Sementara Dunia Menaklukkan Langit, Kita Menyerahkannya”
Perkembangan teknologi kedirgantaraan adalah cermin dari kemajuan peradaban manusia. Sejarah mencatat tonggak pentingnya pada 17 Desember 1903, ketika Orville dan Wilbur Wright menerbangkan Flyer I setinggi 10 ft atau 3 meter dan sejauh 36 meter selama 12 detik di atas pasir Kill Devil Hill, North Carolina. Kecepatan pesawat itu hanya sekitar 10 km/jam, tapi dari situlah umat manusia mulai menaklukkan langit.
Hanya memerlukan waktu enam puluh enam tahun kemudian, pada tahun 1969, Amerika Serikat memperkenalkan pesawat SR-71 Blackbird—pesawat pengintai strategis yang mampu terbang lebih dari Mach 3, atau sekitar 4.000 km/jam, dan menjelajah pada ketinggian lebih dari 25.000 meter, atau sekitar 82.000 Ft. Perbandingan ini menunjukkan betapa luar biasa kemajuan teknologi penerbangan dalam kurun waktu yang relatif singkat. Dari lamban dan rendah, menjadi cepat dan tinggi. Dari kerangka kayu dan kain, menjadi mesin logam berteknologi tinggi yang menyentuh batas atmosfer.
Revolusi Penerbangan dan Dampaknya terhadap Dunia
Pesawat terbang tidak hanya merevolusi cara manusia berpindah tempat. Lebih dari itu, ia mengubah seluruh sistem global—perdagangan, diplomasi, pertahanan, bahkan politik internasional. Dalam perang modern, siapa menguasai udara, menguasai medan. Dalam ekonomi global, siapa mengendalikan jalur udara, menguasai arus logistik dan informasi. Negara-negara maju menyadari ini sejak lama. Mereka tidak hanya membangun pesawat, tapi juga mengendalikan sistem lalu lintas udara, radar, satelit, dan jaringan komunikasi strategis di atas wilayah mereka. Semua itu menjadi satu sistem terintegrasi yang menjadikan udara sebagai domain pertahanan utama. Mereka berlomba lomba mengeksploitasi wilayah udara untuk semaksimal kesejahteraan rakyatnya dengan bekerja keras.
Perjanjian RI – Singapura 2022 : Sebuah Kekeliruan Strategis

Dalam konteks ini, Indonesia justru mengambil langkah yang sangat disayangkan. Meskipun secara formal Perjanjian FIR RI–Singapura tahun 2022 telah menetapkan bahwa wilayah udara di sekitar Kepulauan Riau dan Natuna resmi berada di bawah FIR Jakarta, namun substansi perjanjiannya justru mendelegasikan pengelolaan ruang udara dari permukaan laut hingga ketinggian 37.000 kaki (FL370) kepada otoritas Singapura selama 25 tahun dan akan diperpanjang.
Sebagai catatan khusus, wilayah yang didelegasikan itu bukan wilayah sembarangan. Ia mencakup jalur udara bernilai ekonomi tinggi—karena merupakan rute penerbangan internasional tersibuk di Asia Tenggara—dan pada saat yang sama juga merupakan kawasan kritis perbatasan negara yang sangat penting dari perspektif pertahanan udara nasional. Dalam bahasa yang lugas: kita menyerahkan kendali atas langit kita sendiri di perbatasan yang rawan kepada negara lain.
Langkah ini mencerminkan kenaifan strategis yang luar biasa, dan menimbulkan pertanyaan serius: apakah kita memahami arti kedaulatan udara dalam sistem pertahanan nasional? Bagaimana mungkin sistem pertahanan udara kita—baik radar, komando, maupun intersepsi—bisa bekerja maksimal jika manajemen lalu lintas udara di wilayah kritis justru berada di bawah otoritas asing? Lebih dari itu, dengan menyerahkan pengelolaan wilayah udara kepada negara lain, Indonesia secara tidak langsung membuka peluang intervensi dalam bentuk soft control atas ruang strategis nasional. Dalam situasi konflik, otoritas non-nasional bisa saja menutup akses informasi atau memanipulasi data penerbangan yang seharusnya menjadi milik eksklusif negara berdaulat. Dan kita tidak berdaya apa apa. Lebih dari itu wilayah udara tersebut yang sebenarnya merupakan SDA dengan potensi besar bagi kemakmuran rakyat Indonesia telah diserahkan begitu saja dengan alasan yang sangat tidak jelas. Sebuah langkah yang bahkan menabrak UU Penerbangan RI tahun 2009 pasal 458.
Refleksi dan Seruan Strategis
Ini bukan semata soal pengelolaan teknis. Ini adalah soal arah besar strategi bangsa. Kita sedang menghadapi dunia yang bergerak sangat cepat di bidang teknologi, pertahanan, dan kedirgantaraan. Negara-negara lain berpacu membangun superioritas udara dan ruang angkasa—sementara kita justru menyerahkan kunci pintu depan rumah kita kepada tetangga dengan alasan belum cukup siap, sebuah alasan yang sangat tidak masuk akal sehat.
Sudah saatnya bangsa ini sadar: wilayah udara bukan ruang kosong. Ia adalah ruang strategis yang harus dikuasai dan dipertahankan dengan serius. Tidak boleh lagi ada kelonggaran berpikir bahwa selama tidak ada pesawat asing yang menjatuhkan bom, maka semuanya baik-baik saja. Penguasaan udara bukan hanya soal serangan fisik, tapi juga soal pengendalian informasi, arah lintasan ekonomi, dan ruang peringatan dini terhadap ancaman.
Demikianlah dari Wright bersaudara yang terbang setinggi tiga meter, hingga SR-71 yang melesat menembus Mach 3, sejarah membuktikan bahwa kemajuan teknologi adalah buah dari keberanian mengambil keputusan strategis yang visioner. Indonesia harus memetik pelajaran dari sejarah itu, dan mulai menata kembali strategi kedirgantaraannya berdasarkan kedaulatan, kemandirian, dan kehormatan bangsa. Karena bangsa yang tidak mampu mengelola langitnya sendiri, lambat laun akan kehilangan kendali atas nasibnya sendiri. Nenek Moyangku orang Pelaut, anak cucuku Insan Dirgantara. Ayo Bangun !
Jakarta 8 Juni 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia.
Daftar Referensi
Abeyratne, R. I. R. (2012). Air Navigation Law. Springer.
https://doi.org/10.1007/978-3-642-27949-6
De León, P. M. (2022). Introduction to Air Law (11th ed.). Kluwer Law International.
Hakim, C. (2022). FIR dan Kedaulatan Negara di Udara: Kajian Kritis terhadap Delegasi Pengelolaan Wilayah Udara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Air Power Indonesia.
International Civil Aviation Organization (ICAO). (2022). Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention 1944). ICAO Legal Bureau.
Jane’s Defence Weekly. (2022). Air Power in Ukraine: A Modern Test Case. Vol. 59(22), IHS Markit.
NASA. (2015). SR-71 Blackbird Fact Sheet. NASA Armstrong Flight Research Center.
Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1.
Smithsonian Institution. (n.d.). The Wright Brothers – The First Successful Airplane. National Air and Space Museum.
Tempo.co. (2022, Januari 25). Indonesia dan Singapura Teken Perjanjian FIR, Pertahanan, dan Ekstradisi.
The Jakarta Post. (2022, Januari 26). Indonesia Reclaims Airspace Control, But Delegates It Back to Singapore.
United States Air Force. (2019). Fundamentals of Aerospace Vehicles and Propulsion. Maxwell Air Force Base, Air University Press.