Pada umumnya banyak kritikus sastra yang menganggap “Hamlet” sebagai karya terbaik William Shakespeare. Hamlet kerap disebut sebagai mahakarya William Shakespeare karena di dalamnya bertemu semua unsur terbaik dari seni drama meliputi kedalaman psikologi, ketegangan politik, pergulatan moral, dan keindahan bahasa yang nyaris tak tertandingi. Di antara lebih dari tiga puluh lakon yang ditulis Shakespeare, Hamlet menonjol bukan hanya sebagai kisah balas dendam seorang pangeran, tetapi sebagai potret paling lengkap tentang manusia ketika berhadapan sendiri dengan kematian, kekuasaan, pengkhianatan, dan keraguan. Banyak kritikus berpendapat, kalau hanya boleh menyimpan satu naskah Shakespeare untuk mewakili seluruh karyanya, maka Hamlet yang paling layak dipilih. Keunggulan Hamlet terutama terletak pada kompleksitas tokoh utamanya. Hamlet bukan pahlawan hitam putih yang langsung bertindak setelah mengetahui kebenaran. Ia justru ragu, mempertanyakan segala hal, bahkan mempertanyakan dirinya sendiri. Monolog-monolognya, terutama “To be, or not to be”, menjadikan panggung teater bukan sekadar arena pertarungan fisik, melainkan ruang kontemplasi filosofis tentang arti hidup dan mati. Di sini, Shakespeare memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam menggali batin manusia yakni cerdas, sensitif, penuh luka, namun sekaligus ironis dan tajam dalam memandang dunia.
Dari sisi tema, Hamlet memuat persoalan-persoalan yang tetap relevan lintas zaman seperti korupsi kekuasaan, rapuhnya moral para penguasa, konflik antara kewajiban pribadi dan tugas politik, hingga pertanyaan abadi tentang kebenaran dan keadilan. Hubungan antar tokoh Hamlet dengan ibunya, pamannya, juga dengan Ophelia putri penasehat Raja serta sahabat-sahabatnya, ditulis dengan detail yang halus. Demikian halus, sehingga penonton bukan hanya mengikuti alur, tetapi juga diajak merasakan konflik emosional di balik setiap dialog. Kekayaan tema inilah yang membuat Hamlet terus diinterpretasi ulang, dari era klasik sampai panggung modern dan film layar lebar. Secara dramatik, Hamlet juga memberi ruang sangat luas bagi sutradara dan aktor untuk berkreasi. Naskah ini bisa dibaca sebagai tragedi politik, drama keluarga, studi psikologi, bahkan kritik moral terhadap kemunafikan di lingkungan istana. Fleksibilitas tafsir ini menunjukkan betapa padat dan terbukanya struktur cerita Hamlet. Setiap generasi seolah menemukan “Hamlet”-nya sendiri sendiri. Antara lain ada yang menekankan sisi politik, ada yang menggarisbawahi depresi dan kegilaan, ada pula yang mengangkat dimensi filosofisnya sebagai refleksi eksistensial manusia modern. Karena perpaduan inilah maka kedalaman karakter, kekayaan tema, keindahan bahasa, dan daya hidup yang tak pernah habis, Hamlet sering ditempatkan di puncak pencapaian Shakespeare. Ia bukan sekadar drama terkenal, melainkan laboratorium besar untuk mempelajari jiwa manusia dan kekuasaan. Menyebut Hamlet sebagai karya terbaik Shakespeare pada dasarnya berarti mengakui bahwa dalam naskah inilah, Shakespeare mencapai puncak kemampuannya merangkum kompleksitas hidup ke dalam satu cerita yang tragis, indah, dan terus berbicara kepada siapa pun yang membacanya dan di zaman apa pun.
Ringkasan cerita
Hamlet adalah pangeran Denmark. Ayahnya, Raja Denmark, meninggal secara mendadak. Tidak lama kemudian, ibunya (Ratu Gertrude) menikah dengan paman Hamlet, bernama Claudius, yang sekaligus naik takhta menjadi raja baru. Hamlet curiga, tapi belum punya bukti. Suatu malam, muncul arwah sang raja (ayah Hamlet) di benteng Elsinore. Hantu itu bercerita bahwa ia dibunuh oleh Claudius dengan cara racun dituangkan ke telinganya saat ia tertidur di taman. Hantu itu memerintahkan Hamlet untuk menuntut balas. Sejak saat itu, hidup Hamlet berubah menjadi pergulatan batin yang berat. Hamlet lalu berpura-pura gila. Tujuannya untuk menutupi rencana dan kebimbangannya sendiri, sambil mengamati tingkah laku Claudius. Di tengah situasi ini, Hamlet sebenarnya mencintai Ophelia, putri dari penasihat raja (Polonius), tetapi hubungan mereka hancur karena intrik istana dan sikap Hamlet yang berubah drastis.
Untuk memastikan kebenaran kata-kata sang hantu, Hamlet menyuruh sekelompok pemain teater mementaskan sebuah drama yang alurnya mirip dengan cara pembunuhan ayahnya. Saat adegan pembunuhan dipentaskan, Claudius bereaksi panik dan meninggalkan ruangan. Bagi Hamlet, itu tanda bahwa pamannya memang bersalah. Namun Hamlet tetap ragu dan terlambat bertindak. Dalam sebuah insiden, ia menusuk seseorang di balik tirai, mengira itu Claudius, tetapi yang terbunuh justru Polonius. Peristiwa ini membuat Ophelia terguncang jiwanya dan akhirnya menjadi gila dan tenggelam (entah kecelakaan, entah bunuh diri). Kakak Ophelia, Laertes, pulang dengan amarah dan menuntut balas. Claudius memanfaatkan Laertes. Mereka menyusun rencana dengan mengatur duel antara Laertes dan Hamlet. Pedang Laertes dilapisi racun, dan sebagai cadangan, piala anggur Hamlet juga diracuni.
Dalam duel, pedang tertukar dan baik Hamlet maupun Laertes sama-sama terluka oleh pedang beracun itu. Ratu Gertrude tanpa sengaja meminum anggur beracun dan meninggal. Laertes, sekarat, mengaku bahwa semua jebakan itu rencana Claudius. Dalam detik-detik terakhir hidupnya, Hamlet akhirnya bertindak, ia membunuh Claudius. Setelah itu, Hamlet sendiri meninggal akibat racun. Di akhir, negeri Denmark dibiarkan tanpa penguasa yang sah, dan pangeran dari negara tetangga (Fortinbras dari Norwegia) datang dan mengambil alih. Tragedi ini menutup kisah Hamlet sebagai pangeran yang cerdas, sensitif, tetapi terjebak dalam keraguan dan intrik kekuasaan. Hamlet merefleksikan bahwasanya, Kekuasaan ternyata memang tidak selamanya indah dan membahagiakan !
Jakarta 4 Desember 2025
Chappy Hakim
Dikutip dari berbagai sumber

