Kondisi dunia hari ini sedang berada dalam pusaran ketidakpastian global yang semakin rumit dan sulit diprediksi. Konflik Rusia–Ukraina belum menemukan jalan damai. Kawasan Timur Tengah kembali bergejolak. Laut Tiongkok Selatan kian panas. Persaingan kekuatan besar antara Amerika Serikat dan Tiongkok juga telah menjelma menjadi perlombaan teknologi, ekonomi, dan kekuatan siber. Belum lagi perang asimetris yang meletup di berbagai wilayah lewat proksi dan infiltrasi digital yang merusak stabilitas negara dari dalam. Ditambah lagi dengan konflik perbatasan Kamboja Thailand. Semua itu terjadi serentak dalam apa yang disebut banyak pengamat sebagai global disorder suatu tatanan dunia yang kehilangan titik keseimbangan.
Dalam situasi tersebut, tidak ada negara yang benar-benar aman jika sistem pertahanannya masih berpijak pada pola pikir konvensional. Perang hari ini tidak lagi ditentukan oleh jumlah pasukan atau kapal perang yang dimiliki. Ruang tempur tidak lagi terbatas pada darat, laut, dan udara, melainkan telah meluas ke domain baru yang nyaris tak berbatas yakni domain ke 5 bernama ruang siber (cyber domain). Dalam ruang inilah, kedaulatan dan keselamatan sebuah negara bisa dilumpuhkan hanya dengan satu serangan digital yang merusak sistem komunikasi, navigasi, jaringan listrik, perbankan, hingga pertahanan udara. Dengan perkembangan ini, menjadi sangat relevan untuk mempertimbangkan penguatan struktur pertahanan negara melalui pembentukan Angkatan Siber TNI sebagai pilar keempat kekuatan militer Indonesia, sejajar dengan matra darat, laut, dan udara. Namun pertanyaannya, apakah ini benar-benar kebutuhan strategis atau hanya sekadar mengikuti arus tren global?
Menurut hemat saya, kebutuhan akan kekuatan siber adalah keniscayaan, bukan opsi tambahan. Tapi jawabannya tidak sesederhana sekadar menambah satu angkatan baru. Yang dibutuhkan jauh lebih mendasar yakni perubahan paradigma pertahanan menuju sistem pertahanan yang komprehensif, terintegrasi, dan adaptif terhadap teknologi. Pembentukan kekuatan siber harus berangkat dari penyusunan doktrin yang kuat, struktur komando yang jelas, interoperabilitas antarmatra, dan kesiapan sumber daya manusia yang memiliki cyber mindset. Lebih penting lagi, kekuatan ini harus dibangun sebagai bagian dari sistem pertahanan nasional yang menyeluruh, bukan proyek simbolik kelembagaan semata. Kita perlu melihat ini dari kacamata strategis jangka panjang. Sistem pertahanan yang kuat tidak bisa dibangun dalam kerangka waktu pendek dan terikat oleh siklus politik lima tahunan alias siklus pilkada dan pilpres. Membangun kekuatan militer, apalagi kekuatan siber yang sangat teknologis, menuntut visi yang jauh ke depan, investasi besar, dan tahapan implementasi yang konsisten lintas pemerintahan. Sayangnya, di Indonesia, perencanaan pertahanan sering kali masih terjebak dalam logika jangka pendek, rentan pada perubahan prioritas akibat pergantian kepemimpinan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia untuk segera menyusun dan memperkuat long-term strategic planning bidang pertahanan dan keamanan nasional. Rancang bangun ini harus dikukuhkan dalam bentuk Buku Putih Pertahanan Nasional sebuah dokumen negara yang visioner, objektif, dan mampu menjawab tantangan geopolitik, perkembangan teknologi, serta ancaman non-tradisional seperti perang siber dan disinformasi. Tanpa dokumen ini, arah pembangunan pertahanan kita akan terus terguncang oleh tekanan jangka pendek dan tarik-menarik kepentingan politis yang tidak berkelanjutan. Lebih lanjut, kekuatan siber tidak bisa hanya dilihat sebagai domain militer semata. Dunia siber bersifat lintas sektoral. Dalam konteks ini, pendekatan Total & Smart Defense menjadi sangat relevan. Artinya, kekuatan siber harus dibangun secara nasional: melibatkan militer, akademisi, industri pertahanan, komunitas teknologi, dan seluruh elemen bangsa. Perang modern tidak lagi antar angkatan bersenjata, melainkan antar negara secara keseluruhan, di mana keberhasilan sangat ditentukan oleh keterpaduan seluruh sumber daya nasional.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa sistem pertahanan udara dan sistem kendali komando militer sangat rentan terhadap serangan siber. Sebuah negara dapat lumpuh jika jaringan komunikasinya terganggu, sistem navigasi udara disabotase, atau komando strategis militer disusupi. Karena itu, pengembangan Cyber Command atau bahkan Cyber Armed Forces harus menjadi prioritas utama dalam restrukturisasi kekuatan pertahanan kita di abad ke-21. Dalam menghadapi era global disorder ini, Indonesia tidak punya kemewahan untuk bersikap reaktif. Kita tidak boleh menunggu sampai serangan terjadi baru bergerak. Kita harus proaktif, antisipatif, dan membangun sistem pertahanan yang fleksibel, cerdas, dan responsif. Sebab musuh tak selalu datang dengan seragam dan panser. Ia bisa hadir dalam bentuk malware, ransomware, propaganda digital, atau logic bomb di dalam sistem penting negara. Kini saatnya kita menyadari bahwa keamanan nasional tidak cukup dijaga oleh senjata api dan barak militer, tetapi juga oleh kecanggihan otak, kecepatan algoritma, dan ketahanan digital. Angkatan Siber bukan sekadar pilihan, melainkan keniscayaan sejarah yang tidak bisa ditunda lagi.
Harus kita pastikan bahwa pembangunan kekuatan militer kita, termasuk kekuatan siber, tidak berhenti pada simbol kelembagaan semata, melainkan benar-benar menjawab kebutuhan strategis bangsa secara substansial dan visioner. Hal itu hanya dapat terwujud bila didukung oleh long-term strategic planning yang solid dan dituangkan dalam Buku Putih Hankamnas yang relevan, antisipatif, dan mampu menjawab tantangan zaman. Dalam kaitan ini, salah satu pilar terpenting yang harus segera diperkuat adalah sektor pendidikan dan pelatihan di bidang pertahanan dan keamanan. Pembangunan kekuatan siber nasional tidak akan berhasil tanpa tersedianya sumber daya manusia yang terlatih, profesional, dan memiliki wawasan strategis yang kuat terhadap dinamika ancaman modern. Maka dibutuhkan program pendidikan dan pelatihan yang berorientasi pada masa depan, baik di lingkungan militer maupun sipil, dengan kurikulum yang adaptif terhadap teknologi dan ancaman multidomain.
Selain itu, Indonesia sangat membutuhkan lembaga pemikir atau think tank pertahanan dan keamanan nasional yang mandiri, profesional, dan berjejaring internasional. Lembaga seperti ini harus mampu memetakan tren ancaman global, memberikan masukan strategis berbasis riset, serta menjadi tempat lahirnya gagasan kebijakan yang proaktif, tidak reaktif. Think tank ini juga dapat berperan sebagai jembatan antara dunia akademik, komunitas strategis, dan pengambil kebijakan pertahanan negara. Dengan demikian, pengembangan kekuatan pertahanan, termasuk kekuatan siber, harus dibarengi dengan investasi besar pada pendidikan strategis, penguatan kultur riset dan inovasi, serta pembangunan ekosistem kelembagaan yang visioner. Inilah fondasi tak kasat mata dari pertahanan nasional yang kokoh dan tangguh di era global yang penuh ketidakpastian ini.
Jakarta, 29 Juli 2025
Chappy Hakim – Ketua Umum Pusat Studi Air Power Indonesia