Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»IATA, Relevansinya dengan Dunia Penerbangan Indonesia
    Article

    IATA, Relevansinya dengan Dunia Penerbangan Indonesia

    Chappy HakimBy Chappy Hakim09/06/2025No Comments5 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Dunia penerbangan sipil internasional merupakan sistem yang kompleks dan menuntut adanya regulasi serta koordinasi global. Dua organisasi utama yang berperan dalam mengatur dan memfasilitasi sistem ini adalah International Civil Aviation Organization (ICAO) dan International Air Transport Association (IATA). ICAO berperan sebagai badan regulator global berbasis negara, sementara IATA merupakan asosiasi industri berbasis maskapai. Perbedaan fungsi keduanya kerap menimbulkan pertanyaan, tetapi dalam praktiknya keduanya saling melengkapi. Dalam konteks Indonesia, hubungan ICAO dan IATA menjadi sangat relevan, terutama ketika membahas isu Flight Information Region (FIR) di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna, yang selama puluhan tahun dikelola oleh Singapura.

    IATA berdiri pada tahun 1945 di Havana, Kuba, sebagai kelanjutan dari International Air Traffic Association yang didirikan pada 1919. Saat ini, IATA menaungi lebih dari 300 maskapai penerbangan yang mewakili lebih dari 80% lalu lintas udara internasional dunia1. Fungsi utamanya adalah memfasilitasi bisnis maskapai, meningkatkan efisiensi, serta menstandarkan prosedur operasional. Program penting IATA antara lain sistem penagihan tiket internasional (Billing and Settlement Plan/BSP), kode bandara dan maskapai, hingga audit keselamatan maskapai melalui IATA Operational Safety Audit (IOSA). Dengan demikian, IATA berperan sebagai fasilitator industri, memastikan maskapai dari berbagai negara dapat beroperasi dalam ekosistem global yang sama. Berbeda dengan IATA, ICAO adalah lembaga khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dibentuk melalui Konvensi Chicago 1944. Keanggotaannya terdiri dari negara-negara berdaulat, termasuk Indonesia. ICAO bertugas menetapkan Standards and Recommended Practices (SARPs) yang wajib diadopsi negara anggota dalam hukum nasional mereka. ICAO juga mengawasi kepatuhan negara melalui Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP), yang menilai kemampuan otoritas penerbangan sipil suatu negara dalam menjamin keselamatan penerbangan. Dengan kata lain, ICAO adalah badan regulator internasional yang menetapkan aturan dasar penerbangan sipil dunia.

    Perbedaan mendasar antara IATA dan ICAO terletak pada basis organisasinya. ICAO adalah organisasi antarnegara yang bersifat regulatif, sedangkan IATA adalah asosiasi antarperusahaan yang bersifat komersial. ICAO mengatur penerbangan dari perspektif hukum, keselamatan, dan kedaulatan, sementara IATA mengatur dari sisi efisiensi bisnis, profitabilitas, dan keterhubungan antar-maskapai. Meski berbeda, keduanya bekerja secara saling melengkapi: ICAO menetapkan standar, sementara IATA membantu maskapai mengimplementasikan standar tersebut dalam praktik industri.

