Ketika Wilayah Udara Kita Dikuasai Orang Lain
Bahaya Nyata yang Terus Diabaikan
Belajar dari memahami betapa seriusnya Amerika Serikat membangun doktrin udara sebagai pilar utama pertahanan nasionalnya, kita patut bertanya: bagaimana dengan Indonesia?
Ironisnya, alih-alih merancang doktrin udara yang berpijak pada realitas geografis sebagai negara kepulauan strategis, kita justru menyerahkan sebagian wilayah udara kita yang sangat critical dan vital kepada negara lain. Dalam istilah halus, disebut sebagai “delegasi pengelolaan”, padahal sejatinya itu adalah penyerahan kendali atas sebagian kedaulatan nasional di wilayah teritoti sendiri.
Contoh paling memprihatinkan adalah wilayah udara di atas Kepulauan Riau, Natuna, dan sebagian Selat Malaka yang dikelola oleh Singapura melalui perjanjian RI Singapura tahun 2022. Secara teknis, alasan yang kerap diajukan adalah “demi efisiensi keselamatan penerbangan sipil”. Tapi sesungguhnya, realitanya inilah pintu masuk kehancuran strategi pertahanan udara kita secara sistemik dan perlahan. Bagaimana mungkin sebuah negara merdeka—yang mengaku berdaulat dari Sabang sampai Merauke—tidak bisa mengatur sendiri lalu lintas udara di wilayahnya? Tidak bisa mengawasi siapa yang masuk dan keluar dari kawasan udara teritorinya sendiri? Padahal, wilayah udara bukan sekedar jalur penerbangan, tapi juga avenue of approach bagi ancaman militer.
Kita harus bicara terus terang: setiap jengkal wilayah udara yang tidak berada dalam kendali kita adalah lubang besar dalam sistem pertahanan negara, lebih lebih posisinya berada di serambi muka rumah kita. Tidak ada negara berdaulat yang berani secara gegabah menyerahkan airspace strategisnya kepada negara lain—apalagi kepada negara tetangga yang dalam sejarahnya merupakan pihak yang selalu mempertahankan kepentingan strategisnya sendiri dengan sangat agresif.
Apa yang terjadi jika sewaktu-waktu terjadi konflik atau krisis di kawasan? Siapa yang akan mengendalikan ruang udara untuk kepentingan militer kita? Apakah pesawat-pesawat tempur TNI AU harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara tetangga untuk melintas di atas tanah airnya sendiri? Pertanyaan ini bukan retoris. Ini adalah masalah nyata. Bahkan dalam operasi militer dalam negeri sekalipun, TNI AU sering kali harus berkoordinasi dengan pihak luar hanya untuk mengakses ruang udaranya sendiri. Situasi ini bertentangan secara langsung dengan Pasal 458 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menyatakan bahwa pendelegasian wilayah udara RI kepada negara lain sudah harus berakhir pada tahun 2024. Lebih dari itu, praktik ini mengkhianati semangat Konvensi Chicago 1944, yang menjamin bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas teritorialnya.
Mengapa ini berbahaya?
Karena ancaman modern bukan lagi datang dari kapal perang yang tampak atau pasukan yang mendarat. Ancaman masa kini datang dari udara. Pesawat siluman, drone bersenjata, rudal jelajah, hingga satelit mata-mata—semua masuk dari atas. Dan kita, yang seharusnya memiliki radar, sensor, dan kemampuan intersepsi di wilayah kita sendiri, justru membiarkan negara lain menjadi penjaga gerbangnya. Aneh bin Ajaib.
Kita bisa banyak belajar dari pengalaman pahit negara lain. Ukraina, sebelum perang 2022, kehilangan kendali atas sebagian ruang udaranya di wilayah timur akibat intervensi asing yang diam-diam masuk lewat celah kelemahan pengawasan udara. Dan ketika perang benar-benar pecah, Ukraina tidak bisa sepenuhnya melindungi wilayahnya dari serangan rudal dan drone, karena sistem pertahanannya tidak sempat dirancang untuk mengawasi wilayah udara secara menyeluruh dalam satu sistem terpadu.
Apakah kita ingin Indonesia bernasib serupa?
Kini saatnya kita menyadari: udara bukan hanya tempat pesawat terbang. Langit adalah bagian dari tanah air, dari martabat, dari eksistensi bangsa. Tanpa doktrin udara yang kuat dan komprehensif, tanpa kontrol penuh atas wilayah udara kita sendiri, maka kita hanya akan menjadi penumpang di negeri sendiri—bahkan mungkin hanya menjadi operator ground handling bagi pihak lain yang menerbangkan pesawat-pesawatnya di atas kepala kita.
Doktrin udara yang dibangun dengan serius, seperti yang dilakukan Amerika Serikat, adalah pondasi bagi negara yang ingin berdaulat secara utuh—di darat, di laut, dan di udara.
Catatan Akhir:
Sudah waktunya pemerintah Indonesia:
- Meninjau ulang perjanjian FIR Indonesia–Singapura tahun 2022 yang jelas-jelas berpotensi melanggar UU No. 1 Tahun 2009;
- Membangun Air Defense Identification Zone (ADIZ) secara mandiri, terutama di wilayah Natuna Utara dan kawasan timur Indonesia;
- Mengembangkan doktrin udara nasional sebagai bagian tak terpisahkan dari doktrin pertahanan negara keseluruhan;
- Menyadari bahwa dalam geopolitik modern, kedaulatan udara adalah baris pertama dari pertahanan negara.
Jakarta Medio Juni 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia