Dalam sistem hukum pidana Indonesia, dikenal beberapa bentuk pengampunan atau pengurangan hukuman yang merupakan hak prerogatif Presiden. Tiga istilah yang kerap muncul dalam wacana publik adalah abolisi, amnesti, dan remisi. Ketiganya memiliki makna dan dampak hukum yang berbeda, namun sering kali disalahartikan atau dipolitisasi sesuai kepentingan tertentu. Dinamika ini kembali mengemuka saat sejumlah nama tokoh muncul dalam konteks pemberian amnesti atau abolisi, termasuk nama Thomas Lembong dan Hasto Kristianto. Berikut akan coba dibedah secara mendalam ketiga konsep tersebut, mengulas keterkaitannya dengan kasus nyata, serta menelusuri pelajaran penting bagi demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.
Definisi Abolisi, Amnesti, dan Remisi
Abolisi, adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia untuk menghapus proses hukum pidana terhadap seseorang atau sekelompok orang, meskipun perkara tersebut belum diputus oleh pengadilan. Dasar hukumnya tercantum dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memberikan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan kata lain, abolisi adalah penghentian perkara pidana sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Contoh historis abolisi yang terkenal adalah pada masa Presiden Soekarno ketika memberikan abolisi terhadap tahanan politik yang dianggap tidak layak untuk diproses pidana lebih lanjut karena alasan rekonsiliasi nasional.
Amnesti, merupakan pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada seseorang atau sekelompok orang atas tindak pidana tertentu yang bersifat politis, sehingga segala akibat hukum pidananya dihapuskan. Amnesti berlaku secara kolektif dan mencakup seluruh proses hukum, termasuk eksekusi dan sanksi sosial. Pemberian amnesti juga memerlukan persetujuan dari DPR. Contoh mutakhir adalah amnesti yang diberikan kepada Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala, dalam kasus kebebasan berekspresi yang dianggap melanggar UU ITE. Amnesti dalam kasus ini digunakan untuk memperbaiki ketidakadilan hukum yang bersumber dari undang-undang yang kontroversial.
Remisi , adalah pengurangan masa hukuman yang diberikan kepada narapidana yang telah menjalani masa tahanan, sebagai bentuk penghargaan atas perilaku baik atau alasan kemanusiaan seperti sakit keras atau usia lanjut. Remisi tidak menghapus status narapidana, melainkan hanya mengurangi waktu hukumannya. Remisi diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan diberikan secara rutin pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Hari Raya Keagamaan, atau situasi tertentu seperti pandemi.
Thomas Lembong dan Kristianto
Nama Thomas Lembong, mantan Kepala BKPM dan ekonom kenamaan, serta Kristianto, yang disebut-sebut dalam pemberitaan hukum, muncul dalam diskursus publik terkait dengan kemungkinan pemberian pengampunan hukum, baik berupa amnesti maupun abolisi, oleh Presiden. Namun, perlu dicatat bahwa tidak ada dokumen resmi negara yang menyatakan keduanya sebagai penerima abolisi atau amnesti secara sah, sehingga informasi yang beredar lebih banyak bersifat opini politik, dugaan, atau spekulasi media. Konteks yang mempertemukan nama mereka dengan istilah amnesti atau abolisi sering kali berkaitan dengan dugaan penyimpangan atau kriminalisasi berbasis motif politik, di mana aktor tertentu disasar atau diselamatkan oleh kekuasaan. Ketika seseorang di tengah perkara pidana baik karena kasus pajak, korupsi, atau penyalahgunaan jabatan diisukan menerima abolisi atau amnesti, hal ini memantik pertanyaan publik soal keadilan hukum dan konsistensi prinsip equality before the law. Jika nama-nama seperti Thomas Lembong dan Kristianto disandingkan dalam konteks ini, maka ada kekhawatiran tentang penggunaan diskresi Presiden dalam pengampunan hukum yang berpotensi mengandung muatan politik balas budi, impunitas elite, atau manipulasi hukum untuk tujuan kekuasaan.
Pelajaran yang Bisa Dipetik
Salah satu pelajaran paling mendasar dari praktik pemberian abolisi dan amnesti adalah pentingnya prinsip due process of law, yaitu bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, harus melalui proses hukum yang adil, terbuka, dan dapat diuji. Ketika presiden menggunakan hak prerogatifnya secara tidak proporsional atau tanpa pertimbangan etis dan politis yang matang, maka hal ini bisa mencederai integritas lembaga peradilan.
Dalam negara demokrasi, hukum seharusnya menjadi alat untuk membatasi kekuasaan, bukan justru menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Kasus-kasus pemberian abolisi atau amnesti kepada orang dekat kekuasaan, sementara aktivis atau rakyat kecil tetap diproses hukum, menciptakan asimetri keadilan yang berbahaya bagi legitimasi negara.
Setiap keputusan yang menyangkut penghapusan perkara pidana atau pengampunan hukum harus dilakukan secara transparan, dengan disertai penjelasan hukum dan moral yang logis kepada publik. Tanpa itu, masyarakat akan terus mencurigai proses hukum sebagai alat politik.
Kebanyakan masyarakat belum memahami perbedaan antara amnesti, abolisi, dan remisi, sehingga mudah terjebak dalam wacana yang menyesatkan. Pemerintah, akademisi, dan media memiliki tanggung jawab untuk mencerahkan publik agar bisa berpartisipasi dalam pengawasan proses hukum dengan lebih cerdas.
Konsep abolisi, amnesti, dan remisi merupakan instrumen penting dalam sistem hukum Indonesia yang bisa digunakan untuk membangun rekonsiliasi, memperbaiki ketidakadilan hukum, atau menghargai kemanusiaan. Namun ketika digunakan secara selektif atau politis, ketiga instrumen itu bisa menjadi alat represi atau pembenaran kekuasaan. Munculnya nama-nama elite seperti Thomas Lembong dan Kristianto dalam wacana pengampunan hukum mengingatkan kita pada pentingnya menjaga prinsip kesetaraan di depan hukum. Pelajaran terbesar yang dapat dipetik adalah bahwa hukum hanya akan menjadi pilar keadilan apabila ditegakkan secara adil, transparan, dan bebas dari intervensi kekuasaan.
Pada akhirnya, publik berhak bertanya: siapa sebenarnya yang bersalah dalam pusaran pemberian abolisi, amnesti, atau penghapusan perkara hukum yang sarat kontroversi? Apakah mereka yang melakukan pelanggaran hukum, atau justru sistem kekuasaan yang memungkinkan terjadinya impunitas? Siapa yang bermain di balik layar: elite politik, pejabat tinggi, atau jaringan kekuasaan yang saling melindungi? Dan siapa sebenarnya sutradaranya, apakah sang pemegang kekuasaan tertinggi yang menggunakan hak prerogatifnya dengan dalih konstitusional, atau para aktor di lingkaran dalam yang mengatur skenario demi mempertahankan kepentingan pribadi dan kelompok? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tak akan pernah benar-benar terbuka, namun satu hal pasti: ketika hukum dibajak oleh kekuasaan, yang dikorbankan adalah keadilan dan kepercayaan rakyat. Semoga dalam kasus yang tengah mengemuka balakangan ini tidak terdapat unsur negatif dari dinamika dan mekanisme proses penegakkan hukum di Indonesia,
Jakarta 1 Agustus 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia