Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Dari Tjililitan ke Halim Perdanakusuma
    Article

    Dari Tjililitan ke Halim Perdanakusuma

    Chappy HakimBy Chappy Hakim09/13/2025No Comments5 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Sejarah penerbangan di Jakarta tidak bisa dilepaskan dari keberadaan sebuah lapangan terbang yang pada mulanya dikenal dengan nama Vliegveld Tjililitan. Dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1920-an, lapangan udara ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan militer Hindia Belanda.  Lapangan terbang Tjililitan (Vliegveld Tjililitan) dibangun pada dekade 1920-an oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejak awal, lapangan udara ini murni dirancang untuk kepentingan militer, bukan untuk penerbangan komersial. Ia difungsikan sebagai pangkalan udara Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) dan basis operasi Militaire Luchtvaart KNIL (ML-KNIL), cabang penerbangan militer Hindia Belanda. Lokasinya dipilih karena strategis: berada di pinggiran timur Batavia, relatif jauh dari pusat kota, dan memiliki lahan yang luas untuk pergerakan pesawat militer.

    Meski kemudian maskapai kolonial KNILM (Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij) berdiri pada 1928, Tjililitan hanya sesekali dipakai untuk penerbangan sipil terbatas. Pusat penerbangan komersial tetap berada di Bandara Kemayoran yang baru diresmikan tahun 1940. Dengan demikian, sepanjang masa kolonial Belanda, Tjililitan berstatus utama sebagai pangkalan militer. Pesawat-pesawat pertama yang mendarat di Tjililitan adalah jenis transportasi ringan dan pesawat angkut militer Belanda, diikuti pesawat komersial KNILM yang melayani jalur Batavia–Bandung–Semarang–Surabaya. Sejak itu, Tjililitan menjadi simpul penting jaringan penerbangan Hindia Belanda, baik untuk mobilisasi pasukan maupun perhubungan antar-kota besar.

    Kehadiran Tjililitan ternyata juga membuatnya ikut menjadi saksi sejarah kelam. Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), bandara ini diambil alih oleh Angkatan Udara Kekaisaran Jepang dan digunakan sebagai pangkalan militer. Banyak pesawat tempur Jepang, terutama tipe Mitsubishi Zero, beroperasi dari Tjililitan untuk kepentingan perang di kawasan Asia Pasifik. Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Tjililitan dengan cepat menjadi rebutan. Lapangan udara ini akhirnya berhasil dikuasai pejuang Indonesia dan dijadikan salah satu basis pertama Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Dari sinilah awal mula peran pentingnya dalam sejarah TNI Angkatan Udara.  Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia resmi mengganti nama lapangan terbang Tjililitan menjadi Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, untuk mengenang pahlawan nasional penerbang AURI, Komodor Muda Halim Perdanakusuma, yang gugur dalam misi penerbangan di Malaya tahun 1947. Sejak saat itu, Halim menjadi markas besar AURI, termasuk pusat komando Pertahanan Udara Nasional.

    Memasuki dekade 1970-an, peran Halim meluas. Selain sebagai pangkalan militer, ia juga difungsikan sebagai bandara sipil internasional untuk melayani penerbangan komersial, terutama karena Kemayoran, bandara sipil utama saat itu, sudah tidak mampu menampung pertumbuhan lalu lintas penerbangan. Maskapai internasional besar seperti Garuda Indonesia, KLM, Pan Am, dan Singapore Airlines pernah menggunakan Halim sebagai titik masuk Jakarta. Selama beberapa tahun, Halim menyandang status ganda: pangkalan udara strategis AURI sekaligus bandara sipil internasional. Namun, kapasitas Halim yang terbatas, lokasinya yang semakin terhimpit oleh pemukiman, serta pertumbuhan penerbangan sipil yang begitu pesat, mendorong pemerintah merencanakan pembangunan bandara baru. Pada tahun 1985, Bandara Internasional Soekarno Hatta diresmikan dan mengambil alih seluruh penerbangan sipil internasional maupun domestik dari Halim. Sejak itu, Halim kembali difokuskan menjadi pangkalan udara militer, meskipun hingga kini masih melayani penerbangan sipil terbatas, terutama untuk rute domestik dan penerbangan carter.

    Dengan segala lapisan sejarahnya, Halim Perdanakusuma hari ini bukan hanya sekadar bandara, melainkan juga monumen hidup perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam membangun kekuatan udara. Dari awalnya dibangun Belanda sebagai Tjililitan untuk kepentingan kolonial, hingga kini menjadi markas militer strategis sekaligus salah satu pintu gerbang penerbangan di Jakarta, Halim menyimpan kisah evolusi kedirgantaraan negeri ini dari masa kolonial, pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan, hingga era modern. Penggunaan Halim Perdanakusuma sebagai bandara sipil tidak pernah lepas dari kontroversi. Sejak awal, di jaman Belanda kawasan ini adalah  merupakan home base sistem pertahanan udara Hindia Belanda. Selanjutnya menjadi Pangkalan Udara Utama TNI Angkatan Udarasekaligus markas besar Pusat Pertahanan Udara Nasional. Status tersebut menandakan bahwa wilayah Halim sejatinya adalah kawasan terbatas atau restricted area yang semestinya steril dari aktivitas publik. Kehadiran penerbangan komersial, bahkan pembangunan fasilitas umum seperti stasiun kereta api di dalam kawasan Halim,  sangat tidak tepat dari sudut pandang keamanan nasional. Banyak kalangan  menilai bahwa fungsi ganda Halim menimbulkan kerentanan, sebab aktivitas sipil berpotensi mengganggu operasi pertahanan udara. Di sisi lain, pemerintah berulang kali berdalih bahwa penggunaan Halim untuk penerbangan sipil bersifat sementara dan demi kebutuhan praktis mengatasi kepadatan lalu lintas udara Jakarta. Perdebatan inilah yang hingga kini menjadikan Halim sebagai salah satu bandara dengan status paling unik, karena berada di persimpangan antara kepentingan pertahanan negara dan kebutuhan penerbangan sipil.  Sejarah panjang Halim Perdanakusuma, sejak bernama Tjililitan pada masa kolonial Belanda hingga kini, merefleksikan perjalanan Indonesia dalam menegosiasikan ruang udara antara kepentingan militer dan sipil. Dari pangkalan militer Belanda, basis Jepang di masa Perang Dunia II, hingga markas pertama AURI pasca kemerdekaan, Halim senantiasa menjadi pusat pertahanan udara sekaligus simbol kedaulatan. Namun, fungsinya yang berlapis pangkalan udara strategis dan bandara sipil internasional pada 1970-an menunjukkan dilema abadi bagaimana negara tidak mampu menyeimbangkan kebutuhan keamanan dengan kepentingan transportasi udara komersial.  Kawasan terbatas bagi kepentingan Kemanan Nasional di jadikan juga sebagai kawasan terbuka bagi publik.  Sebuah Ironi.  Kini, meski Bandara Soekarno Hatta telah mengambil alih peran utama penerbangan sipil, Halim tetap menyandang status unik sebagai bandara militer yang juga terbuka bagi aktivitas penerbangan terbatas. Situasi ini memperlihatkan betapa kompleksnya manajemen ruang udara di negara kepulauan sebesar Indonesia, di mana setiap keputusan terkait bandara tidak sekadar soal transportasi, tetapi juga soal kedaulatan, strategi pertahanan, dan arah pembangunan nasional. Halim dengan demikian bukan hanya infrastruktur, melainkan cermin tarik-menarik kepentingan sipil dan militer, sekaligus bukti bahwa kedirgantaraan Indonesia belum ditata dengan baik dan benar.  Sebuah tantangan besar ke depan berkait dengan eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa.

    Referensi

    • Hakim, Chappy. Air Power Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2013.
    • Cribb, Robert, dan Audrey Kahin. Historical Dictionary of Indonesia. Lanham: Scarecrow Press, 2004.
    • Dick, Howard, Vincent J.H. Houben, J. Thomas Lindblad, dan Thee Kian Wie. The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800–2000. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2002.
    • Nasution, A.H. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Angkasa, 1977.
    • Suryadarma, Suryadi, et al. Sejarah TNI Angkatan Udara 1945–1970. Jakarta: Dinas Sejarah TNI AU, 1985.
    • Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c. 1200. Stanford: Stanford University Press, 2008.

    Jakarta 10 September 2025

    Chappy Hakim Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleGelombang Protes Nasional & Ketegangan Sosial
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Gelombang Protes Nasional & Ketegangan Sosial

    09/13/2025
    Article

    Biak sebagai Lokasi Ideal untuk Pusat Peluncuran Antariksa Indonesia

    09/13/2025
    Article

    Dua Pilar Pemikiran Strategis Air Power Modern Five Rings Model dan OODA Loop

    09/13/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.