Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Globalisasi dalam Pandangan Anthony Giddens dan Joseph E. Stiglitz
    Article

    Globalisasi dalam Pandangan Anthony Giddens dan Joseph E. Stiglitz

    Chappy HakimBy Chappy Hakim06/29/2025No Comments5 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Oleh: Chappy Hakim

    Globalisasi bukan lagi sekadar istilah akademik. Ia telah menjadi bagian dari denyut nadi peradaban kontemporer, masuk ke ruang tamu masyarakat dunia lewat gawai, berita, dan pasar yang tak lagi mengenal batas negara. Namun, apakah globalisasi adalah berkah atau justru ancaman terselubung? Pertanyaan inilah yang mengemuka ketika kita menelaah dua pemikiran besar tentang globalisasi dari tokoh yang datang dari dua dunia yang berbeda: Anthony Giddens, sang sosiolog dari Inggris, dan Joseph E. Stiglitz, ekonom peraih Nobel dari Amerika Serikat. Keduanya menawarkan perspektif yang sangat kontras, namun justru saling melengkapi dalam memetakan wajah globalisasi dewasa ini.

    Anthony Giddens: Globalisasi dan Bayang-Bayang Modernitas Reflektif

    Anthony Giddens memandang globalisasi sebagai hasil tak terelakkan dari proses modernisasi yang terus berakselerasi. Dalam pandangannya, dunia sedang bergerak menuju fase “modernitas reflektif,” yaitu sebuah kondisi ketika masyarakat tidak lagi sekadar menerima perubahan, tetapi harus secara aktif memikirkannya kembali. Teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi telah menghapus sekat ruang dan waktu. Jarak geografis kini nyaris tak lagi relevan. Kita bisa menyaksikan revolusi di Sudan, pemilu di Prancis, atau gempa di Jepang secara real time. Inilah yang oleh Giddens disebut sebagai time-space distanciation, pemisahan antara ruang dan waktu dalam konteks relasi sosial global.

    Giddens percaya bahwa globalisasi tidak hanya mengubah bagaimana negara-negara saling berinteraksi, tetapi juga mengguncang kehidupan individu sehari-hari. Ia menyoroti bagaimana identitas manusia modern terus-menerus dibentuk ulang oleh arus global yang tak pernah berhenti.  Anak anak muda di Jakarta kini lebih dekat dengan tren budaya Korea daripada dengan adat tetangganya sendiri. Sosiologi dalam pandangan Giddens menjadi alat untuk memahami keterkaitan antara individu dan sistem global yang saling memengaruhi secara simultan.

    Lebih jauh, Giddens menegaskan bahwa globalisasi menghadirkan paradoks. Di satu sisi, ia membuka ruang demokrasi baru, mempercepat pertukaran ilmu pengetahuan, dan menciptakan keterhubungan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi di sisi lain, globalisasi juga melahirkan ketakutan: akan hilangnya kedaulatan, terpinggirkannya budaya lokal, dan munculnya krisis eksistensial di tengah banjir informasi dan pilihan. Dalam dunia seperti itu, manusia justru semakin membutuhkan pegangan nilai, institusi kuat, dan solidaritas sosial untuk menavigasi kompleksitas zaman.

    Giddens menyarankan agar respons terhadap globalisasi tidak berhenti pada penolakan emosional atau euforia pasar semata. Yang dibutuhkan adalah transformasi kelembagaan secara global—membangun sistem tata kelola dunia yang demokratis, transparan, dan inklusif. Di tengah dunia yang bergerak cepat dan tak menentu, kita memerlukan bukan hanya teknologi, tetapi juga kebijaksanaan kolektif dalam menyikapi tantangan peradaban global.

    Joseph E. Stiglitz: Globalisasi yang Gagal Mewujudkan Keadilan

    Di sisi lain arena intelektual, Joseph E. Stiglitz berdiri sebagai pengkritik paling keras terhadap cara globalisasi dijalankan selama beberapa dekade terakhir. Ia tidak menolak globalisasi sebagai proses alamiah dalam perkembangan ekonomi dunia, namun ia mengecam bagaimana proyek besar ini dikendalikan oleh sekelompok elit internasional yang hanya mengejar kepentingan negara-negara kaya. Dalam Globalization and Its Discontents (2002), Stiglitz menguraikan bahwa lembaga seperti IMF dan Bank Dunia justru memperburuk keadaan di negara berkembang melalui resep ekonomi yang seragam, dangkal, dan seringkali merusak.

    Stiglitz menyoroti bahwa apa yang disebut sebagai “kebijakan ekonomi global” kerap menjadi alat dominasi, bukan solidaritas. Negara berkembang dipaksa membuka pasarnya, memangkas subsidi, dan memprivatisasi layanan publik atas nama efisiensi dan reformasi. Namun yang terjadi justru sebaliknya: ekonomi mereka goyah, pengangguran melonjak, dan kemiskinan meningkat. Di balik jargon pasar bebas, tersembunyi kepentingan dagang negara kuat dan korporasi multinasional yang memperluas cakarnya di negara-negara lemah. Bagi Stiglitz, ini bukan globalisasi, melainkan kolonialisme dengan wajah baru.

    Tak berhenti di kritik, Stiglitz menawarkan jalan keluar: globalisasi yang adil (fair globalization). Ia mendorong reformasi radikal terhadap arsitektur keuangan dunia, termasuk pembenahan mekanisme voting di IMF agar lebih representatif. Ia juga mendesak perlunya peran negara yang aktif dalam pembangunan, perlindungan sosial, serta kebijakan fiskal yang berpihak kepada rakyat kecil. Di sinilah peran pemerintah menjadi sangat penting sebagai penyeimbang terhadap kekuatan pasar.

    Lebih dari itu, Stiglitz percaya bahwa globalisasi seharusnya menjadi kendaraan untuk pemerataan, bukan pemusatan. Ia mengajak dunia internasional untuk menghentikan pola pikir one-size-fits-all dalam merancang kebijakan. Setiap negara memiliki kebutuhan, sejarah, dan struktur ekonomi yang berbeda, dan oleh karena itu kebijakan pembangunan pun harus disesuaikan. Globalisasi yang tidak mengenali keragaman hanya akan menghasilkan ketidakadilan yang semakin dalam. Menurutnya, tanpa etika dan empati, globalisasi hanya akan menjadi alat penghisapan yang legal tapi brutal.

    Refleksi: Menyatukan Wawasan, Menyikapi Tantangan

    Anthony Giddens dan Joseph Stiglitz datang dari dua ranah ilmu yang berbeda, namun keduanya berbicara dalam satu spektrum persoalan yang sama: globalisasi telah mengubah wajah dunia, dan perubahan itu tidak bisa dianggap enteng. Jika Giddens mengingatkan bahwa globalisasi adalah realitas sosiologis yang menuntut kesiapan manusia untuk hidup dalam dunia yang cair dan penuh risiko, maka Stiglitz memberi alarm keras bahwa tanpa keadilan struktural, globalisasi hanya akan melanggengkan kesenjangan global.

    Bagi bangsa seperti Indonesia, memahami dua pendekatan ini sangat penting. Di satu sisi, kita harus membuka diri terhadap kemajuan dan pertukaran global seperti yang disampaikan Giddens. Namun di sisi lain, kita harus tetap waspada terhadap jebakan ketimpangan dan ketergantungan sebagaimana diingatkan Stiglitz. Globalisasi tidak boleh menjadikan kita hanya sebagai konsumen dari sistem dunia, melainkan pelaku aktif yang mampu menjaga kedaulatan ekonomi, budaya, dan politik kita sendiri.

    Menata Globalisasi, Membangun Dunia yang Lebih Adil

    Globalisasi, pada akhirnya, adalah arena pertarungan ide dan kebijakan. Ia bisa menjadi jembatan kemajuan atau jurang kehancuran, tergantung siapa yang mengemudikannya. Jika kita mampu menyerap kebijaksanaan dari pemikiran Giddens dan keberanian moral dari Stiglitz, maka kita akan lebih siap menghadapi gelombang besar dunia yang terus berubah. Sebab, sebagaimana langit yang tak mengenal batas, demikian pula nasib umat manusia kini saling terikat dalam satu sistem yang hanya akan bermakna jika dijalankan dengan keadilan, akal sehat, moral dan nurani.

    Daftar Referensi

    1. Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity. Stanford University Press, 1990.
    2. Giddens, Anthony. Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives. Profile Books, 1999.
    3. Stiglitz, Joseph E. Globalization and Its Discontents. W.W. Norton & Company, 2002.
    4. Stiglitz, Joseph E. Making Globalization Work. W.W. Norton & Company, 2006.

    Jakarta 23 Juni 2025

    Pusat Kajian Indonesia Center for Air Power Studies

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleMembaca Globalisasi Antara Peluang, Ancaman, dan Ilusi Akhir Sejarah
    Next Article Gencatan Senjata Iran dan Israel: Sekadar Jeda, atau Tanda Perang Usai?
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Mantan KSAU ingatkan, Israel Bangkitkan Singa Tidur. Tapi Langit Indonesia Pun Sudah Lama Direbut Asing

    06/29/2025
    Article

    Yang menarik dari serangan Jepang ke Pearl Harbor

    06/29/2025
    Article

    Apa istimewanya Operasi Midnight Hammer

    06/29/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.