Dua Wajah Panggung Global
Dalam dunia yang semakin saling terhubung, tidak ada satu pun negara yang mampu berdiri sendiri menghadapi kompleksitas ekonomi global. Dinamika perdagangan internasional, arus investasi lintas batas, perkembangan teknologi, hingga tantangan perubahan iklim dan kesehatan dunia menuntut adanya kerja sama yang terorganisir. Kerja sama ekonomi, baik di tingkat regional maupun global, tidak boleh berjalan secara sporadis atau terpisah-pisah, melainkan harus dikelola dalam suatu kerangka bersama yang mampu menjamin keteraturan, keseimbangan, dan manfaat timbal balik.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa integrasi ekonomi yang terarah mampu menciptakan pertumbuhan yang lebih berkelanjutan. Di tingkat regional, kesepakatan seperti ASEAN, Uni Eropa, atau NAFTA telah membuktikan bahwa solidaritas ekonomi kawasan dapat memperkuat daya tawar kolektif. Sementara di tingkat global, forum-forum multilateral seperti G20, IMF, WTO, hingga pertemuan tahunan di Davos memberikan ruang dialog untuk menyelaraskan kebijakan antarnegara. Tanpa kerangka kerja sama yang terukur, ekonomi dunia rentan dipenuhi ketidakpastian, konflik kepentingan, bahkan proteksionisme yang kontraproduktif.
Karena itulah, forum-forum ekonomi internasional lahir untuk menjadi wadah koordinasi, pertukaran pandangan, dan pencarian solusi bersama. World Economic Forum (WEF) di Davos dan Boao Forum for Asia (BFA) di Hainan, Tiongkok, merupakan dua contoh paling menonjol bagaimana dunia berupaya membangun arsitektur dialog ekonomi yang melibatkan negara, pebisnis, dan akademisi. Keduanya memang berbeda dalam lingkup dan orientasi, namun berbagi tujuan yang sama yakni menata kerja sama ekonomi dalam kerangka yang lebih terarah dan berjangka panjang, agar manfaat globalisasi dapat dirasakan lebih merata.
Dalam percaturan global, forum internasional kerap menjadi panggung bagi para pemimpin dunia, pengusaha besar, dan pemikir lintas bidang untuk membicarakan arah perkembangan dunia. Sejak lama, World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, telah menjadi ikon pertemuan global yang merepresentasikan perspektif Barat. Setiap awal tahun, Davos disesaki para kepala negara, CEO perusahaan multinasional, akademisi, hingga aktivis yang berbicara tentang masa depan ekonomi dunia, isu lingkungan, teknologi, hingga geopolitik. Lahir pada tahun 1971, forum ini membawa misi besar yaitu menghubungkan elite politik dan ekonomi dalam satu ruang dialog. Dari sanalah sering muncul gagasan, peringatan, bahkan kebijakan yang memengaruhi wajah dunia.
Memasuki abad ke-21, Asia bangkit sebagai kekuatan ekonomi baru. Dinamika global tidak lagi hanya digerakkan oleh Barat, melainkan juga oleh Tiongkok, India, Jepang, Korea, dan negara-negara Asia Tenggara. Dari kebutuhan akan forum yang mewakili suara Asia inilah Boao Forum for Asia (BFA) lahir pada tahun 2001. Boao adalah nama dari sebuah kota kecil di Pulau Hainan, Tiongkok. Kota ini dipilih sebagai tuan rumah tetap. Pemilihan lokasi ini bukan kebetulan. Hainan selama ini diproyeksikan oleh Tiongkok sebagai simbol keterbukaan dan pintu gerbang kerja sama internasional. Kota Boao sendiri jauh dari hiruk-pikuk metropolitan, sehingga menghadirkan nuansa netral, damai, dan cocok dijadikan pusat refleksi serta diskusi yang bebas dari tekanan politik domestik yang berlebihan.
