Sulit dibayangkan, seorang laki-laki yang lahir di kota kecil bernama Stratford-upon-Avon, dekat Birmingham barat laut kota London, tanpa gelar keren, tanpa media sosial, tanpa “personal branding”, bisa menjadi nama yang tetap hidup lebih dari 400 tahun kemudian. Itulah William Shakespeare (1564-1616). Ia bukan sekadar penulis drama, ia adalah cermin kemanusiaan yang sampai hari ini masih memantulkan wajah kita. Di tengah dunia yang serba cepat dan serba instan, kisah Shakespeare mengingatkan bahwa kedalaman berpikir dan ketekunan berkarya bisa membuat seseorang melampaui batas ruang dan waktu. Ia membuktikan, bahwa yang terlihat sederhana di atas kertas bisa menjadi luar biasa dalam perjalanan sejarah.
Shakespeare tidak lahir sebagai bangsawan. Ia bukan pangeran, bukan pejabat tinggi, bukan orang yang dari kecil disiapkan jadi legenda. Ia hanya anak dari pembuat sarung tangan di sebuah kota kecil di Inggris. Dari tempat sederhana itu, ia membawa satu modal yang sering diremehkan, rasa ingin tahu, kepekaan, dan keberanian mengamati manusia apa adanya. Ia kemudian pergi ke London, kota yang bising dan penuh hiruk pikuk, pusat hiburan dan teater. Di sanalah ia mulai menulis tentang raja dan rakyat jelata, tentang cinta dan pengkhianatan, tentang ambisi dan kejatuhan. Shakespeare tidak menulis dari menara gading, ia menulis dari denyut kehidupan sehari-hari. Yang ia angkat adalah penderitaan, harapan, dan mimpi manusia biasa, lalu diolah menjadi kisah-kisah yang ternyata kemudian menjadi abadi. Dari sini kita belajar, bahwa kita tidak harus lahir di tempat “besar” untuk menjadi besar. Yang kita butuhkan adalah sekedar keberanian untuk mau melangkah, mau bekerja, dan terus belajar.
Salah satu alasan Shakespeare jadi begitu abadi adalah karena ia sangat mengerti manusia. Ia paham bahwa manusia bisa mencintai setulus-tulusnya, tetapi juga bisa menyakiti sedalam-dalamnya. Dalam Romeo and Juliet, ia menunjukkan bahwa cinta bisa kalah oleh kebencian yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam Hamlet, ia menggambarkan kegelisahan seorang anak muda yang terjepit antara kewajiban, kebenaran, dan keraguan terhadap diri sendiri. Dalam Macbeth, ia memperlihatkan betapa ambisi yang dibiarkan liar bisa menghancurkan jiwa pelan-pelan. Dalam Othello, ia mengingatkan betapa rapuhnya kepercayaan dan betapa berbahayanya kecemburuan.
Tokoh-tokoh itu sebenarnya bukan hanya milik masa lalu. Mereka adalah cermin untuk kita hari ini. Di saat kita ragu, marah, cemburu, tamak, mencinta, berharap, dan menyesal, di situlah Shakespeare terasa dekat. Seolah ia berkata pelan, jangan takut melihat sisi gelap dalam dirimu, kenali, pahami, lalu kelola. Di situlah kedewasaan bertumbuh. Di sisi lain, kekuatan Shakespeare juga terletak pada bahasanya. Sebelum Shakespeare, bahasa Inggris belum sekaya dan sedinamis sekarang. Banyak ungkapan, metafora, dan cara bicara yang kini dianggap biasa, sebenarnya lahir dari kalimat-kalimat yang ia tulis. Ia menjadikan kata bukan hanya sebagai alat untuk menyampaikan informasi, tetapi berpperan sebagai jembatan emosi. Kalimat sederhananya bisa terasa tajam, dalam, dan menyentuh. Ia tidak sedang pamer pintar, ia hanya ingin menyentuh hati orang yang membaca dan menonton.
