Quo vadis Hanud NKRI
Indonesia adalah sebuah negara yang letaknya sangat strategis, berbentuk kepulauan, banyak kawasan berpegunungan, kaya kekayaan alam dan berpenduduk banyak. Sesekali kita perlu merenungkan diri tentang pertahanan keamanan nasional, terutama aspek Pertahanan Udara Nasional. Indonesia terletak diantara 2 samudera dan juga dua benua. Sudah waktunya untuk lebih serius dalam mengamati lingkungan strategis yang berkait dengan sistem pertahanan udara. Sistem pertahanan udara Indonesia perlu mengkaji, setidaknya pada catatan sejarah yang sangat berharga dari peristiwa serangan udara di Kawasan Indo Pasifik. Salah satunya adalah yang pernah terjadi pada tahun 1941 di pangkalan militer AS di Samudera Pasifik.
Seperti kita ketahui pada titik pertemuan Samudra Pasifik dan geopolitik global, berdiri sebuah pangkalan udara yang tak hanya menyimpan sejarah kelam, tetapi juga menyiratkan pesan kekuasaan: Hickam Air Force Base, di Honolulu, Hawaii. Bagi sebagian orang, itu sekadar instalasi militer. Tapi bagi mereka yang mengamati peta kekuatan dunia, Hickam adalah simbol kehadiran permanen Amerika Serikat di jantung Indo-Pasifik.
Dari Pearl Harbor ke Pax Americana
Nama Hickam tidak bisa dilepaskan dari peristiwa tragis 7 Desember 1941, ketika Jepang membombardir Pearl Harbor dan menandai masuknya AS ke dalam Perang Dunia II. Hickam, kala itu, tidak luput menjadi sasaran serangan armada Udara Angkatan Laut Kerajaan Jepang. Ratusan personel gugur, dan puluhan pesawat hancur. Namun dari reruntuhan itulah Amerika Serikat bangkit membangun dominasi militer di Pasifik, bahkan di pentas dunia yang bertahan hingga kini. Pasca serangan Jepang, Amerika Serikat membangun sistem ADIZ – Air Defebse Identification Zone, Early Warning System dan sistem Identification Friend or Foe. Momen itu menjadi cikal bakal munculnya slogan kekuatan Angkatan Perang Amerika Serikat Global vigilance, Global reach and Global power.
Pasca-perang, AS tidak hanya membangun ulang pangkalan ini. Mereka menanamkan doktrin kekuasaan di kawasan yang sangat jauh dari daratan utamanya. Hickam menjelma menjadi garda terdepan Pacific Air Forces (PACAF)—komando udara strategis yang mengatur dan melancarkan proyeksi kekuatan dari Hawaii hingga ke batas barat Guam, Okinawa, dan Filipina, meliputi sebagian besar wilayah Indo Pasifik.
Realitanya, kawasan Indo-Pasifik kini telah menjadi medan kontestasi geopolitik paling intens di dunia. Di sinilah bertemu kepentingan banyak pihak antara lain AS, Tiongkok, Jepang, Australia, India, dan ASEAN. Ketegangan di Laut China Selatan, manuver militer di Selat Taiwan, hingga konflik senyap di kawasan Pasifik Selatan menempatkan pangkalan-pangkalan militer sebagai instrumen utama diplomasi keras (hard power). Patut dicatat bahwa Hickam AFB adalah simpul dari jaringan itu. Dari sanalah pesawat angkut C-17 Globemaster III berangkat membawa bantuan ke Palu, Indonesia, ketika bencana terjadi. Dari sanalah pula sistem peringatan dini dan pengawasan udara menyisir langit Pasifik untuk mendeteksi potensi ancaman rudal hipersonik. Jadi, tidak hanya ancaman militer, akan tetapi juga mencakup keperdulian mengenai faktor kemanusiaan dalam berhadapan dengan bencana alam yang kerap terjadi.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia harusnya belajar dari Hickam dan cara AS menjaga kedaulatan udaranya. Di Indonesia, banyak yang masih menganggap urusan udara semata-mata soal transportasi. Padahal, seperti dikatakan Konvensi Chicago 1944, kedaulatan udara itu komplet, eksklusif, dan mutlak.
Lalu lintas udara yang padat di sekitar perairan Natuna, Selat Makassar, hingga zona wilayah udara yang masih dikendalikan negara lain, semestinya menjadi alarm bagi Indonesia bahwa pertahanan udara bukan soal militer semata. Itu soal strategi nasional. Soal integritas wilayah. Soal eksistensi dan martabat sebuah negara.
Pangkalan seperti Hickam AFB juga membuktikan satu hal: teknologi, sumber daya manusia, dan kemauan politik yang harus sejalan. Amerika membangun pangkalan strategis dengan SDM terlatih, sistem kontrol terpadu, dan visi geopolitik jangka panjang. Sementara di negeri kita, seringkali yang muncul adalah program jangka pendek tanpa kesinambungan, alutsista tua tanpa kejelasan roadmap, dan kebijakan yang tunduk pada tekanan asing.
Ketika saya menatap peta Pasifik, saya tidak melihat lautan kosong. Saya melihat lintasan pesawat militer, rute logistik strategis, dan bayang-bayang konflik masa depan. Dan di tengah semua itu, Hickam berdiri seperti mercusuar: diam tapi mengawasi, pasif tapi siap menekan tombol kekuatan.
Indonesia seyogyanya harus segera mengejar ketertinggalannya dalam membangun air power yang sejati. Bukan sekadar armada pesawat, tetapi sistem kedaulatan udara yang lengkap: pengawasan, kendali, dan penegakan hukum udara. Jika tidak, kita akan terus menjadi penonton di langit sendiri—sementara negara lain melintasinya tanpa izin. Ironisnya wilayah udara di Kawasan yang paling rawan justru kewenangannya di delegasikan kepada negara lain. Halo Indonesia – quo vadis pertahanan udara NKRI ?
Jakarta 1 Mei 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia