Oleh Chappy Hakim – Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia
Kawasan Udara Timur Tengah belum sepenuhnya tenang. Dentuman rudal mungkin sudah mereda, dan sirene peringatan tak lagi meraung tiap jam di Tel Aviv maupun Teheran. Tapi bagi mereka yang sudah cukup lama menyaksikan denyut geopolitik kawasan ini, suasana hening seperti ini justru terasa ganjil. Ada semacam jeda yang mencurigakan, seperti orang yang berhenti menembak bukan karena menyerah, melainkan mungkin saja karena sedang mengisi peluru. Maka, pertanyaannya menjadi relevan: apakah gencatan senjata antara Iran dan Israel ini benar-benar sebuah langkah menuju perdamaian? Ataukah ini hanya strategi tarik napas sebelum kembali meninju?
Dunia menyambut kabar gencatan senjata itu dengan harapan. Namun sejarah mengajarkan bahwa gencatan senjata di kawasan ini hampir selalu bersifat sementara. Konflik Iran dan Israel bukan konflik satu-dua dekade. Ini adalah permusuhan yang telah menjelma menjadi ideologi. Iran sejak Revolusi 1979 menjadikan penolakan terhadap eksistensi Israel sebagai bagian dari DNA politik luarnegerinya. Sebaliknya, Israel selalu menempatkan Iran sebagai ancaman utama terhadap kelangsungan negaranya, terutama dengan bayang-bayang pengembangan senjata nuklir dan serangkaian rudal balistik jarak jauh yang kini makin sulit diredam oleh sistem pertahanan udara mereka sendiri.
Dalam perspektif strategi militer, gencatan senjata bukan berarti akhir dari perang. Ia adalah jeda. Ia adalah ruang waktu yang memungkinkan masing-masing pihak mengevaluasi strategi, menghitung ulang kekuatan tempur, menyesuaikan logistik, dan yang tak kalah penting menjalin manuver diplomasi global. Banyak analis menyebut jeda ini sebagai “operational pause”. Iran dan Israel sama-sama cerdik dalam membaca momen. Mereka tahu bahwa kemenangan tidak semata ditentukan oleh senjata, tetapi juga oleh kemampuan bertahan secara psikologis, finansial, dan diplomatik.

Iran mungkin sedang menghitung efek kejut rudal-rudal Fattah dan drone yang berhasil menembus beberapa lapisan pertahanan Israel. Sementara Israel, dengan sistem Iron Dome dan David’s Sling yang selama ini dielu-elukan sebagai kebanggaan nasional, mulai merenungkan kenyataan bahwa tak ada sistem yang benar-benar kedap terhadap inovasi musuh. Beberapa proyektil berhasil masuk. Beberapa sasaran sempat dihantam. Itu artinya waktu untuk konsolidasi sangat diperlukan dan gencatan senjata memberikan ruang itu.
Akan tetapi, apakah ini pertanda bahwa mereka sudah letih dan ingin berdamai? Pastinya tidaklah sesederhana itu. Sampai hari ini belum ada satu pun perjanjian damai formal yang ditandatangani. Gencatan senjata hanya bersifat verbal, dibantu tekanan dari negara-negara besar dan badan internasional. Tak ada jaminan permanen. Tak ada lembaga netral yang memantau implementasinya. Bahkan tidak ada kesepakatan soal bagaimana konflik ini harus dipetakan secara strategis di masa depan. Ini semua menunjukkan bahwa kemungkinan untuk kembali ke meja perang tetap dan selalu akan terbuka.
Lalu bagaimana dengan sanksi bagi pihak yang melanggar? Dunia internasional, dalam banyak kasus, selalu punya dua wajah. Ketika Iran melakukan pelanggaran, embargo ekonomi langsung dijatuhkan. Tapi ketika Israel dianggap melanggar hukum internasional, misalnya dengan menyerang target sipil, respons dunia sering kali tak lebih dari pernyataan keprihatinan. Ini bukan hal baru. Sistem internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB, sering kali terjebak dalam logika geopolitik dan veto. Maka, sanksi sebagai instrumen pengendali konflik justru kehilangan taringnya saat yang melanggar adalah sekutu dari negara besar.
Sebagian pihak mungkin berkata, “Setidaknya ada jeda, dan itu lebih baik daripada perang terbuka.” Ya, itu betul. Tapi jeda juga bisa dimanfaatkan sebagai waktu untuk memperkuat kekuatan tempur. Kita tidak boleh menutup mata terhadap kemungkinan bahwa ini adalah masa persiapan untuk babak berikutnya. Perang modern tidak lagi seperti Perang Dunia II, yang ditandai oleh pernyataan resmi dan pertempuran massal. Hari ini, perang bisa tetap berlangsung dalam bentuk serangan siber, sabotase, infiltrasi informasi, dan operasi intelijen jarak jauh. Dan Iran–Israel punya rekam jejak panjang dalam jenis perang semacam itu.
Dalam konteks ini, kita di Indonesia dan dunia pada umumnya perlu melihat lebih jernih. Jangan terlalu cepat terbuai oleh istilah “gencatan senjata” yang terdengar damai. Kita harus menuntut lebih pengawasan internasional yang independen, perundingan yang melibatkan pihak ketiga netral, dan mekanisme sanksi yang adil serta simetris. Tanpa itu semua, maka jeda ini hanya akan menjadi seperti sunyi sebelum badai, bukan awal dari perdamaian. Kita tak bisa membangun harapan pada pondasi yang rapuh. Jika gencatan senjata ini benar-benar ingin dikenang sebagai titik balik, maka harus disertai dengan itikad politik yang tulus dari kedua belah pihak untuk berhenti mencari kemenangan militer, dan mulai mengejar kemenangan kemanusiaan.
Referensi:
- United Nations Security Council Reports on Middle East Situation, 2024–2025.
- “Iron Dome Intercepts vs Iranian Ballistic Missiles,” Jane’s Defence Weekly, April–June 2025.
- “Why Iran and Israel May Be Preparing for a Long War,” Foreign Affairs, June 2025.
- Khamenei, Ali. Resisting Zionism: Iran’s Strategic Doctrine. Tehran: IRGC Press, 2020.
- IDF Spokesperson. “Operation Rising Lion: Israel’s Response to Iranian Attacks.” April 2025.
Jakarta 26 Juni 2025
Chappu Hakim
Pusat Kajian Indonesia Center for Air Power Studies