, kalaupun ada, sering dipasang seadanya dan tak pernah diperhatikan. Sirene alarm kadang tidak berfungsi, atau malah dimatikan karena dianggap mengganggu. Dan yang paling parah: sebagian besar pengguna gedung tidak pernah  bahkan sekali pun mengikuti latihan simulasi kebakaran selama bertahun-tahun bekerja di gedung yang sama.

    Akibatnya, ketika api benar-benar datang, orang bereaksi dengan cara yang paling manusiawi yaitu panik dan terjadilah tabrak sana tabrak sini. Mereka berlari tanpa arah, kembali mengambil barang-barang di meja, mencoba menyelamatkan dokumen atau laptop, bahkan ada yang terjebak karena berusaha turun lewat lift atau menunggu instruksi yang tak kunjung jelas. Di banyak kasus, korban meninggal bukan karena terbakar api, melainkan karena menghirup asap tebal di koridor yang semestinya bisa mereka tinggalkan lebih cepat bila sebelumnya sudah terbiasa dengan prosedur evakuasi.

    Padahal secara teknis, konsep manajemen kebakaran bukan hal rumit. Kuncinya ada pada tiga hal yakni pencegahan (prevention), perlindungan (protection), dan respons (response). Regulasi bisa berbicara panjang lebar soal APAR, hydrant, material bangunan tahan api, detektor asap, dan seterusnya. Tapi satu hal yang sering luput diperhatikan adalah mengajarkan dan  melatih manusia. Sebagus apa pun sistem teknis, pada akhirnya nyawa diserahkan kepada keputusan orang-orang yang ada di gedung pada menit-menit pertama ketika api muncul.

    Di sinilah arti penting latihan berkala. Simulasi kebakaran setiap 1–2 bulan, seperti praktik di banyak kantor dan sekolah di negara maju, bukanlah “seremonial buang waktu”, tetapi investasi langsung untuk menyelamatkan nyawa. Latihan yang rutin membuat tubuh bereaksi hampir otomatis ketika situasi darurat muncul. Orang tidak lagi sibuk bertanya “Lewat mana?” atau “Boleh turun lift tidak?”, karena mereka sudah merasakannya berulang kali dalam simulasi. Petugas keamanan dan pengelola gedung juga tahu persis apa yang harus dilakukan, siapa yang menyisir setiap lantai, siapa yang memastikan tidak ada yang tertinggal di toilet atau ruang tertutup, dan siapa yang menghitung kembali jumlah orang di titik kumpul.

    Mengapa hal sesederhana ini sulit terjadi di sini? Jawabannya mungkin saja terdiri dari kombinasi antara budaya, kelembagaan, dan penegakan hukum.  Budaya kita cenderung reaktif, bukan preventif. Kita baru serius bicara keselamatan setelah ada korban jiwa dan sorotan media. Latihan kebakaran dianggap mengganggu jam kerja, mengurangi produktivitas, atau bahkan “malu-maluin” kalau sampai heboh satu gedung. Pengelola gedung kadang lebih takut dimarahi penyewa karena “ribut sirene”, daripada memikul tanggung jawab moral bila suatu hari penghuni gedung mereka jadi korban.

    Dari sisi kelembagaan dan regulasi, aturan tentang keselamatan gedung sebenarnya sudah ada. Persyaratan jalur evakuasi, alat pemadam, tangga darurat, dan sebagainya tercantum dalam berbagai peraturan teknis. Namun, yang sering lemah adalah aspek dari audit rutin, sanksi yang menjerakan, dan kewajiban eksplisit untuk melakukan latihan evakuasi minimal dengan frekuensi tertentu. Tanpa pengawasan yang konsisten, banyak kewajiban keselamatan berubah menjadi sekadar checklist di atas kertas  rapi dan keren secara dokumen, tetapi kosong melompong secara praktik.

    Padahal, bila kita mau belajar dari pengalaman negara lain, pola besarnya jelas. Tragedi-tragedi besar di luar negeri justru dijadikan titik balik untuk memperketat standar keselamatan, memperjelas tanggung jawab pemilik dan pengelola gedung, serta menegaskan kewajiban risk assessment dan prosedur evakuasi yang nyata, bukan formalitas. Setiap insiden diletakkan dalam kerangka “apa pelajaran sistemik yang harus diambil”, bukan sekadar mencari kambing hitam sesaat.

    Tragedi kebakaran di Jakarta Pusat seharusnya menjadi momentum serupa bagi kita. Ada beberapa langkah konkret yang bisa dipikirkan sebagai rekomendasi kebijakan. Pertama, menjadikan latihan evakuasi kebakaran sebagai kewajiban hukum yang jelas dan terukur bagi seluruh gedung bertingkat dan tempat kerja, dengan frekuensi minimal tertentu, misalnya tiga bulanan untuk gedung perkantoran dan lebih sering untuk fasilitas berisiko tinggi. Hasil latihan wajib didokumentasikan dan siap diaudit sewaktu-waktu. Kedua, menghubungkan izin laik fungsi gedung dengan indikator keselamatan yang nyata, termasuk bukti pelaksanaan simulasi berkala. Tanpa bukti latihan dan pemeliharaan sistem keselamatan, izin tidak diperpanjang. Ketiga, menjadikan edukasi kebakaran sebagai bagian dari budaya kerja dan budaya kota. Keempat, mendorong transparansi dari setiap insiden besar dan harus diikuti laporan terbuka tentang penyebab, jalannya evakuasi, dan pelajaran sistemik yang diambil.

    Api memang tidak bisa kita hilangkan dari kehidupan modern selalu ada listrik, bahan kimia, baterai, dan material mudah terbakar di sekitar kita. Tapi korban jiwa dan luka-luka bisa sangat dikurangi bila kita mau bergerak dari budaya “semoga tidak terjadi apa-apa”  atau ”tenang saja Belanda masih jauh” menuju budaya “kalau terjadi, semua sudah siap”. Setiap kali kita membaca berita “17 orang meninggal dalam kebakaran di Jakarta Pusat”, kita sebenarnya sedang membaca kegagalan kolektif: kegagalan desain gedung, kegagalan sistem keselamatan, kegagalan pengawasan, dan kegagalan kita menempatkan nyawa manusia sebagai prioritas tertinggi.

    Di sinilah pentingnya mengembalikan makna sesungguhnya dari slogan yang sering kita lihat di banyak arena publik “Safety First”. Slogan itu terpampang di bandara, stasiun, pabrik, proyek konstruksi, bahkan di dinding kantor-kantor modern. Namun terlalu sering ia hanya menjadi hiasan dinding, bukan panduan perilaku. Safety First seharusnya bukan kalimat manis di spanduk, melainkan cara berpikir dan cara bekerja: tercermin dalam anggaran yang cukup untuk peralatan keselamatan, jadwal latihan yang disiplin, keberanian menghentikan operasi bila standar tidak terpenuhi, dan kesediaan menerima “gangguan sesaat” demi mencegah bencana yang jauh lebih besar.

    Kalau kita sungguh-sungguh menaruh keselamatan di urutan pertama, maka fire drill bukan lagi dianggap mengganggu, jalur evakuasi tidak dijadikan gudang, alarm tidak dimatikan, dan petugas tidak menganggap enteng setiap laporan potensi bahaya. Di hari ketika api benar-benar datang, keputusan-keputusan kecil yang konsisten dengan prinsip “Safety First” itulah yang membedakan antara hidup dan mati.

    Chappy Hakim

    Pusat Studi Air Power Indonesia

    Tragedi hari ini tidak boleh hanya kita jawab dengan karangan bunga dan ucapan belasungkawa. Jawaban yang paling jujur adalah perubahan sistemik: menjadikan slogan “Safety First” benar-benar hidup dalam praktik, dan menjadikan latihan evakuasi serta prosedur darurat sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari di setiap gedung di Indonesia. Karena di balik setiap sirene yang kita anggap “mengganggu”, mungkin ada puluhan nyawa yang suatu hari terselamatkan.

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleUU Pengelolaan Ruang Udara dan Dewan Penerbangan
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    UU Pengelolaan Ruang Udara dan Dewan Penerbangan

    12/11/2025
    Article

    Morowali dan Tata Kelola Wilayah Udara Nasional

    12/11/2025
    Article

    Morowali dan Pembangunan Nasional

    12/11/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.