(20 Juni 1970 – 3 Agustus 2025
Peristiwa Bawean selalu saya ingat sebagai momen ketika kata “kedaulatan” turun dari langit teori dan berubah bentuk menjadi tugas nyata di kokpit. Tugas menegakkan hak negara atas ruang udara sendiri yang harus dilaksanakan dengan kepala dingin dan hati yang teguh. Di sana, yang berhadapan bukan hanya pesawat dengan pesawat, melainkan prinsip dengan kemungkinan. Prinsip bahwa langit Indonesia bukan ruang udara tanpa tuan rumah, dan Kemungkinan bahwa satu keputusan yang ragu dapat berubah menjadi preseden yang mahal mengandung penuh risiko. Dalam situasi seperti itu, patriotisme tidak tampil sebagai slogan. Patriotisme tampil sebagai ujud dari niat tulus menjaga martabat bangsa. Tampilan yang menuntut ketepatan prosedur, keberanian yang terukur, dan kesediaan mengambil risiko tinggi demi memastikan setiap pelanggaran harus ditindak dengan tegas.
Di antara para penerbang yang menjalankan misi itu ada figur Marsma Fajar Adrianto ”Red Wolf”. Itulah mengapa Peristiwa Bawean pantas ditempatkan sebagai pintu masuk untuk mengenang sosoknya. Menjaga kedaulatan udara bukan pekerjaan yang ramai dipuji, glamour dan luxurious, melainkan kerja sunyi yang sering hanya dipahami oleh mereka yang pernah merasakan tegangnya jarak, waktu, dan tanggung jawab dalam hitungan detik. Fajar Adrianto hadir sebagai contoh bahwa cinta tanah air di udara bukanlah romantika, melainkan disiplin yang tinggi, keberanian, dan kesetiaan pada merah putih. Itu semua yang harus dibuktikan bukan dan tak bisa hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan profesional ketika negara memanggilnya. Country before Self.
“Seratus hari kepergian Marsma TNI Fajar Adrianto, yang bila kita hitung dengan hari pertama pada 3 Agustus 2025, maka akan jatuh tepat pada hari pahlawan tanggal 10 November 2025. Sebuah tanggal yang seakan mengingatkan bahwa menjaga kedaulatan negara di udara selalu memerlukan jiwa kepahlawanan sejati.”
Begitulah kabar kepergian Marsekal Pertama TNI Fajar Adrianto, yang bagi banyak kawan sejawat lebih dikenal dengan call sign “Red Wolf.” selalu akan dikenang. Ia berpulang pada Minggu, 3 Agustus 2025, dalam sebuah insiden kecelakaan pesawat latih olahraga dirgantara. Pagi itu, ia berangkat seperti biasa dengan disiplin yang melekat khas penerbang, tenang, ringkas, tak banyak bicara. Pesawat microlight yang diterbangkannya, Quicksilver GT500 (PK-S126) lepas landas dari Lanud Atang Sendjaja sekitar pukul 09.08 WIB. Beberapa menit kemudian, sekitar 09.19 WIB, pesawat dilaporkan hilang kontak. Tak lama kemudian kabar yang tak pernah ingin kita dengar datang menjelang, pesawat ditemukan jatuh di kawasan Ciampea, Bogor, dekat TPU Astana. Kedua awak dievakuasi ke RSAU dr. M. Hassan Toto. Takdir memang terkadang memilih jalan paling pahit dan memilukan. Marsma Fajar dinyatakan meninggal setibanya di rumah sakit, sementara rekan terbangnya mengalami luka berat dan harus menjalani perawatan.
Marsma Fajar adalah lulusan Akademi Angkatan Udara 1992. Ia dikenal sebagai penerbang F-16, dan dari situ pula call sign “Red Wolf” mendapat tempatnya, bukan sekadar sebagai nama panggilan, melainkan reputasi yang lahir dari ketegasan pada standar dan ketelitian pada detail. Call sign di kalangan penerbang bukan aksesoris; ia merupakan refleksi dari sebuah kerja keras yang nyata, konsistensi, dan kepercayaan diri. Jejak kedinasannya menunjukkan ia bukan tipe yang mengejar sorotan kamera, tetapi tipe yang mengejar hasil terbaik. Ia pernah mengemban amanah sebagai Komandan Skadron Udara 3, kemudian menjadi Komandan Lanud Manuhua, dan pada satu fase yang paling terlihat oleh publik, ia menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau). Di posisi itulah, banyak orang mengenalnya, cara bicaranya yang jelas, tenang, dan tidak meledak-ledak. Ia paham betul bahwa menjaga marwah institusi tidak harus dengan suara tinggi namun cukup dengan ketepatan informasi berlatar ilmu pengetahuan, keteguhan sikap, dan bahasa yang beradab.
Di akhir pengabdiannya, ia menjabat Kepala Kelompok Staf Ahli (Kapoksahli) Kodiklatau. Dan bagi yang pernah bekerja dekat dengannya, satu hal selalu muncul dalam cerita-cerita kecil yang justru paling jujur tentang bagaimana ia memimpin dengan cara yang manusiawi. Ada kisah yang kerap dikenang pada masa pandemi, ketika banyak orang cemas dan terisolasi, ia memilih menelepon satu per satu anggotanya, memastikan mereka baik-baik saja. Bagi sebagian orang, mungkin saja itu tampak sebagai hal yang kecil. Bagi seorang bawahan, itu adalah bentuk kepemimpinan paling mahal, seorang atasan yang hadir bukan hanya pada ketika memberi tugas atau pada saat upacara, tetapi juga saat hidup terasa berat. Pemakaman almarhum dilakukan di Probolinggo, Jawa Timur. Ia meninggalkan seorang istri, Dewi Kurnia, serta dua putra tercinta, Naufal dan Akmal. Di titik inilah kita sadar bahwa di balik seragam, pangkat, dan kehormatan profesi, ada keluarga yang kehilangan pusat gravitasinya. Ada rumah yang mendadak menjadi sunyi, ada kursi yang tak lagi terisi. Kepergian seorang penerbang selalu menyisakan ruang kosong yang khas. Bukan hanya karena ia pergi, tetapi karena ia pergi dari ruang yang ia pahami betul, ruang udara yang selama ini ia tekuni dan ia hormati. Marsma Fajar berpulang ketika sedang menjalankan latihan profisiensi, sebuah bentuk kecintaan sekaligus kesungguhan pada kompetensi. Ia tidak berhenti belajar. Ia tidak berhenti menjaga standar. Ia tidak berhenti mengabdi. Maka, ketika kita mengucapkan selamat jalan kepada Sang “Red Wolf”, kita sebetulnya sedang belajar satu pelajaran penting bahwa kehormatan profesi tidak dibangun oleh pidato panjang, tetapi oleh kebiasaan-kebiasaan kecil yang penuh disiplin, oleh keberanian yang tenang, oleh kepemimpinan yang tidak merendahkan manusia, oleh kepercayaan diri yang mantap.
Sekali lagi, Selamat jalan, Marsma TNI Fajar Adrianto. Terima kasih atas pengabdian, keteladanan, dan jejak profesionalisme yang Anda tinggalkan. Semoga almarhum mendapat tempat terbaik, keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan, dan keluarga besar TNI AU diberi keteguhan untuk meneruskan pengabdian dengan satu kompas moral yang sama, teguh pada standar, setia pada tugas, dan tetap manusiawi seraya berpedoman senantiasa pada Country before Self. Duka ini juga menyisakan satu pesan yang tidak boleh kita kubur bersama air mata, yakni tugas menjaga langit Indonesia yang belum selesai. Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa masih memikul pekerjaan rumah yang tidak ringan, karena sampai hari ini masih ada ruang udara pada kawasan strategis di atas teritori kedaulatan NKRI yang dalam praktik pelayanan navigasi, pengaturan lalu lintas, dan kewenangan operasional masih berada di bawah kekuasaan otoritas penerbangan asing. Di posisi inilah keteladanan para penerbang seperti Fajar menemukan makna yang lebih besar lagi bahwa kedaulatan tidak cukup dibicarakan, ia harus diurus dengan kepemimpinan yang berani, unity of command yang nyata, kemampuan teknis yang terus ditingkatkan, dan keputusan yang tegas agar langit kita kelak benar-benar kembali utuh dikelola sendiri, diawasi sendiri, dan dijaga sendiri demi kehormatan, keselamatan, dan martabat serta lambang dari Kemerdekaan bangsa Indonesia. Kemerdekaan yang ditandai dari jajaran Angkatan Udara yang senantiasa harus mampu melaksanakan Control of The Air, Use of Airspace dan Law Enforcement di wilayah udara kedaulatan NKRI.
Jakarta 20 Desember 2025
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia

