Oleh: Chappy Hakim
Ketika pesawat tempur generasi kelima F-35 Lightning II pertama kali diperkenalkan kepada dunia, ia digadang-gadang sebagai simbol supremasi teknologi udara Amerika Serikat, pesawat stealth multifungsi yang dapat melakukan segala hal mulai dari pengintaian, peperangan elektronik, hingga serangan presisi. Namun, seperti yang digambarkan dalam artikel Newsweek bertajuk “Has the F-35 Proved Its Worth?”, pesawat ini juga membawa serta bayang-bayang kontroversi dan ketidakpastian strategis, terutama bagi negara-negara sekutu AS yang akan turut membeli dan mengoperasikannya.
Di tengah reputasi dan daya tarik F-35 yang begitu luas, Indonesia justru mengambil langkah berbeda dengan memutuskan untuk membeli pesawat tempur Rafale buatan Prancis. Dapat dimengerti bahwa keputusan ini bukan tanpa pertimbangan strategis. Pertama, konon Indonesia ingin menghindari ketergantungan berlebihan terhadap Amerika Serikat, mengingat pembelian F-35 membutuhkan komitmen politik, kerja sama intelijen, dan kepatuhan terhadap sejumlah persyaratan keamanan yang rumit. Kedua, isu “kill switch” dan kontrol perangkat lunak yang tetap berada di tangan produsen (dalam hal ini Lockheed Martin dan pemerintah AS) memunculkan kekhawatiran akan otonomi operasional. Rafale, meskipun bukan stealth, menawarkan kebebasan lebih dalam modifikasi sistem avionik, integrasi senjata non-NATO, serta komitmen transfer teknologi yang lebih sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Namun harus di ingat juga tentang rontoknya Rafale di medan tempur Kashmir tentu harus menjadi perhatian serius dalam hal ini.
Ketiga, secara politik, pendekatan Prancis yang lebih pragmatis dalam hubungan internasional tanpa banyak tuntutan ideologis dianggap lebih sesuai dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif Indonesia. Ditambah lagi, pengalaman India dan Uni Emirat Arab yang sukses mengoperasikan Rafale dalam berbagai skenario, memberikan keyakinan bahwa jet tempur ini adalah pilihan realistis, fleksibel, dan efektif untuk negara-negara berkembang yang mengutamakan otonomi strategis. Akan tetapi, sekali lagi performa Rafale di teater perang udara Kashmir kiranya harus dipelajari terlebih dahulu.
Salah satu kekhawatiran terbesar dalam program F-35 datang dari isu “kill switch” sebuah fitur hipotetis yang diduga memungkinkan Washington untuk mematikan atau membatasi fungsi F-35 dari jarak jauh. Rumor ini sempat menghebohkan kalangan pertahanan di berbagai negara NATO. Dalam dunia militer, memiliki pesawat tempur canggih yang bisa dikendalikan pihak luar adalah mimpi buruk di siang bolong. Kendali sistem senjata mutlak harus berada di tangan pengguna, bukan di laci rahasia Pentagon. Meski Pentagon kemudian membantah isu tersebut, ketidakpastian ini cukup untuk menumbuhkan keraguan strategis di antara negara-negara sekutu.
Ironisnya, ketakutan tersebut tidak menghentikan pembelian F-35 secara masif. Inggris, sebagai contoh, tetap melanjutkan rencana pengadaan 138 unit pesawat tersebut. Mereka bahkan sudah mengerahkan setidaknya 12 unit F-35 dalam operasi nyata di Timur Tengah. Laporan Newsweek menyoroti bagaimana pesawat ini digunakan dalam serangan Israel ke Iran pada Juni 2025 operasi yang memperlihatkan dengan jelas keunggulan teknologi siluman, kecanggihan avionik, dan kapabilitas serangan presisi F-35. Di sinilah kita melihat paradoks modern yakni ketakutan terhadap dominasi teknologi AS berjalan berdampingan dengan kekaguman terhadap efektivitas mesin perangnya.
Salah satu panggung awal kiprah tempur F-35 adalah di Suriah. Pada tahun 2018, Israel secara diam-diam menggunakan F-35I Adir untuk menyerang sejumlah target milisi Iran dan Hezbollah di wilayah Suriah. Operasi ini tidak hanya menunjukkan kemampuan F-35 untuk menghindari sistem radar S-300 dan S-400 buatan Rusia, tetapi juga memperlihatkan keunggulan jet ini dalam mengintegrasikan intelijen, pengintaian, dan eksekusi serangan dalam satu platform. Keberhasilan ini memberi sinyal kuat kepada dunia bahwa F-35 bukan sekadar proyek ambisius Pentagon, tetapi alat strategis nyata di medan tempur modern.
Namun, tidak semua misi F-35 berakhir gemilang. Dalam latihan gabungan maupun simulasi pertempuran intensif, F-35 beberapa kali dikritik karena biaya operasional yang sangat tinggi, waktu kesiapan (readiness) yang rendah, dan berbagai gangguan teknis yang terus muncul, termasuk sistem pendingin kokpit, perangkat lunak misi, dan masalah integrasi senjata tertentu. Di tangan Angkatan Udara AS, F-35 sempat dikritik karena belum sepenuhnya siap untuk misi tempur jarak jauh dalam jumlah besar, dan disebut masih kalah efektif dalam dogfight jarak dekat dibandingkan pesawat lama seperti F-16 meski sebenarnya ini bukanlah peran utama yang dirancang untuknya.
Sementara itu, dalam latihan “Pitch Black” dan “Red Flag” yang melibatkan Australia, Jepang, dan Singapura, F-35 menunjukkan keunggulan luar biasa dalam peperangan jaringan. Keunggulannya bukan sekadar pada kemampuan menyerang, tetapi lebih kepada menjadi “node” cerdas dalam jaringan pertempuran udara yang kompleks menyebarkan data real-time ke platform tempur lain dan mempercepat pengambilan keputusan. Dengan kata lain, F-35 bukan hanya sebuah pesawat, tetapi pusat kendali tempur terbang yang mengubah cara berperang di abad ke-21.
Apa yang kita pelajari dari sini adalah bahwa dalam dunia strategi pertahanan global, pilihan alutsista tidak semata-mata didasarkan pada kapabilitas teknis, tetapi juga pada dinamika kepercayaan politik. Ketika Presiden Donald Trump kembali masuk Gedung Putih, sikap politik luar negeri AS yang tidak dapat diprediksi membuat sekutu-sekutunya mulai mempertimbangkan ulang ketergantungan mereka pada alutsista buatan Amerika. Hubungan pertahanan bukan hanya soal jual-beli pesawat, melainkan tentang komitmen jangka panjang dalam aliansi keamanan.
Namun demikian, performa F-35 dalam konflik membuktikan satu hal penting: bahwa di tengah segala perdebatan dan kekhawatiran, ia tetap menjadi pesawat tempur paling mematikan yang pernah diciptakan. Kemampuannya untuk menyusup ke wilayah musuh, menyerang titik vital tanpa terdeteksi radar, serta membagi informasi real-time kepada jaringan sekutu membuatnya nyaris tak tertandingi di era ini.
Bagi negara-negara pengguna, keputusan untuk penuh percaya diri mengandalkan F-35 adalah keputusan politis sekaligus militer. Mereka harus menyeimbangkan antara ketergantungan pada Amerika Serikat dengan kebutuhan untuk memiliki sistem pertahanan udara yang tidak hanya canggih, tetapi juga relevan dalam berbagai medan peperangan modern.
Dari perspektif Indonesia negara dengan tantangan geostrategis yang tak kalah kompleks kisah F-35 ini patut menjadi bahan refleksi mendalam. Bukan hanya soal teknologi, tetapi lebih kepada bagaimana kita membangun postur pertahanan yang mandiri, tangguh, dan tidak bergantung pada niat baik pihak asing. Sebab dalam dunia pertahanan, kedaulatan adalah harga mati dan tidak boleh ada “kill switch” yang bisa menonaktifkan semangat juang bangsa. Sebaliknya, keputusan untuk membeli pesawat tempur dari negara lain bukanlah jaminan bahwa semua persoalan strategis akan terselesaikan. Sebab, persoalan utama bukan sekadar soal jenis pesawat, melainkan ada pada bagaimana kita merancang dan membangun sistem pertahanan udara nasional secara menyeluruh. Justru yang paling krusial adalah memastikan bahwa sistem induk pertahanan udara kita sudah mapan dan terintegrasi sebelum menentukan pilihan terhadap platform pesawat tempur tertentu. Tanpa fondasi sistemik yang kuat, secanggih apa pun pesawat yang dibeli akan tetap menjadi elemen yang timpang dalam struktur pertahanan negara. Itulah mengapa memilih F35, Rafael atau J-10 bukan ukuran standar untuk membangun sebuah sistem perthanan udara yang mapan.
Referensi:
Newsweek, “Has the F-35 Proved Its Worth?”, Ellie Cook, 2025.
Center for Strategic and International Studies (CSIS), F-35 Performance and Challenges, 2022..
Israeli Defense Forces Briefing on F-35I Operations in Syria, 2019..
U.S. Air Force Red Flag Reports, 2023..
RAND Corporation, Assessing Fifth-Generation Aircraft in Combat Scenarios, 2024..
Kementerian Pertahanan RI, Rencana Strategis Pengadaan Alutsista TNI AU 2022–2024, Jakarta.
FlightGlobal, “Why Indonesia Chose Rafale Over F-35,” 2022.
Jakarta 27 Juli 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia