Sejak dekade 1970-an, Australia mulai menempuh metamorfosis strategis yang menentukan arah masa depan militernya. Jika sebelumnya doktrin forward defence menekankan pengerahan pasukan bersama sekutu di garis depan konflik jauh dari benua, maka sejak pertengahan 1970-an mulai lahir konsep baru tentang perlunya Australia membangun kemandirian pertahanan di tanah airnya sendiri. Pergeseran itu melahirkan Defence of Australia doctrine, sebuah kerangka yang menempatkan geografi sebagai titik berangkat dalam merancang kekuatan militer. Sosok sentral yang menata ulang kerangka strategis itu adalah Paul Dibb. Melalui Review of Australia’s Defence Capabilities tahun 1986, ia menegaskan bahwa prioritas utama Australia adalah menjaga pendekatan utara benua, membangun kemampuan pengawasan jarak jauh, dan menyiapkan Angkatan Bersenjata Australia atau ADF untuk bertahan dan melawan dari home base. Pemikiran ini kemudian diinstitusionalisasikan dalam Defence White Paper 1987, dokumen resmi yang menjadi cetak biru pembangunan ADF. Intinya jelas yakni Australia harus mampu mempertahankan diri dengan kekuatan gabungan yang berakar di wilayahnya sendiri, dengan orientasi ke maritim dan udara pada arah utara dan integrasi teknologi pertahanan. Hal ini tidak terlepas dari trauma Trikora Dwikora saat kekuatan perang Indonesia ketika itu yang muncul dan harus di perhitungkan dalam kerangka strategi pertahanan Australia.
Tidak berhenti di atas kertas, doktrin baru itu diuji dalam latihan Kangaroo ’89, dengan skenario hakikat ancaman yang datang dari utara. Latihan besar ini melibatkan sekitar 28 ribu personel Australia dan Amerika Serikat, menjadi yang terbesar sepanjang masa damai saat itu. Kangaroo ’89 menguji kemampuan komando-kendali gabungan, pergerakan lintas matra, dan integrasi operasi dengan sekutu. Namun latihan ini juga dinilai sebagai menunjukkan paradoks, di satu sisi Australia menekankan doktrin kemandirian, di sisi lain masih tetap mengandalkan interoperabilitas dan dukungan dari Amerika Serikat. Sejak itu, benang merah strategi pertahanan Australia terlihat menjadi jelas yaitu berbentuk kombinasi antara self-reliance dengan keterikatan erat pada aliansi strategis. Memasuki abad ke-21, perubahan lingkungan strategis, kebangkitan Tiongkok, persaingan di Indo-Pasifik, dan dinamika energi, memaksa Australia kembali meninjau posturnya. Pada masa pemerintahan Julia Gillard, lahirlah Defence Force Posture Review (DFPR) 2012, tinjauan pertama dalam seperempat abad. Laporan ini menegaskan perlunya ADF menyesuaikan postur dengan tantangan baru di kawasan, terutama di pendekatan utara dan barat, tanpa harus melakukan migrasi besar pangkalan. Salah satu rekomendasi penting adalah peningkatan fasilitas di Kepulauan Cocos untuk mendukung operasi pesawat P-8 dan UAV maritim. Setahun kemudian, pemerintah Gillard meluncurkan Defence White Paper 2013. Dokumen ini menegaskan pergeseran ekonomi-strategis menuju Indo-Pasifik, memperkuat kemitraan regional, dan menyeimbangkan ambisi kemampuan dengan realitas fiskal pascakrisis global. White Paper ini juga menegaskan kembali nilai aliansi dengan Amerika Serikat, tetapi tetap memosisikan kepentingan nasional Australia sebagai titik tolak utama.
Implikasi bagi Indonesia
Bagi Indonesia, arah pembangunan ADF tidak bisa dilepaskan dari lanskap keamanan bersama di Indo-Pasifik. Kehadiran AUKUS, dengan rencana Australia memiliki kapal selam bertenaga nuklir dan rotasi kapal selam sekutu di HMAS Stirling mulai 2027, jelas meningkatkan kehadiran bawah laut sekutu di jalur strategis Samudra Hindia bagian timur. Jalur energi dan perniagaan yang melewati Laut Timor dan Arafura menjadi semakin terbuka bagi pengawasan sekutu. Indonesia dihadapkan pada konsekuensi langsung yaitu mempercepat modernisasi kemampuan perang anti-kapal selam, memperkuat kesadaran domain maritim, dan menyusun prosedur komunikasi lintas ALKI agar kedaulatan tetap terjaga. Keberadaan FPDA, walau Indonesia bukan anggota, tetap berimplikasi. Latihan udara gabungan dan sistem pertahanan udara terintegrasi di Butterworth membuat kawasan Selat Malaka dan Singapura menjadi laboratorium interoperabilitas yang secara tidak langsung bersinggungan dengan tata kelola ruang udara perbatasan Indonesia. Dari perspektif TNI AU, ini menjadi peluang untuk membangun confidence-building measures dalam isu SAR dan air policing, sekaligus mendorong standarisasi taktis untuk menghindari salah persepsi operasi lintas garis batas negara. Postur utara Australia juga semakin diperkuat dengan kehadiran rotasional pasukan AS di Darwin, pengembangan pangkalan Tindal, serta jaringan radar JORN yang mampu memantau hingga ribuan kilometer ke utara hingga kawasan perairan pulau Natuna. Bagi Indonesia, ini bermakna dua hal yakni pertama, peluang untuk kerja sama terbatas dalam isu SAR atau penanggulangan illegal fishing; kedua, urgensi untuk membangun sistem peringatan dini udara nasional yang tidak kalah unggul agar tidak sepenuhnya bergantung pada informasi dari pihak luar. Rekomendasi DFPR 2012 untuk meningkatkan fasilitas di Kepulauan Cocos kini menjelma menjadi kenyataan. Dengan kemampuannya mendukung pesawat P-8 Poseidon dan UAV, pulau kecil di tengah Samudra Hindia itu menjadi “mata di atas ALKI”. Bagi Indonesia, ini peluang sekaligus tantangan, peluang untuk kerja sama dalam operasi kemanusiaan atau pengawasan aktivitas ilegal di Laut Timor–Arafura, tetapi sekaligus risiko jika tidak ada aturan koordinasi ruang udara yang jelas.
Catatan tambahan
Paul Dibb adalah seorang pakar strategi pertahanan asal Australia yang sangat berpengaruh dalam membentuk arah kebijakan militer dan keamanan negara sejak era 1980-an. Ia lahir di Inggris dan pindah ke Australia pada awal 1960-an. Kariernya banyak dihabiskan di bidang intelijen dan analisis kebijakan, ia pernah bekerja di Joint Intelligence Organisation (JIO) sebagai analis senior, lalu menjadi Deputy Secretary, Strategy and Intelligence di Departemen Pertahanan Australia. Nama Dibb melejit setelah menulis Review of Australia’s Defence Capabilities pada tahun 1986, yang lebih dikenal sebagai Dibb Review. Laporan ini merekomendasikan agar Australia berfokus pada pertahanan mandiri benua (Defence of Australia doctrine) daripada ikut terlibat jauh di luar kawasan, serta menekankan juga pentingnya pengawasan udara dan laut di jalur utara Australia. Rekomendasi itu menjadi fondasi bagi Defence White Paper 1987 yang hingga kini dianggap sebagai salah satu dokumen paling penting dalam sejarah strategi pertahanan Australia. Selain sebagai birokrat dan penasehat pemerintah, Paul Dibb juga berkiprah di dunia akademik. Ia kemudian menjadi profesor emeritus di Strategic and Defence Studies Centre (SDSC), Australian National University (ANU) di Canberra, serta banyak menulis buku dan artikel mengenai geopolitik, strategi militer, dan kebijakan keamanan regional. Dengan pengaruhnya yang besar melalui Dibb Review, ia sering disebut sebagai “arsitek doktrin pertahanan modern Australia,” khususnya dalam menegaskan konsep kemandirian pertahanan (self-reliance) sekaligus keterhubungan erat dengan aliansi strategis Amerika Serikat.
Sumber Terpilih
- Paul Dibb, Review of Australia’s Defence Capabilities (Maret 1986). The Strategistparlinfo.aph.gov.auNational Library of Australia
- The Defence of Australia — 1987 Defence White Paper. National Library of AustraliaWikipedia
- Exercise Kangaroo (ringkasan dan data partisipasi) serta liputan konteks strategis 1989. WikipediaAustralian Financial Review
- Defence Force Posture Review (rilis 3 Mei 2012) pada era PM Julia Gillard. PM Transcripts+1
- Defence White Paper 2013 (rilis 3 Mei 2013) dan keterkaitannya dengan National Security Strategy dan Asian Century White Paper. Australian Embassy in IndonesiaHawker BrittonETH Zurich Files
Jakarta 24 Agustus 2025
Chappy Hakim
Disusun dari berbagai sumber termasuk AI