Oleh: Chappy Hakim
Dua nama mencuat dalam panggung hukum dan politik nasional sepanjang pertengahan tahun 2025: Thomas Trikasih Lembong dan Hasto Kristiyanto. Keduanya berasal dari latar belakang berbeda, namun akhir kisah hukum mereka berakhir di titik yang serupa, dibebaskan dari proses hukum lewat kebijakan Presiden. Satu melalui abolisi, yang lain melalui amnesti. Ini bukan sekadar persoalan hukum biasa. Ini adalah drama politik berkepanjangan, yang mencerminkan betapa lenturnya hukum ketika berkelindan dengan kepentingan kekuasaan. Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang pernah menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dikenal luas sebagai teknokrat cerdas dan pembela pasar bebas. Ia bukan orang partai, namun sempat masuk dalam lingkar kampanye capres penantang dalam Pilpres 2024. Setelah kekalahan kubunya, ia semakin lantang menyuarakan kritik terhadap proyek-proyek besar pemerintah, seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan pengadaan alutsista. Kritik tersebut dibalas dengan tindakan hukum. Pada 29 Oktober 2024, Kejaksaan Agung menetapkan Tom sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula, dengan tuduhan bahwa kebijakannya di masa lalu menyebabkan kerugian negara. Ia langsung ditahan di Rutan Salemba cabang Kejari Jaksel, menjalani proses pelimpahan berkas pada Februari 2025, dan kemudian menghadapi persidangan. Tom Lembong menjalani total masa tahanan lebih dari delapan bulan hingga akhirnya dijatuhi vonis 4 tahun 6 bulan penjara. Namun, belum lama setelah vonis itu, Presiden Prabowo mengeluarkan kebijakan abolisi penghentian perkara atas dasar pertimbangan politik yang disahkan melalui persetujuan DPR. Bagi sebagian pihak, langkah ini dilihat sebagai bentuk rekonsiliasi nasional. Namun bagi yang lain, ini adalah sinyal bahwa kasus ini sarat kepentingan, bahwa hukum bisa ditekuk tekuk sejauh tafsir politik berperan.
Sementara itu, Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan, terjerat dalam kasus berbeda. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan obstruction of justice, yakni perintangan penyidikan terhadap buron Harun Masiku. Ia diduga menyuruh stafnya untuk mengamankan alat komunikasi dan menghilangkan jejak keberadaan Harun. Proses penyidikan terhadap Hasto berjalan alot dan penuh drama. Penetapan status tersangka dan penahanannya memicu kegaduhan politik, karena ia adalah figur penting di partai yang pernah menjadi penguasa selama dua periode. Nasib Hasto tidak berbeda jauh dengan Tom. Ia dibebaskan melalui mekanisme amnesti, dengan alasan bahwa tindakan tersebut dianggap tidak membahayakan negara dan demi kepentingan rekonsiliasi nasional pasca pemilu. Keputusan ini diambil secara politis, setelah melalui sidang paripurna DPR dan pertimbangan Presiden. Yang menarik dari dua kasus ini bukan hanya substansi hukumnya, melainkan kesamaan pola penyelesaiannya. Dua tokoh politik satu teknokrat kritis, satu kader partai besar sama-sama “diselamatkan” oleh kebijakan eksekutif. Di satu sisi, hal ini bisa dipahami sebagai bagian dari pendekatan rekonsiliatif untuk meredam eskalasi politik. Pada sisi lain, publik bertanya-tanya ke mana arah penegakan hukum kita jika mekanisme pemidanaan bisa dikesampingkan begitu saja oleh satu dekrit politik? Publik berhak curiga bahwa hukum telah menjadi alat tarik-menarik kekuasaan. Bukan rahasia lagi bahwa pasca pemilu, kekuatan politik cenderung mengakomodasi banyak kepentingan. Namun ketika proses hukum yang menyangkut integritas publik diintervensi oleh keputusan politik, maka yang terkikis adalah kepercayaan terhadap keadilan itu sendiri. Bagaimana mungkin kita mengharapkan supremasi hukum ditegakkan, bila prosesnya bisa diputus begitu saja demi stabilitas semu?
Kedua kasus ini menjadi pelajaran penting tentang betapa rapuhnya pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif dalam praktik. Mekanisme abolisi dan amnesti semestinya menjadi pengecualian yang sangat terbatas dan berdasarkan prinsip kemanusiaan atau kepentingan strategis negara, bukan sekadar alat untuk membungkus kompromi politik. Harapan kita ke depan adalah agar hukum tidak lagi digunakan sebagai instrumen politik kekuasaan. Diperlukan reformasi mendalam dalam sistem peradilan dan lembaga penegak hukum, agar independen dan tak mudah dikooptasi elite. Transparansi dan akuntabilitas mutlak harus ditegakkan. Bila tidak, maka rakyat akan terus menyaksikan sandiwara hukum yang dipentaskan oleh aktor-aktor elite, dengan sutradara yang bersemayam di balik kekuasaan. Pada akhirnya, yang dirugikan bukan hanya pelaku atau korban, tapi seluruh bangsa.
Khusus dalam perspektif ilmu politik, apa yang terjadi pada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tidak bisa dilepaskan dari konteks pertarungan kekuasaan pasca pemilu. Seperti dikemukakan oleh Carl Schmitt, politik pada dasarnya adalah pembedaan antara “kawan” dan “lawan”. Dalam kerangka itu, siapa yang masuk dalam lingkar kekuasaan dan siapa yang berada di luar menjadi sangat menentukan nasib hukumnya. Tom, yang vokal dan berada di kubu oposisi, menjadi “lawan” yang harus dinetralisir; sementara Hasto, meski berasal dari partai yang tak lagi berkuasa, tetap dianggap penting untuk “diatur ulang” perannya dalam mozaik politik nasional.
Antonio Gramsci, pemikir Marxis asal Italia, menawarkan konsep hegemoni yang relevan untuk membaca dinamika ini. Baginya, penguasa tidak cukup memerintah lewat paksaan, tetapi juga harus menciptakan persetujuan melalui konsensus ideologis dan kompromi strategis. Dalam konteks ini, pemberian abolisi dan amnesti bisa dilihat sebagai bentuk kooptasi elite yang dibungkus dalam narasi legalistik. Negara menggunakan perangkat hukum bukan semata untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk menyusun ulang konfigurasi kekuasaan melalui mekanisme rekonsiliasi yang terkendali.
Sementara itu Teori Michel Foucault tentang kekuasaan juga berguna di sini. Foucault menyatakan bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja dalam bentuk represi brutal, melainkan melalui pengaturan wacana dan normalisasi perilaku. Dalam hal ini, keputusan Presiden memberi abolisi dan amnesti bukan hanya soal pengampunan hukum, melainkan juga strategi untuk mengendalikan narasi siapa yang bersalah, siapa yang layak dimaafkan, dan siapa yang harus tunduk. Kekuasaan, kata Foucault, menyebar melalui lembaga-lembaga yang tampak netral termasuk lembaga peradilan namun sejatinya menjadi alat pembentukan ulang tatanan politik.
Daftar Referensi
- Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. Edited and translated by Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith. New York: International Publishers, 1971.
- Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Translated by Alan Sheridan. New York: Pantheon Books, 1977.
- Schmitt, Carl. The Concept of the Political. Translated by George Schwab. Chicago: University of Chicago Press, 2007.
- Dahrendorf, Ralf. Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford: Stanford University Press, 1959.
- Huntington, Samuel P. The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Cambridge: Belknap Press of Harvard University Press, 1957.
- Kompas.com. “Kronologi Tom Lembong Jadi Tersangka Kasus Impor Gula.” 30 Oktober 2024.
https://www.kompas.com - Detik.com. “Perjalanan Tom Lembong dari Tersangka hingga Dapat Abolisi.” 1 Juli 2025.
https://news.detik.com - Kumparan.com. “Kronologi Kasus Tom Lembong: Dari Era Jokowi hingga Abolisi Era Prabowo.” 2 Juli 2025.
https://kumparan.com - CNN Indonesia. “Hasto Kristiyanto Resmi Jadi Tersangka Obstruction of Justice.” 24 Juni 2025.
https://www.cnnindonesia.com - Tempo.co. “Presiden Terbitkan Amnesti untuk Hasto, DPR Setujui.” 10 Juli 2025.
https://www.tempo.co
Jakarta 1 Agustus 2025
Chappy Hakim