Dari Shakespeare, kita bisa melihat betapa kuatnya kata-kata. Kata-kata yang bisa menyakiti, tetapi juga pada saat yang sama bisa menyembuhkan. Kata-kata bisa memecah, tetapi juga bisa menyatukan. Kata-kata bisa membuat orang berhenti sejenak, merenung, lalu memutuskan untuk berubah. Sebuah kalimat yang lahir dari kejujuran dan kedalaman bisa bertahan ratusan tahun, sementara slogan kosong sering kali sudah basi dalam hitungan hari. Yang menarik, Shakespeare bekerja di masa ketika tidak ada penghargaan internasional, tidak ada Nobel, tidak ada jutaan “likes”. Di masanya, ia hanyalah penulis dan aktor teater yang sibuk menyiapkan naskah demi naskah untuk menghidupi pertunjukan. Ia menulis di bawah tekanan waktu, karena teater butuh cerita baru. Ia berjalan di tengah tekanan politik, karena harus hati-hati menyentuh isu kekuasaan. Ia juga hidup di bawah tekanan ekonomi, karena teater perlu penonton untuk bertahan. Namun dengan segala keterbatasan itu, ia tetap menulis, lagi dan lagi. Tragedi, komedi, sejarah, puisi, semua digarap dengan keseriusan yang sama.
Di sini kita diingatkan bahwa orang besar bukan hanya orang yang punya ide cemerlang, tetapi orang yang sanggup bekerja konsisten mewujudkan ide-ide itu. Sejarah tidak mencatat seberapa sering ia lelah atau ingin menyerah. Sejarah hanya mencatat bahwa karyanya bertahan. Maka wajar kalau hari ini pun kita diingatkan bahwa tidak apa-apa kalau sekarang belum dipuji, belum viral, atau belum dikenal. Yang penting kita terus melangkah dan terus menerus untuk mengasah diri.
Di era sekarang, ketika informasi datang deras dari segala arah, kita mudah lelah dan bingung. Berita, opini, rumor, dan hoaks bercampur jadi satu. Dalam suasana seperti ini, karya Shakespeare seperti mengajak kita tarik napas sebentar dan bertanya hal-hal mendasar tentang apa arti kekuasaan tanpa moral? Apa arti cinta tanpa keberanian? Apa arti hidup kalau kita tidak jujur pada diri sendiri? Shakespeare tidak memberi jawaban instan, ia memberi cerita dan mengajak kita bercermin. Di situlah kita pelan-pelan menemukan pegangan bahwa dunia boleh saja kacau, tetapi kita tetap bisa memilih untuk menjaga hati nurani dan untuk terus berbuat baik.
Kita mungkin tidak akan menulis drama sehebat Hamlet atau King Lear. Kita mungkin tidak akan mengubah sejarah sastra dunia. Namun semangat Shakespeare bukan soal menjadi sastrawan besar. Semangat itu adalah keberanian mengamati hidup dengan jujur, mengolah pengalaman menjadi makna, dan menyuarakan hal-hal yang penting, walaupun lewat cara yang tampaknya sederhana. Seorang guru yang mengajar dengan hati, seorang pemimpin yang berani berkata benar meski tidak populer, orang tua yang bercerita pada anak sebelum tidur, penulis, jurnalis, atau content creator yang memilih jujur dan bertanggung jawab. Kesemuanya tentu saja dalam caranya masing-masing, berjalan di jejak yang sama dengan menggunakan kata-kata untuk membangun, bukan merusak.
Empat ratus tahun setelah ia wafat, Shakespeare sudah tidak bisa lagi membela diri, tidak bisa promosi, tidak bisa tampil di talkshow atau podcast. Namun karyanya masih berbicara. Itulah kekuatan karya yang lahir dari ketulusan. Ia tidak butuh banyak pembelaan, karena kualitasnya sudah bicara sendiri. Ia tidak perlu kampanye berlebihan, karena generasi demi generasi akan selalu menemukannya kembali. Shakespeare sudah menuntaskan tugas hidupnya. Sekarang giliran kita bertanya pada diri sendiri, warisan kecil apa yang ingin kita tinggalkan? Kata-kata seperti apa yang ingin kita ucapkan kepada dunia, dan kepada orang-orang yang kita sayangi? Kalau Shakespeare saja bisa mengubah dunia dari kota kecil dengan pena dan kertas, mungkin kita juga bisa mengubah lingkungan sekitar kita dengan hal-hal yang sederhana yakni kejujuran, keberanian, dan kata-kata yang lahir dari hati. Lebih kurang 300 tahun sebelum Shakespeare, Filsuf dan penyair sufi Persia, Jalaluddin Rumi (1207 – 1273), sudah mengajarkan untuk selalu berbuat baik kepada semua orang, termasuk mereka yang berbuat tidak baik.
Jakarta 4 Desember 2025
Chappy Hakim
Disusun ulang dari berbagai sumber
Top of Form
Bottom of Form

