Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Industri Pertahanan Nasional: Antara Kemandirian dan Ketergantungan pada Impor Alutsista
    Article

    Industri Pertahanan Nasional: Antara Kemandirian dan Ketergantungan pada Impor Alutsista

    Chappy HakimBy Chappy Hakim06/18/2025No Comments5 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Sudah lebih dari tujuh dekade Indonesia merdeka, namun persoalan kemandirian dalam bidang pertahanan—khususnya industri alat utama sistem senjata (alutsista)—masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung tuntas. Setiap kali konflik regional memanas, seperti perang Rusia-Ukraina atau bentrokan udara antara Iran dan Israel, kita diingatkan kembali bahwa kekuatan pertahanan nasional bukan sekadar deretan jet tempur atau tank canggih, melainkan kemampuan membangun sistem senjata itu sendiri, dari hulu ke hilir. Sebab dalam dunia militer modern, siapa yang menguasai teknologi, dialah yang punya kedaulatan.

    Di sinilah letak paradoks besar yang dihadapi Indonesia: di satu sisi, kita terus menyuarakan semangat kemandirian industri pertahanan; di sisi lain, ketergantungan terhadap alutsista impor masih begitu tinggi. Lihat saja data pengadaan militer dalam dua dekade terakhir. Indonesia membeli jet tempur Sukhoi dari Rusia, kapal selam dari Korea Selatan, radar dari Prancis, hingga rudal dari Norwegia dan drone dari Turki. Bahkan untuk perawatan pesawat saja, tak jarang kita harus mengantarkan mesin ke pabrik di luar negeri. Jangankan membuat sendiri, memperbaiki pun masih bergantung pada negara lain.

    Masalahnya bukan semata pada anggaran atau niat politik, melainkan pada struktur dan ekosistem industri pertahanan yang belum matang. PT Pindad, PT PAL, dan PT DI sebagai BUMN strategis memang telah menunjukkan geliat kebangkitan—seperti produksi medium tank Harimau, kapal perang SIGMA-class, atau pesawat CN-235 dan N-219. Namun, kapasitas produksi, sertifikasi internasional, dan daya saing global masih jauh tertinggal dibanding industri pertahanan di negara-negara seperti Korea Selatan, Turki, atau bahkan Iran yang berada di bawah embargo.

    Mengapa kita belum juga mandiri? Jawabannya kompleks. Pertama, ada persoalan kontinuitas politik. Setiap ganti rezim, kebijakan pertahanan kerap berubah arah. Kedua, proses transfer teknologi dari negara pemasok belum berjalan optimal. Banyak pengadaan alutsista yang tidak diikuti kewajiban offset yang serius, atau hanya terbatas pada alih informasi, bukan penguasaan manufaktur. Ketiga, ekosistem riset dan inovasi belum sepenuhnya mendukung industri pertahanan dalam negeri. Lembaga-lembaga litbang di bawah Kementerian Pertahanan atau TNI pun kerap terkendala dana, sinergi, dan sumber daya manusia.

    Di sisi lain, dorongan untuk melakukan pembelian alutsista dari luar negeri tidak sepenuhnya keliru. Dalam konteks ancaman yang nyata dan mendesak, terkadang solusi tercepat adalah membeli senjata jadi. Apalagi jika situasi geopolitik menuntut respons cepat, seperti patroli di Laut Natuna atau pengamanan wilayah udara di Selat Malaka. Namun, jika pendekatan ini dijadikan kebijakan jangka panjang, maka kita terjebak pada ilusi kekuatan. Sebab kekuatan militer sejati bukan diukur dari jumlah peralatan yang dimiliki, tapi dari kemampuan mempertahankan dan memproduksi kembali sistem tersebut secara mandiri ketika akses luar terputus.

    Sejarah mencatat bagaimana embargo senjata bisa melumpuhkan pertahanan negara. Indonesia pernah mengalaminya pada masa Orde Baru, dan Iran mengalaminya selama bertahun-tahun namun justru memicu mereka membangun industri rudal dan drone secara mandiri. Turki pun, setelah dikecewakan oleh sekutu NATO dalam embargo senjata, kini telah menjadi eksportir drone tempur dan sistem pertahanan udara. Pelajarannya jelas: embargo dapat menjadi kutukan sekaligus berkah, tergantung pada bagaimana kita meresponsnya.