    Isu FIR menjadi salah satu contoh paling nyata tentang keterkaitan ICAO dan IATA bagi Indonesia. Sejak tahun 1946, sebagian ruang udara Indonesia di atas Kepulauan Riau didelegasikan kepada Singapura dengan alasan teknis dan efisiensi. Delegasi tersebut berlangsung selama puluhan tahun dan menimbulkan dilema dari perspektif kedaulatan negara. ICAO menegaskan bahwa FIR bukan wilayah kedaulatan, melainkan zona pelayanan navigasi udara yang ditetapkan berdasarkan aspek teknis keselamatan dan efisiensi. Namun bagi Indonesia, fakta bahwa ruang udara nasional dikelola negara lain menimbulkan kerentanan strategis. Perjanjian FIR Indonesia–Singapura yang ditandatangani tahun 2022 menjadi momentum penting. Indonesia berhasil menegosiasikan pengambilalihan kembali pengelolaan FIR tersebut, yang kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 20227. Meski bersifat bilateral, implementasi perjanjian ini tidak bisa dilepaskan dari ICAO, karena perubahan FIR harus disahkan oleh ICAO Council di Montreal. ICAO dengan demikian menjadi otoritas yang memastikan legitimasi internasional dari kesepakatan tersebut.  IATA turut berperan secara tidak langsung. Maskapai-maskapai anggota IATA, termasuk Garuda Indonesia, memiliki kepentingan agar transisi pengelolaan FIR berjalan mulus tanpa gangguan operasional. Melalui sistem dan standardisasi IATA, maskapai dapat menyesuaikan jadwal, tiket, serta rute navigasi sesuai perubahan FIR. Dengan demikian, ICAO memastikan legalitas internasional, sementara IATA memastikan kelancaran aspek teknis dan bisnis dalam transisi tersebut.

    Keterlibatan ICAO dan IATA dalam isu FIR menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya dituntut kuat dalam diplomasi politik, tetapi juga dalam aspek teknis dan bisnis penerbangan. ICAO menguji kapasitas Indonesia melalui standar regulasi internasional, sementara IATA membantu maskapai nasional agar tetap kompetitif di pasar global. Tanpa kepatuhan pada ICAO, legitimasi penerbangan Indonesia dapat dipertanyakan. Tanpa keterlibatan aktif di IATA, maskapai nasional akan tertinggal dalam kompetisi global. Oleh karena itu, bagi Indonesia, kedaulatan udara hanya dapat dicapai secara penuh apabila negara ini mampu membangun sistem pengelolaan ruang udara sesuai standar ICAO sekaligus memperkuat daya saing maskapai dalam ekosistem IATA. Dua organisasi ini, meski berbeda mandat, saling melengkapi dalam mendukung tercapainya cita-cita Indonesia untuk menjadi poros penerbangan di kawasan Indo-Pasifik.

    Demikianlah, IATA dan ICAO merupakan dua pilar utama dalam tata kelola penerbangan internasional. ICAO menetapkan regulasi berbasis negara, sementara IATA memfasilitasi kepentingan industri berbasis maskapai. Kasus FIR Indonesia–Singapura 2022 memperlihatkan bagaimana keduanya saling berkaitan ICAO memastikan aspek legalitas dan kedaulatan, sementara IATA menjamin kelancaran aspek teknis dan bisnis. Bagi Indonesia, memahami dan mengoptimalkan peran keduanya adalah kunci untuk memperkuat kedaulatan udara sekaligus meningkatkan daya saing penerbangan nasional di panggung internasional.

    Daftar Pustaka

    Abeyratne, Ruwantissa. Convention on International Civil Aviation: A Commentary. Springer, 2014.

    Dempsey, Paul Stephen. Public International Air Law. Montreal: McGill University, 2008.

    Hakim, Chappy. FIR di Kepulauan Riau – Wilayah Udara Kedaulatan NKRI. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2019.

    International Air Transport Association. Annual Review 2023. Geneva: IATA, 2023.

    International Air Transport Association. IATA Operational Safety Audit (IOSA) Programme Manual. Geneva: IATA, 2022.

    International Civil Aviation Organization. Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention). Montreal: ICAO, 1944.

    International Civil Aviation Organization. USOAP Continuous Monitoring Manual. Montreal: ICAO, 2020.

    Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pengesahan Perjanjian FIR Indonesia–Singapura. Jakarta: Sekretariat Negara, 2022.

    Jakarta 23 Agustus 2025

    Disusun dari berbagai sumber termasuk AI)

    Chappy Hakim

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleICAO dan Penerbangan di Indonesia
    Next Article Kekuatan Perang Australia
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    ADF dan Buku Putih Australia

    09/06/2025
    Article

    Pertahanan Singapura yang Total & Smart

    09/06/2025
    Article

    Kekuatan Perang Australia

    09/06/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.