counter create hit
ArticleDefense and SecurityOpinion

Selayang Pandang MOOTW  atau  OMSP

 

Dalam doktrin militer Amerika Serikat, operasi militer selain perang akan mencakup penggunaan kemampuan militer dalam operasi yang tidak melibatkan perang. Karena pertimbangan politik, maka operasi MOOTW biasanya memiliki aturan keterlibatan (ROE – Rule Of Engagement) khusus yang lebih ketat daripada dalam perang.

MOOTW atau OMSP dipastikan tidak akan melibatkan penggunaan atau ancaman kekerasan militer termasuk dalam bantuan kemanusiaan, penanggulangan bencana, kontrol senjata, dan pemeliharaan perdamaian.   Pada umumnya MOOTW bergerak dibidang kemanusiaan yang erat hubungannya dengan perdamaian.

Salah satu hal yang sensitif dari OMSP adalah ketika satuan militer diperbantukan dalam mendukung tugas tugas kepolisian.   Menjadi sensitif karena antara lain satuan tugas militer yang berada dibawah komando kendali poslisi kerap harus berhadapan dengan masyarakat sipil.   Pada titik ini unsur kekerasan yang acap kali diperlukan untuk pengendalian masa yang  brutal akan menjurus kepada penilaian bahwa kekuatan militer digunakan untuk “membunuh” rakyatnya sendiri.  Kekuatan militer yang digunakan dalam konteks mendukung satuan Polisi akan dilihat sebagai legalisasi pelanggaran HAM.  Akan dinilai sebagai penggunaan ancaman dan atau kekerasan militer yang sebenarnya berada diluar kaidah dan prosedur standar dari OMSP.   Disinilah selalu saja terjadi dilemma pada tugas tugas Keamanan dan Ketertiban Masyarakat yang sejatinya menjadi tugas pokok kepolisian negara.

Tugas lainnya yang cukup sering dilakukan oleh satuan militer dalam OMSP adalah membantu operasi SAR atau Search And Rescue ketika terjadi bencana alam dan atau kecelakaan pesawat terbang.   Ketika terjadi Tsunami Aceh, tidak hanya satuan militer dari TNI yang turun tangan , akan tetapi juga satuan militer dari banyak negara sahabat.   Pada kondisi yang seperti itu maka satuan tugas BASARNAS (Badan SAR Nasional) tidak mungkin untuk dapat melakukan tugas penyelamatan sendiri.   Itu sebabnya saat Tsunami Aceh, Mabes TNI membentuk satuan tugas dalam kerangka OMSP yang tidak hanya mengendalikan satuan satuan TNI, akan tetapi juga mengkoordinasikan unsur satuan tugas MOOTW yang datang dari banyak negara lain.   Ketika itu Mabes TNI menugaskan seorang berpangkat Marsekal Pertama, bermarkas di Banda Aceh untuk mengendalikan seluruh unsur militer TNI dan Negara Lain agar dapat bergerak dalam satu komando.   Pada kegiatan kegiatan semacam inilah baru akan terasa manfaat dari latihan operasi militer bersama antar negara yang kerap dilakukan.   Menyamakan prosedur operasi antar satuan militer dalam bergerak di lapangan tidak mudah dilakukan apabila mereka belum mengenal satu sama lain.   Hal ini akan lebih menonjol pada misi misi operasi penjaga perdamaian di daerah konflik.   Oleh karena itu maka misi penjaga perdamaian akan selalu bergerak dibawah koordinasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau United Nation Organization (UNO).

Persoalan kebutuhan dukungan administrasi dan logistik bagi satuan militer pada beberapa kecelakaan pesawat terbang yang fatal, tidak bisa dihindari.   Beberapa contoh misi SAR yang melibatkan banyak unsur satuan militer antara lain adalah ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang Air Asia nomor penerbangan 8501 pada 28 Desember 2014 dan kecelakaan pesawat terbang Lion Air JT-610  di Perairan Karawang, 27 November 2018.   Persoalan yang selalu muncul belakangan adalah berkait dengan pertanggung jawaban dan atau pergantian dukungan dana bagi pergerakan pasukan satuan militer yang dibutuhkan dalam mendukung misi SAR.   Yang pasti alokasi anggaran bagi OMSP khusus untuk membantu tim SAR dalam kasus kecelakaan pesawat terbang tidak tersedia.   Andaikata ada pun dipastikan jumlahnya tidak akan memadai dengan kebutuhan lapangan pada operasi SAR.   Sebuah kondisi yang sangat wajar, karena siapa yang mampu menyusun alokasi anggaran bagi kebutuhan dukungan operasi SAR untuk sebuah kecelakaan pesawat terbang yang tidak mungkin dapat diramalkan akan terjadi.   Pada kondisi seperti ini maka pengelolaan dalam manajemen asuransi kecelakaan yang pasti akan dapat mampu berperan.   Tidak ada sebuah pesawat terbang yang akan memperoleh ijin operasi tanpa dukungan asuransi sebagai sebuah prosedur standar dalam dunia Transportasi Internasional.   Pada titik inilah maka peran Kementrian Perhubungan sebagai regulator penerbangan dapat mengemuka dalam mengatasi masalah pertanggung jawaban dan atau pergantian penggunaan dana OMSP pada perasi SAR dalam konteks terjadinya kecelakaan transportasi.   Terutama sekali pada kasus kecelakaan pesawat terbang yang selalu saja membutuhkan dukungan banyak pihak dalam operasi SAR.   Sangat diyakini mekanisme asuransi yang berlaku dalam dunia penerbangan akan juga mencakup dukungan dana SAR bila terjadi kecelakaan.   Pelaksanaan operasi SAR yang membutuhkan satuan militer yang dapat digerakkan dalam bingkai OMSP kiranya harus dipikirkan mengenai dukungan dananya.   OMSP oleh satuan TNI yang dilakukan dalam tugas mendukung BASARNAS akan menjadi semakin handal dan berkualitas, apabila dana yang dibutuhkan atau dana yang sudah terlanjur dikeluarkan tanpa hitungan untung rugi memperoleh pergantian yang layak.   Pergantian dalam hal ini adalah digunakannya anggaran negara (APBN) pada pelaksanaan OMSP dalam mendukung operasi SAR khusunya pada kecelakaan pesawat terbang.   Harus diingat bahwa misi OMSP dalam format dukungan tugas BASARNAS adalah semata berorientasi pada persoalan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Demikianlah Selayang pandang tentang MOOTW atau OMSP dalam perspektif tugas tugas khusus operasi militer diluar perang.

 

Jakarta , Januari 2023

Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button