Fenomena penggunaan drone sebagai alternatif baru pengganti pesawat terbang konvensional baik untuk logistik, pemantauan, maupun misi khusus telah bergerak dari tahap eksperimen menuju operasi nyata di berbagai belahan dunia. Dalam konteks ini ICAO akan menjadikan Second Advanced Air Mobility Symposium (AAM 2026) di Bangkok pada 1–3 Desember 2026 sebagai panggung global untuk menjawab satu pertanyaan krusial, apakah dunia sungguh-sungguh siap membawa konsep taksi terbang dan mobilitas udara canggih dari tataran wacana menuju sistem transportasi nyata yang aman, masif, dan terintegrasi lintas negara. Di bawah tema “From Vision to Implementation, Enabling the AAM Ecosystem”, fokusnya bukan lagi sekadar menjelaskan apa itu AAM, melainkan bagaimana memindahkan AAM dari pilot project dan demonstrasi spektakuler menjadi bagian utuh dari sistem penerbangan sipil dunia.
Simposium ini akan menelaah jalur-jalur kritis dari operasi awal AAM—khususnya penggunaan unmanned aircraft systems (UAS) dan electric vertical take-off and landing (eVTOL), menuju sistem yang aman, dapat diskalakan, dan interoperable secara global. Teknologi sudah berlari jauh dan drone logistik telah mulai beroperasi di banyak negara, desain eVTOL untuk air taxi dan misi khusus bermunculan, investasi mengalir dalam jumlah besar. Namun regulasi, tata kelola ruang udara, kesiapan infrastruktur dan kota, serta kerangka kerja global belum tentu bergerak secepat itu. Di sinilah ICAO berupaya merumuskan bahasa bersama, standar operasi, dan kerangka regulasi yang menjadi rujukan semua negara agar tidak berjalan sendiri-sendiri.
Tantangan yang dihadapi AAM tidak sederhana. Di satu sisi, AAM menjanjikan efisiensi, pengurangan kemacetan, dan kontribusi terhadap penurunan emisi. Di sisi lain, muncul pertanyaan serius mengenai keselamatan, kelaikudaraan, manajemen ruang udara, keamanan, privasi, dan penerimaan publik. Ruang udara rendah di atas kota yang selama ini relatif “longgar” harus mulai diatur dengan rinci, dan sistem UAS Traffic Management maupun urban air traffic management harus menyatu dengan sistem kontrol lalu lintas udara yang sudah ada. Di tengah meningkatnya otomasi hingga ke arah operasi semi otonom dan otonom penuh, peran manusia antara lain pilot, pengendali lalu lintas udara, teknisi, hingga aparat keamanan juga harus didefinisikan ulang dan disiapkan kembali.
Dalam konteks seperti ini, Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk hanya menjadi penonton. Posisi geografis Republik Indonesia di jantung Indo-Pasifik, di persimpangan jalur laut dan udara utama dunia, menjadikannya aktor strategis dalam setiap pembahasan mengenai arsitektur ruang udara dan mobilitas masa depan. Indonesia adalah negara kepulauan raksasa dengan ribuan pulau, kawasan perbatasan yang luas, serta ketimpangan akses transportasi yang nyata antara wilayah inti dan daerah 3T. Dalam konfigurasi seperti itu, AAM bukan sekadar simbol kota futuristik, melainkan berpotensi menjadi instrumen strategis untuk memperkuat konektivitas, mendukung layanan darurat dan penanggulangan bencana, serta mengurangi kesenjangan pelayanan publik antarwilayah.
Karena itu, posisi Indonesia dalam AAM 2026 harus tegas dan proaktif. Indonesia perlu hadir bukan hanya sebagai peserta yang mencatat hasil forum, tetapi sebagai negara strategis Indo-Pasifik yang berupaya mengarahkan pembahasan. Dalam diskusi standar operasi, sertifikasi, dan pengelolaan ruang udara rendah, Indonesia patut menegaskan perspektif negara kepulauan dan negara berkembang yakni bahwa AAM harus dirancang bukan hanya untuk melayani kelas menengah atas di megakota negara maju, tetapi juga untuk menjawab kebutuhan konektivitas, pelayanan masyarakat, dan keselamatan di wilayah terpencil dan perbatasan. AAM harus ditempatkan sebagai bagian dari agenda pemerataan pembangunan, bukan sekadar aksesoris teknologi.
Di saat yang sama, Indonesia perlu menegaskan bahwa integrasi AAM ke dalam ruang udara nasional tidak boleh melemahkan kedaulatan atau mengabaikan dimensi pertahanan. Pengalaman panjang terkait FIR, batas udara, dan ruang udara strategis menunjukkan bahwa langit Indonesia bukan hanya domain ekonomi, tetapi juga domain pertahanan dan keamanan nasional. AAM akan beroperasi dalam skala besar di ketinggian rendah yang sensitif, termasuk di sekitar instalasi vital, pangkalan militer, dan kota besar. Karena itu, diskursus ICAO tentang AAM harus secara eksplisit memasukkan kebutuhan koordinasi sipil militer, mekanisme identifikasi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran, serta ruang kebijakan bagi tiap negara untuk melindungi kepentingan strategisnya.
Momentum AAM 2026 juga harus menjadi cermin bagi Indonesia untuk menata ulang arsitektur tata kelola penerbangan di dalam negeri yang selama ini masih terfragmentasi antara regulator, operator bandara, penyedia navigasi, aparat pertahanan, dan pemerintah daerah. Negara dengan posisi strategis di Indo-Pasifik tidak boleh terus terjebak dalam pola sektoral yang terpisah-pisah. Indonesia justru harus mengambil inisiatif membangun tata kelola ruang udara yang terpadu, transparan, dan mampu mengakomodasi inovasi seperti AAM tanpa mengorbankan keselamatan dan kedaulatan.
Singkatnya, simposium AAM 2026 di Bangkok bukan sekadar acara teknis tentang taksi terbang. Di balik forum itu sedang dirumuskan potongan penting dari arsitektur baru mobilitas dan tata kelola ruang udara dunia. Dengan letak yang amat strategis di jantung Indo-Pasifik, bentuk wilayah kepulauan yang membentang dari Samudra Hindia hingga Pasifik, serta jumlah penduduk yang besar dan kian urban, Indonesia bukan hanya pantas ikut dalam percakapan tentang masa depan mobilitas udara, tetapi idealnya harus tampil sebagai pilot project bagi dunia tentang bagaimana Advanced Air Mobility dapat diterapkan secara nyata, adil, aman, dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Yang harus di ingat bahwa fenomena penggunaan drone dan air taxi adalah perkembangan yang tidak bisa di bendung laju kemajuannya. Ayo Indonesia bangkit!
Jakarta 24 November 2025
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia

