Dari Bengkel Belanda ke Panggung Dunia
Bandung tidak hanya harum namanya sebagai kota kembang, kota pendidikan, dan kota perjuangan. Di balik udara sejuk pegunungannya, tersimpan banyak cerita panjang yang menjadi bagian penting dari sejarah kedirgantaraan Indonesia. Di kota inilah, sejak zaman kolonial Belanda, berdiri sebuah bengkel dan depo logistik pesawat terbang yang kelak menjadi tulang punggung Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Kisahnya dimulai pada 1925, ketika Belanda membuka Lapangan Terbang Andir, cikal bakal Bandara Husein Sastranegara hari ini. Bagi pemerintah Hindia Belanda, Andir bukan sekadar lapangan terbang, melainkan pusat kendali udara di Asia Tenggara. Di akhir 1920-an hingga 1930-an, mereka membangun bengkel dan gudang logistik pesawat di kawasan ini. Di sanalah pesawat-pesawat kolonial dirawat, dari Fokker F.VII yang anggun, Martin B-10 pengebom modern pada zamannya, hingga pesawat tempur lincah Curtiss-Wright CW-21B buatan Amerika. Bandung pun menjelma sebagai “jantung teknis” penerbangan Hindia Belanda.
Bandung juga menjadi panggung dunia penerbangan. Pada Juni 1937, suasana Andir mendadak berbeda. Sebuah pesawat Lockheed 10-E Electra yang gagah mendarat dengan tenang. Ia milik seorang perempuan yang kala itu menjadi legenda, Amelia Earhart. Dalam perjalanan keliling dunianya, ia memilih Bandung sebagai salah satu persinggahan. Warga, pejabat, dan teknisi berbondong-bondong menyaksikan momen bersejarah itu. Tak seorang pun menyangka, hanya beberapa minggu setelah meninggalkan Indonesia, Amelia akan hilang misterius di Samudra Pasifik. Hingga kini, jejak singgahnya di Bandung tetap dikenang sebagai bagian dari sejarah global yang menempel pada kota ini. Pesawat asing lain pun bergantian hadir. Douglas DC-3 Dakota, ikon penerbangan sipil dunia, mendarat di Andir baik dalam layanan KNILM di masa kolonial maupun Garuda Indonesia setelah merdeka. PBY Catalina, pesawat amfibi buatan Amerika, sempat dirawat di bengkel Bandung. Bahkan pesawat-pesawat Jerman seperti Junkers dan tempur Brewster Buffalo juga menjadi bagian dari riuh rendah hanggar-hanggar depo logistik ini. Bandung bukan lagi sekadar kota pegunungan; ia adalah simpul dunia penerbangan internasional.
Ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 bergema, depo logistik ini segera berubah wajah. Para pemuda pejuang mengambil alihnya, menjadikannya bagian dari AURI yang baru lahir. Fasilitas yang dulu dibangun untuk kepentingan kolonial kini berpindah tangan ke anak bangsa. Di tengah keterbatasan, para teknisi muda Indonesia belajar “menghidupkan pesawat yang sudah mati”. Dengan kreativitas dan semangat, mereka membangkitkan kembali pesawat peninggalan Belanda dan Jepang, bahkan pesawat rampasan perang. Dari sinilah lahir tradisi kemandirian teknis AURI, bahwa Indonesia bisa menjaga sayapnya sendiri. Sepuluh tahun kemudian, Bandung kembali jadi sorotan dunia. Tahun 1955, kota ini menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika (KAA). Di Lapangan Terbang Andir, satu per satu pesawat VIP dari berbagai negara mendarat. Dari kejauhan, tampak pesawat yang membawa Jawaharlal Nehru dari India, disusul pesawat rombongan Zhou Enlai dari Tiongkok, lalu Gamal Abdel Nasser dari Mesir, hingga Josip Broz Tito dari Yugoslavia. Riuh rendah penyambutan delegasi internasional menjadikan Andir sebagai simpul diplomasi udara, sekaligus menandai Bandung bukan hanya kota perjuangan, tetapi juga kota yang menyalakan solidaritas Asia-Afrika. Seiring waktu, depo logistik di Bandung tetap menjadi pusat pemeliharaan AURI. Dari bengkel sederhana warisan Belanda, fasilitas ini menjelma sebagai pusat distribusi logistik udara nasional. Generasi demi generasi teknisi Angkatan Udara ditempa di sana. Dari tempat inilah AURI belajar bahwa kedaulatan udara bukan hanya urusan jet tempur canggih, melainkan juga kemampuan untuk merawat, memperbaiki, dan menjaga kesiapan armada.