    Dalam konteks inilah, penting untuk memikirkan ulang arah pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia. Fokus utama semestinya adalah membangun fondasi industri dalam negeri yang kuat dan berkelanjutan. Kuncinya terletak pada sinergi antara pemerintah, TNI, BUMN, swasta, akademisi, dan mitra luar negeri dalam kerangka yang strategis. Transfer teknologi harus bersifat struktural, bukan kosmetik. Riset harus didanai dan diintegrasikan. SDM harus dibina sejak dini dengan semangat nation building, bukan hanya technical competence.

    Kemandirian bukan berarti menutup diri dari dunia luar, tetapi kemampuan untuk berdiri tegak saat bantuan luar tak lagi datang. Membeli alutsista canggih mungkin bisa mendongkrak moral pasukan, tetapi membangun pabrik senjata sendiri adalah cara membangkitkan martabat bangsa.

    Seperti kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri.” Dalam konteks pertahanan, itu artinya: membuat, merawat, dan mengendalikan sendiri kekuatan militer kita. Tanpa itu, kedaulatan hanya sebatas jargon.

    Demikianlah Kemandirian industri pertahanan nasional tidak akan pernah tercapai selama Indonesia belum memiliki dokumen strategis jangka panjang yang menjadi fondasi bagi arah kebijakan pertahanan secara keseluruhan. Sampai hari ini, Indonesia belum memiliki White Paper on National Defense and Security yang menjadi acuan resmi dan terbuka bagi publik mengenai ancaman strategis, visi pertahanan nasional, serta skenario pembangunan kekuatan militer dalam jangka 20–30 tahun ke depan. Tanpa peta jalan seperti itu, seluruh upaya membangun industri pertahanan dalam negeri akan berjalan di tempat—seperti kapal tanpa kompas yang terus berputar-putar dalam kabut ketidakpastian.

    Ketika tidak ada perencanaan strategis jangka panjang, yang terjadi adalah siklus pengadaan senjata yang reaktif, politis, dan jangka pendek. Pemerintah datang dan pergi dengan proyek masing-masing. Sementara industri dalam negeri hanya diberi proyek sporadis yang tidak mampu menopang keberlanjutan produksi. Alhasil, pabrik senjata dalam negeri hanya menjadi bengkel, bukan pusat inovasi militer. Bahkan lebih menyedihkan, di tengah jargon “cinta produk dalam negeri”, tender pengadaan kerap dimenangkan oleh alutsista impor, padahal kualitas buatan lokal tak kalah unggul.

    Tanpa perencanaan menyeluruh dan dokumen resmi negara yang menjadi payung kebijakan, semua program hanya akan menjadi “omong-kosong” belaka—ramai di seminar, sunyi di lapangan. Maka, membangun industri pertahanan nasional bukan hanya soal teknologi atau anggaran, tapi soal visi negara. Dibutuhkan keseriusan dari negara untuk menjadikan industri pertahanan sebagai bagian dari strategi ketahanan nasional yang menyeluruh, bukan sekadar proyek simbolik atau ladang politik rente.

    Indonesia harus segera menyusun dan menerbitkan Buku Putih Pertahanan dan Keamanan Nasional yang tidak hanya menjawab kebutuhan saat ini, tetapi mampu membingkai cita-cita jangka panjang yang realistis dan terukur. Hanya dengan itu, industri pertahanan dalam negeri bisa tumbuh sebagai tulang punggung kedaulatan, bukan sekadar etalase nasionalisme semu.

    Referensi:

    • Undang-Undang No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
    • Laporan Tahunan Kementerian Pertahanan RI 2023
    • SIPRI Arms Transfer Database 2024
    • Buku Chappy Hakim, “Menjaga Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa” (Kompas, 2023)
    • Global Firepower Report 2025
    • Pusat Teknologi Pertahanan (Pustekhan) – Lapan dan LIPI

    Jakarta 17 Juni 2025

    Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleKonflik Iran Israel akan mneuju kemana
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Konflik Iran Israel akan mneuju kemana

    06/18/2025
    Article

    Keberanian Iran, Retaknya Iron Dome, dan Diamnya Dunia Arab

    06/18/2025
    Article

    Kenali kelemahan Kita, untuk Indonesia Maju

    06/18/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.