Boao Forum for Asia menjadi jawaban Asia atas dominasi wacana global yang selama ini berpusat di Barat. Forum ini menampilkan perspektif Asia dalam menanggapi isu-isu besar dunia. Fokusnya memang lebih banyak kepada kerja sama ekonomi kawasan, pembangunan infrastruktur, perdagangan, dan strategi pertumbuhan. Tetapi seiring waktu, Boao tidak hanya menjadi forum regional, melainkan juga menarik perhatian dunia internasional. Tokoh-tokoh global dari luar Asia pun hadir, baik dari Eropa, Amerika, maupun Afrika, untuk membangun jejaring dengan Asia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Tidak jarang pula Boao menjadi ajang bagi Tiongkok untuk menyuarakan inisiatif strategis seperti Belt and Road Initiative, yang ingin menghubungkan Asia dengan Afrika dan Eropa melalui jalur perdagangan modern. Jika Davos lahir dari konteks Eropa yang stabil dan ingin mengonsolidasikan keterhubungan global pasca-Perang Dunia, maka Boao lahir dari semangat Asia yang sedang bangkit, mencari tempat di antara kekuatan besar dunia, dan ingin mendefinisikan peranannya sendiri. Davos menjadi simbol netralitas Eropa, sementara Boao mencerminkan simbol kebangkitan Asia, khususnya Tiongkok. Peserta Davos memang datang dari berbagai belahan dunia dan mencerminkan keberagaman perspektif global, sedangkan Boao lebih banyak dihadiri oleh pemimpin negara Asia dan para pelaku bisnis kawasan, meskipun perlahan meluas dengan kehadiran undangan internasional.
Dalam geopolitik, keduanya memiliki fungsi berbeda. Davos menjadi ruang diskusi global yang seakan netral, tetapi tidak bisa dilepaskan dari perspektif Barat. Sementara Boao secara jelas memposisikan dirinya sebagai forum Asia yang ingin menampilkan wajah kawasan ini kepada dunia. Ia menjadi cermin bahwa Asia tidak hanya menjadi objek globalisasi, melainkan juga subjek yang menentukan arah perubahan dunia. Dalam hal ini, Boao adalah cerminan tekad Asia untuk menyeimbangkan dominasi Barat, sementara Davos tetap menjadi panggung tradisional yang menghubungkan kepentingan global lintas benua.
Maka jika disederhanakan, Davos adalah panggung dunia yang telah mapan dengan tradisi panjangnya, sementara Boao adalah panggung alternatif dari Asia yang tengah membuktikan diri sebagai motor pertumbuhan global. Boao adalah Davos versi Asia, namun dengan nuansa yang berbeda yakni lebih menekankan pada solidaritas regional, kepentingan strategis Tiongkok, serta optimisme bahwa abad ke-21 akan menjadi abad Asia. Bagi Indonesia sendiri, keberadaan dua forum besar ini membuka peluang sekaligus tantangan. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dengan posisi geostrategis yang vital, Indonesia perlu memainkan peran aktif di Davos maupun Boao. Di Davos, Indonesia dapat menegaskan identitasnya sebagai negara berkembang yang mampu menjadi jembatan antara Utara dan Selatan, antara kepentingan Barat dan dunia berkembang. Sementara di Boao, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperkuat kepemimpinannya di Asia, memperdalam kerja sama ekonomi kawasan, sekaligus memastikan bahwa kepentingan nasional tidak larut dalam dominasi satu negara besar saja. Implikasi bagi pembangunan nasional sangat nyata terlihat pada keterlibatan aktif dalam kedua forum yang akan membuka akses pada investasi, teknologi, jejaring global, serta memperkokoh posisi Indonesia dalam percaturan dunia. Dengan demikian, forum-forum internasional seperti Boao dan Davos seharusnya tidak hanya dipandang sebagai ajang diplomasi seremonial, melainkan juga instrumen strategis untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.