Hari ini, ketika teknologi melesat ke era pesawat siluman dan drone tempur, Bandung masih menyimpan pelajaran berharga. Bahwa kedaulatan udara Indonesia berdiri di atas fondasi kemandirian teknis yang dirintis sejak 1920-an. Dari hanggar tua yang dulu menyambut Amelia Earhart, hingga deretan pesawat VIP yang membawa tokoh Asia-Afrika, Bandung telah menorehkan namanya sebagai kota yang sejak awal berdiri di garis depan sejarah kedirgantaraan Indonesia dan dunia. Dan kini, sebagian besar kawasan bersejarah itu telah bertransformasi menjadi kompleks PT Dirgantara Indonesia (PTDI), melanjutkan tradisi Bandung sebagai pusat industri kedirgantaraan nasional dan menjembatani masa lalu dengan masa depan teknologi penerbangan Indonesia. Lebih jauh lagi, lokasi ini juga menyimpan catatan emas tentang sosok Laksamana Udara Nurtanio Pringgoadisurjo, pionir industri pesawat terbang Indonesia. Dari bengkel yang sederhana di Bandung, ia bersama timnya merintis karya-karya pertama buatan anak bangsa. Pada 1954 lahir pesawat Si Kumbang A-01, pesawat latih ringan bermesin tunggal yang sekaligus menjadi pesawat pertama hasil rancangan putra Indonesia. Tak berhenti di situ, Nurtanio kemudian melahirkan pesawat Belalang 89 dan Belalang 90, yang digunakan untuk latihan terbang para kadet AURI. Menyusul setelah itu, pesawat ringan Kunang-25 dan Kunang-35 tercipta sebagai bukti keberanian bangsa merintis kemandirian dirgantara. Hingga awal 1960-an, muncullah Gelatik, pesawat latih bermesin piston yang dibuat dalam jumlah lebih banyak dan dipakai secara luas di Indonesia. Karya-karya awal Nurtanio inilah yang menjadi pondasi berdirinya industri kedirgantaraan nasional, yang kemudian berkembang menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (LIPNUR), lalu IPTN, dan kini PTDI. Dengan demikian, kawasan depo logistik di Bandung bukan hanya saksi sejarah kolonial dan diplomasi internasional, tetapi juga rahim kelahiran pesawat-pesawat karya anak bangsa yang menegaskan bahwa Indonesia mampu membangun sayapnya sendiri. Sebagai catatan lainnya, pada dekade 1960-an, ketika industri kedirgantaraan Indonesia masih dalam tahap awal, Yum Soemarsono bersama tim kecilnya mencoba membuat rancangan helikopter sederhana. Proyek itu dikenal dengan nama helikopter YH-4, sebuah helikopter ringan berkapasitas dua orang. Helikopter ini menggunakan mesin piston dan konstruksinya sebagian besar dikerjakan dengan kemampuan lokal. Meski masih eksperimental dan tidak diproduksi massal, langkah Yum Soemarsono mencatatkan sejarah bahwa bangsa Indonesia sudah berusaha menguasai teknologi rotorcraft jauh sebelum era modern. Jejak Yum Soemarsono dalam perintisan helikopter memang jarang dikupas dalam arus utama sejarah, tetapi perannya menegaskan bahwa Indonesia sejak awal punya visi luas yakni tidak hanya pesawat sayap tetap, tetapi juga sayap putar sebagai bagian dari kemandirian teknologi. Apa yang dilakukan Yum menjadi salah satu batu pijakan intelektual dan teknis yang kelak memberi inspirasi bagi lahirnya industri helikopter di Indonesia, termasuk kerja sama produksi helikopter NAS-332 Super Puma dan Bell 412 di era IPTN. Demikianlah Bandung dari bengkel pesawat Belanda menuju panggung dunia melalui upaya mandiri produksi pesawat terbang.
Daftar Referensi
Aditya, Bambang S. 2005. Nurtanio: Bapak Industri Dirgantara Indonesia. Bandung: LIPI Press.
Groen, Peter. 1989. Militaire Luchtvaart in Nederlands-Indië 1914–1942. Den Haag: SDU Uitgeverij.
Hakim, Chappy. 2013. Air Power Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Iskandar, Jusman Syafii. 2010. Sejarah Penerbangan di Indonesia. Jakarta: Kementerian Perhubungan.
Panitia Konferensi Asia-Afrika. 1955. Dokumentasi Konferensi Asia-Afrika 1955. Bandung: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Smith, Gene. 1995. Amelia Earhart: The Mystery Solved. New York: Random House.
Suryadarma, S. 1970. Riwayat Awal Industri Pesawat Indonesia. Jakarta: Dispenau.
Jakarta 10 September 2025
Chappy Hakim Pusat Studi Air Power Indonesia
Disusun, dirangkum dari berbagai sumber dan AI