Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Ernest Hemingway Kejujuran dan Kesederhanaan
    Article

    Ernest Hemingway Kejujuran dan Kesederhanaan

    Chappy HakimBy Chappy Hakim12/11/2025No Comments5 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Ernest Hemingway adalah salah satu nama paling kuat dalam sejarah sastra abad ke-20. Ia lahir di Oak Park, Illinois, pada 21 Juli 1899 dan meninggal di Ketchum, Idaho, pada 2 Juli 1961. Dalam jangka waktu hidup yang relatif singkat itu, ia menulis tujuh novel, enam kumpulan cerpen, dan dua karya nonfiksi, serta dianugerahi Nobel Sastra tahun 1954 berkat “gaya prosa yang kuat dan baru” yang memengaruhi generasi penulis sesudahnya.

    Sejak muda, Hemingway akrab dengan dunia kekerasan dan bahaya. Ia menjadi sukarelawan Palang Merah di Italia pada Perang Dunia I dan mengalami luka serius. Pengalaman sebagai tentara, jurnalis perang, dan pengembara menjadikannya saksi langsung atas kekejaman abad ke-20 yaitu perang, revolusi, dan kekalahan moral manusia. Pengalaman ini kemudian menjadi latar banyak karyanya, mulai dari A Farewell to Arms yang mengambil setting PD I, sampai For Whom the Bell Tolls yang berakar pada Perang Saudara Spanyol. Tokoh-tokohnya adalah orang-orang yang terluka secara fisik maupun batin yang mencoba hidup terhormat di tengah dunia yang absurd.

    Hemingway dikenal dengan “gaya telegrap”-nya berupa kalimat pendek, hemat kata, nyaris tanpa metafora berlebihan. Ia mengembangkan apa yang ia sebut iceberg theory yakni hanya sebagian kecil informasi yang muncul di permukaan, sementara makna terdalam disimpan di bawah teks, diserahkan kepada pembaca untuk merasakannya. Dialog-dialog dalam karyanya sering tampak biasa, tetapi di balik percakapan singkat itu tersimpan konflik batin dan tragedi yang besar. Gaya ini bukan sekadar teknik, melainkan cerminan pandangan hidup Hemingway bahwa manusia harus menanggung penderitaan dengan diam, tanpa banyak keluh kesah.

    Kehidupan pribadi Hemingway sama dramatisnya dengan fiksi yang ia tulis. Ia menghabiskan masa-masa penting hidupnya di Paris sebagai bagian dari “Generasi yang Hilang”, kemudian di Spanyol, Afrika, dan Kuba. Ia berburu singa, memancing marlin raksasa di laut lepas, menyaksikan pertandingan adu banteng, dan meliput berbagai front perang. Foto-foto di Finca Vigía, rumahnya di Kuba, memperlihatkan sosok lelaki berwajah keras namun letih, seorang petualang yang pelan-pelan digerogoti usia dan trauma.

    Karya-karya pentingnya The Sun Also Rises, A Farewell to Arms, For Whom the Bell Tolls, dan terutama The Old Man and the Sea menampilkan tema yang kurang lebih sama yaitu keberanian, kekalahan, dan martabat. Dalam The Old Man and the Sea, kisah nelayan tua Santiago yang berjuang melawan ikan marlin dan laut yang kejam menjadi alegori tentang manusia yang boleh kalah secara fisik, tetapi tidak boleh kehilangan harga diri. Tidak mengherankan jika novel pendek ini dianggap sebagai mahakarya yang mengukuhkan penghargaan Nobel untuknya. Di balik citra macho pemburu, peminum berat, pecinta petualangan, Hemingway menyimpan rapuhnya seorang manusia yang dikejar depresi dan luka jiwa. Menjelang akhir hidup, ia mengalami kecemasan, gangguan kesehatan, dan merasa kehilangan kemampuan menulis sebagaimana dulu. Pada 1961, di rumahnya di Ketchum, ia mengakhiri hidupnya sendiri, menutup bab sebuah biografi yang penuh kemenangan sekaligus kehancuran.

    Namun warisan Hemingway terus hidup. Ia mungkin bukan satu-satunya “penulis terbesar” Amerika, tetapi pengaruhnya terhadap cara menulis dan membaca prosa modern hampir tak tertandingi. Ia mengajarkan bahwa cerita paling kuat sering lahir dari kalimat yang paling sederhana, bahwa keberanian bukan berarti tak pernah takut, melainkan tetap berdiri tegak ketika semua alasan untuk berharap telah habis. Dalam dunia yang sarat kebisingan kata-kata, Hemingway mengingatkan bahwa keheningan pun bisa berbicara sangat lantang. Kalau ingin ditutup dengan pelajaran, Hemingway memberi lebih dari sekadar daftar judul buku. Dari dirinya kita belajar bahwa pengalaman hidup bahkan yang paling pahit dan penuh luka bisa diolah menjadi karya yang jujur dan kuat. Ia tidak menulis dari menara gading, tetapi dari parit-parit sejarah perang, cinta yang kandas, kehilangan teman, kegagalan pribadi. Semua itu ia destilasi menjadi kalimat-kalimat pendek yang tenang, namun menyimpan gelombang emosi di bawah permukaan. Di sini, Hemingway mengajarkan pentingnya kejujuran pada pengalaman sendiri menatap kenyataan apa adanya, lalu menuliskannya tanpa topeng dan tanpa berlebihan.

    Pelajaran kedua adalah tentang kesederhanaan yang tidak sederhana. Gaya prosa Hemingway tampak ringkas, tetapi dibangun dari disiplin yang luar biasa: memilih satu kata yang tepat, bukan sepuluh kata yang indah tetapi mubazir. Ini bisa diperluas melampaui dunia sastra dalam berbicara, memimpin, atau mengambil keputusan, sering kali yang paling dibutuhkan justru kejernihan, bukan keramaian. Ia menunjukkan bahwa kekuatan tidak selalu hadir dalam teriakan, tetapi dalam kalimat tenang yang menghantam langsung ke pusat persoalan.  Pada saat yang sama, kehidupan Hemingway juga menjadi peringatan. Di balik citra lelaki tangguh dan petualang, ada manusia yang rapuh, digerogoti depresi dan rasa hampa. Akhir hidupnya yang tragis mengingatkan bahwa keberanian fisik dan kesuksesan publik tidak otomatis sejalan dengan kesehatan jiwa. Dari sini kita belajar untuk tidak mengglorifikasi mitos “macho” yang menekan emosi, melainkan pentingnya mengakui kelemahan, mencari bantuan, dan menjaga diri sendiri, sesuatu yang tidak banyak dibicarakan pada zamannya.

    Hemingway mengajarkan satu hal sederhana bahwa manusia boleh kalah, tetapi tidak harus menyerah. Seperti Santiago yang kembali ke pantai hanya dengan kerangka ikan, ia mungkin pulang dengan tangan kosong secara lahiriah, tetapi martabatnya tetap utuh. Dalam dunia yang sering mengukur nilai manusia dari kemenangan dan angka-angka keberhasilan, warisan Hemingway mengingatkan kita bahwa cara kita bertahan, cara kita memikul luka, dan cara kita tetap jujur pada diri sendiri, adalah kemenangan yang jauh lebih sunyi tetapi juga sekaligus jauh lebih bermakna.

    Jakarta 3 Desember 2025

    Chappy Hakim

    Dikutip  dan disusun ulang dari berbagai sumber

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleMark Twain dan Kemanusiaan
    Next Article Morowali dan Pembangunan Nasional
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Kebakaran dan Kebakaran Lagi

    12/11/2025
    Article

    UU Pengelolaan Ruang Udara dan Dewan Penerbangan

    12/11/2025
    Article

    Morowali dan Tata Kelola Wilayah Udara Nasional

    12/11/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.